Sandang, pangan, papan, dan membaca buku

Sebuah perspektif membaca buku sebagai salah satu kebutuhan utama dalam bertahan hidup

Nanda
Komunitas Blogger M
7 min readJul 25, 2021

--

Untuk sebagian besar orang, terbatas dalam kacamata saya, membaca khususnya membaca buku masih tergolong ke dalam kegiatan yang nggak populer dan membosankan.

Gimana nggak?

Begitu deras dan praktisnya informasi yang tersaji saat ini, membuat buku semakin sah “menyandang gelar” kuno dan repot. Ditambah lagi, maraknya trend podcast dan vlog (video blog) juga membuat orang-orang, termasuk saya tentunya, akan sering dihadapkan dengan pikiran

Untuk apa lagi membaca buku kalau segala informasi juga edukasi bisa dinikmati sebegitu menyenangkannya?

Hanya dengan duduk manis dan ngopi-ngopi lucu sambil mendengarkan orang-orang di internet ngoceh aja terkadang sudah dapat membuat kita “kaya” akan sejuta informasi, bukan?

Lagi pula, membaca buku juga memerlukan konsentrasi tinggi dan segala informasi yang dimuat nggak selalu terurai secara instan. Semakin menegaskan bahwa membaca buku memang sudah nggak cocok lagi nih untuk era yang serba praktis dan dinamis ini.

Kalau benar demikian, kenapa sih masih ada segelintir orang yang tetap mencari dan membaca buku? Bahkan ada yang terbiasa membaca satu buku dalam satu minggu. Kenapa?

Jawabannya tentu tidak lagi hanya sekadar kesukaan, namun juga telah menjadi sebuah kebutuhan.

Turning Point

Sejak dulu, saya selalu memandang orang yang sedang membaca buku sebagai orang paling keren di dalam suatu ruangan.

Apalagi kalau saya menjumpainya di dalam kereta dengan satu tangan menggelantung, satu tangan lagi memegang buku, dan satu kaki agak di tekuk. Ya, persis seperti mas-mas dan mbak-mbak di bawah ini lah intinya.

Kumpulan rekan-rekan saya sedang membaca buku di dalam kereta. Haha, ya nggak lah (Sumber: popsugar, flickr & bbc.com)

Tapi entah kenapa pikiran dan hati saya belum sekeren itu untuk mulai membaca buku. Sampai suatu ketika…..

Sulit menemukan jawaban yang paling memuaskan selain dari buku

Pada semester awal kuliah dulu, ada suatu mata kuliah yang mengharuskan saya untuk menjawab beberapa pemicu diskusi yang telah diberikan oleh dosen.

Jauh berbeda dengan semasa SMA, saya hampir nggak selalu bisa menemukan jawaban yang dibutuhkan secara gamblang dan memuaskan di internet. Terpaksa saya harus membaca buku rekomendasi dosen pada suatu bab secara utuh untuk menguliti jawabannya (memang seperti itu sih arahan aslinya, namun saya merasa berat hati dan malas pada saat itu hehe).

Karena belum terbiasa, terlebih literatur dalam bahasa inggris, lembar demi lembar hanya saya bolak-balik saja karena bingung banget harus memulainya dari mana.

Bukan bolak-balik deng namanya, kan pakenya e-book. Tapi apa ya? Scroll mugkin ya hehe (Sumber: Tim Gouw via Unsplash)

Berhubung deadline semakin dekat, saya segera menghela napas panjang dan secara perlahan mulai untuk membacanya kalimat per kalimat berlanjut hingga paragraf per paragraf.

Singkat cerita, sedikit demi sedikit jawaban yang saya butuhkan akhirnya “muncul” ke permukaan dan segera saya tulis kembali dengan rapih dan runut.

Tiba keesokan harinya, seorang kawan menghampiri dan ingin melihat jawaban saya. Ia agak terkejut kemudian berkata “Wah, lengkap banget jawabannya. Ini nyari di mana?”. Saya heran, lalu menjawab “Harusnya memang seperti itu, kan?”

Ternyata, saat saya tengok ke sebelah kanan dan kiri, tentu tidak bermaksud untuk sombong, saya merasa bahwa jawaban kawan-kawan di sekitar tempat duduk saya belum terlalu utuh.

Sejak saat itu, saya mulai memahami bahwa membaca buku, dengan sabar dan seksama tentunya, dapat memberikan pemahaman yang utuh.

Saya ada cerita lagi,

Buku menjawab krisis yang sedang saya alami

4 tahun yang lalu, saya merupakan orang yang sangat sulit untuk menolak dan telalu ambil pusing atas suatu kejadian (ya, masalah standar anak remaja lah ya).

Cukup sadar bahwa itu sering membebani, maka saya butuh untuk segera mengatasinya.

Kalau nggak salah ingat, saya pernah melihat seorang kawan yang saya ikuti di media sosial memposting sebuah buku berwarna oranye berjudul “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” karangan Mark Manson. Melihat judulnya yang begitu memikat, sekejap saya merasa bahwa buku itu memang diperuntukkan untuk saya dan ingin segera memilikinya.

Singkat cerita, buku itu berhasil saya temukan dan saya langsung baca di bagian belakang bukunya apa sih yang sebenarnya buku ini ingin sampaikan dan…

“AHAAAAA!!” Ini kok saya bangettt, ya.

Tanpa panjang lebar, saya langsung membayarnya di kasir dan menjadikan buku itu sebagai buku pertama yang saya miliki.

Singkat cerita lagi, buku oranye itu baru bisa saya habiskan dalam waktu 3 bulan (bahkan belum benar-benar habis terbaca). Tapi jujur, setelah membaca buku itu saya merasa lebih bisa untuk memegang kendali atas apa yang saya pikirkan dan rasakan.

Dan karena merasa tercerahkan, saya langsung heboh ke sana-sini menceritakan kehebatan buku ini kepada beberapa kawan dekat saya dan tanpa ragu untuk meminjamkannya.

Didasari oleh Kebutuhan

Kedua momen di atas jadi permulaan kenapa saya pada akhirnya bisa tergerak untuk membaca buku. Bukan karena benar-benar suka, tapi karena pada dasarnya saya merasa butuh untuk melakukannya.

Bahkan saat saya sedang mengalami krisis diri dan membutuhkan sebuah jawaban, pasti yang terpikir dalam benak saya,

“Buku seperti apa yang bisa menolong saya?”

“I shall never feel lonely and powerless again”

“Because of book, I’m here today. Happy, living again with a purpose and clarity”

Itulah yang diungkapkan oleh Lisa Bu pada video di atas. Ia merasa bahwa buku telah memberikan memberikan “magic portal” sebagai penghubung dirinya dengan orang lain di masa lalu dan di masa sekarang, yang kemudian dapat ia pelajari dan membuat hidupnya berubah setelah membaca buku.

Serupa dengannya, saya juga mengalami banyak sekali peningkatan kualitas diri (personal, sosial, dan akademik) setelah memiliki dan membaca kurang lebih 15 buku sejak 4 tahun yang lalu.

Contohnya kecilnya,

Saya pernah ditunjuk untuk berorasi di depan mahasiswa baru pada acara ospek. Karena merasa minder dan payah banget dalam hal public speaking (sampai sekarang masih sih hehe), saya membaca buku “Bicara Itu Ada Seninya” oleh Oh Shu Yang yang di dalamnya terdapat teknik praktis dan tips untuk saya terapkan. Ya, meski nggak terlalu berkesan (saya rasa) tapi paling nggak saya bisa bertahan dan tetap menyampaikan apa yang ditargetkan untuk disampaikan.

Dinamika perkuliahan terkadang membuat saya pusing sendiri dan semua orang terlihat seperti saling “mengejar” yang kemudian menganggu ketenangan saya. Lalu, buku “Take Your Time: The Wisdom of Slowing Down” oleh Eaknath Easwaran saat itu datang kepada saya untuk menjelaskan pentingnya mengikuti “timeline” dan “pace” diri sendiri serta fokus untuk memberikan perhatian pada satu arah terlebih dahulu.

Bahkan untuk bidang yang sebelumnya sangat tidak saya sukai, yaitu bisnis dan investasi (apapun yang berbau keuangan), saya dapat meluangkan waktu untuk membaca “Yuk Nabung Saham untuk Pemula” oleh ISP & “Value Investing: Beat The Market in Five Minutes” oleh Teguh Hidayat karena saya merasa sangat butuh hal tersebut sebagai rencana keuangan di masa depan dan bukan hanya sekadar ikut-ikutan.

Dengan mengubah sedikit mindset atau perspektif kalau membaca bukanlah sekadar suatu hobi melainkan kebutuhan, dapat membuat hubungan saya dengan buku semakin “akrab”.

Karena ketika saya sudah meyakininya sebagai sebuah kebutuhan, suka atau tidak suka pasti saya akan tetap mencari dan melakukannya. Ya, karena pada dasarnya butuh aja gitu, kan?.

Tinggal tunggu aja apa dan kapan butuhnya, terus cari deh bukunya.

Dapatkah membaca buku menjadi kebutuhanmu juga?

Tentu saja. Kenapa nggak?

Dengan mengetahui manfaat membaca buku, baik secara fisik ataupun mental saja, menurut saya itu sudah menjadi langkah yang baik untuk mengawalinya.

Setelah itu coba telurusi, ada nggak sih permasalahan yang sedang kamu alami atau ada nggak sih suatu hal yang lagi ingin kamu dalami? Langsung deh, gunakan “hasrat” atau rasa butuh itu untuk beli dan baca buku yang cocok.

Atau paling gampang, mampir dulu aja ke toko buku terdekat. Terus, kunjungi semua book section yang ada sampai ketemu dengan satu buku yang “AHH INI GUE BANGET!”

Abis itu tinggal nikmatin perjalanannya deh, tapi pelan-pelan ya.

Dan untuk pemantik tambahan, pernah nggak sih kamu mendengar orang sukses yang tidak membaca buku? Saya pribadi sih jarang ya, mungkin tidak ada (?).

Artikel di atas menyebutkan adanya kesamaan hobi dari beberapa figur sukses seperti Bill Gates, Warren Buffet, hingga Elon Musk, yaitu membaca buku. Ia juga menjelaskan bahwa tokoh besar tersebut

Memandang buku sebagai “gerbang” menuju pengetahuan yang akan menuntun mereka untuk terus “tumbuh” secara pemikiran dan juga kehidupan.

Balik lagi, itu semua karena didasari oleh yang namanya kebutuhan.

So, jika kamu ingin menjadi seperti orang sukses di atas atau minimal selangkah di depan dulu deh dari orang-orang di sekitarmu, ya sudah saatnya nggak sih untuk mulai menjadikan membaca buku sebagai sebuah kebutuhan juga?

Selamat mencoba!

--

--

Nanda
Komunitas Blogger M

A social-introvert and homebody who likes to share story.