Sang Ikon Madinah

El Azhary
Komunitas Blogger M
4 min readApr 21, 2024

Malam ini, di pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat, sekitar kurang dari 15 menit yang lalu, saya baru saja membuka laman Instagram saya. Mengklik kolom cerita, lalu melihat beberapa kiriman cerita (instagram story) teman oleh teman daring (online) saya secara singkat, dan juga dua kali menggulir (scrolling) layar menggunakan jempol saya.

Suatu aktifitas yang kurang dari 10 detik itu rasanya berjalan secara mode auto-pilot begitu saja. Awalnya tak ada keinginan apapun untuk membuka sosial media, selain dari hanya —agaknya sekadar impulsif semata. Yang kadang, dari situ membuat saya suka berpikir kalau membuka sosial media laiknya perjudian saja, yang tidak diketahui pasti (muatan konten) apa yang akan diperoleh. Yang biaya bertaruhnya boleh jadi bukan uang tetapi melebihi itu: waktu dan juga fokus.

Setelah menggulir dua kali kolom beranda secara perlahan. Saya mendapati satu konten yang isinya foto seorang kakek tua berjanggut tebal, beretnis Arab, berbaju putih serta lengkap dengan sorban yang menutup kepala dengan tanpa lipatan-lipatan sepertihalnya gaya mengenakan sorban yang lain. Ya, itu adalah gaya mengenakan sorban yang khas sekali di pakai oleh warga Saudi.

Sedikit informasi, ada beberapa macam gaya mengenakan sorban di negara-negara Arab yang masing-masing negara memiliki ciri khas gaya nya sendiri.

Syaikh Ismail

Lanjut ke isi konten dengan tiga salindia yang saya dapati dari unggahan akun dengan nama akun @islamify. Pada salindia pertama dari foto tersebut tertulis sebuah kalimat istirja' berbahasa Arab, dan diikuti pula beberapa kalimat yang ditulis dalam bahasa Inggris. Redaksi beritanya seperti yang tertera pada gambar diatas. Yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya,

"Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya lah kita kembali.

Syekh Ismail, ikon Madinah yang menyajikan kopi dan teh kepada jamaah haji selama lebih dari 40 tahun, meninggal dunia."

Syaikh Ismail

Kemudian saya menggeser ke salindia kedua. Sebuah postingan berformat video yang menayangkan kakek tua tersebut sedang memberikan roti kepada orang-orang disekelilingnya. Sementara pada salindia ke tiga, potret kakek tua tersebut sedang memegang teko yang digunakan untuk menuang teh ke wadah kecil. Terlihat sedang menyajikan dan nampaknya siap untuk dibagikan.

Setelah melihat ketiga salindia tersebut. Saya beralih ke takarir (caption). Oleh pemiliki akun, disana tertulis informasi,

"Syaikh Ismail Al Zaim Abu Saba berusia 96 tahun, dari kota Hamah, Suriah. Meninggal hari ini di Madinah.

Ia sangat dikenal oleh orang-orang Madinah sebagai orang yang suka menyediakan teh, kopi, kurma, dan roti kepada peziarah disekitar masjid Nabawi dan masjid Kuba selama 40 tahun.

Ya Allah kasihanilah dia dan terangilah kuburnya."

Melihat suatu unggahan, tak lengkap rasanya bagi saya bila tidak melihat kolom komentar. Kolom komentar, setidaknya bagi saya adalah sarana tercepat untuk melihat sudut pandang lain atau informasi baru (tentu tanpa langsung mempercayainya). Meskipun kadang ada saja troll internet yang membuat saya sangat sebal dan bosan.

Tapi lain halnya pada postingan kali ini. Seluruh komentar sangat terkesan positif. Banyak diantara netizen yang mendoakan. Ada yang turut mengaminkan. Dan ada pula netizen yang berbagi pengalaman mereka saat bertemu Syaikh Ismail sewaktu mereka di Madinah. Saya sampai berbicara dalam hati, "Alangkah indahnya perbuatan baik. Alangkah indahnya orang baik. Alangkah indahnya kebaikan itu."

Setelah itu saya mengalihkan pandangan saya dari layar. Menengadah ke atas langit-langit (plafond) untuk beberapa saat, lalu beralih dan menatap kosong pintu kamar yang berada didepan saya. Dengan reflek. Saya mengulangi apa yang baru saja saya ucapkan dalam hati saya tadi. Tanpa sadar saya pun tersenyum.

Entah mengapa saya sangat menyukai kebaikan. Saya selalu gembira ketika melihat kebaikan itu, kendatipun bukan saya yang melakukannya. Melihat orang-orang saling bersaudara, saling berkasih sayang, bekerja sama, tolong-menolong, keberanian untuk berkorban, saling memberi, bersikap jujur, amanah, saling bermaaf dan memaafkan, saling mendoakan, memberi dukungan. Ada perasaan yang sulit rasanya diutarakan ketika menyaksikan atau mendengar pengalaman orang lain yang berkenaan dengan hal-hal tersebut. Yang jelas hati ini selalu merasa lebih lapang. Dan sering pada kesempatan lain saya selalu reflek menitikkan air mata pada kebaikan yang sifatnya pengorbanan. Saya baru menyadari bahwa saya cukup cengeng ketika menulis ini.

Saya terpukau terhadap Syaikh Ismail —seorang kakek tua yang dermawan tersebut berkenaan dengan konsistensinya didalam melayani para peziarah Masjid Nabawi. Pasalnya, berdasarkan informasi yang saya dapat, semuanya berasal dari dana pribadi, tanpa insentif dan tanpa sponsor. Saya tidak tahu pasti apa profesi dan dari mana sumber pendapatan beliau. Tapi, sebagai seorang Muslim saya rasa ayat "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." dari surat Al Baqarah sudah cukup bagi saya untuk menjawab kebingungan perihal sumber dana untuk memberi makan ratusan orang setiap harinya selama 40 tahun.

Meskipun begitu, mencoba mencari tahu apa profesi dan sumber pendapatan dari seorang dermawan dengan maksud mencari gambaran strategi untuk meniru kebaikannya adalah hal yang sah dan juga baik. Berbuat baik juga perlu seni dan perencanaan supaya menjadi kebaikan yang keberlanjutan.

Alih-alih mencari sumber pendapatan Syaikh. Saya justru malah bertanya-tanya perihal apa yang melatarbelakangi beliau sehingga bisa konsisten melakukan amal tersebut dalam waktu yang panjang itu. Selain dari pada faktor kebiasaan: berbagi makanan, mentraktir, memberi hadiah dan memberi salam yang sudah membudaya di bangsa Arab yang menjadi hipotesis saya. Dari situ, saya tidak menemukan alasan lain dari apa yang dilakukan oleh Syaikh selain dari pada mengabdi kepada Tuhan dengan cara melayani tamu-tamunya. Jelas saja, melakukan kerja sosial selama 40 tahun terlebih lagi tanpa pamrih dan dengan terlibat secara langsung itu adalah hal yang sukar menurut tabiat. Dibutuhkan dedikasi, kesabaran, keikhlasan, dan pondasi pemahaman serta kelekatan yang kuat berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan itu sendiri, terutamanya untuk sampai di tahap eksistensi religius. Entah lah, hanya Allah yang mengetahui. Kita hanya bisa berhusnuzhan demikian.

Jika demikian, itu adalah sebuah perpaduan yang indah, tentunya. Hablu minallah wa hablu minannas. Menyambung tali pertalian dengan Tuhan dan menyambung tali pertalian dengan sesama makhkukNya.

Semoga Allah mengasihi, merahmati, memberkahi dan memberikan balasan yang terbaik kepada beliau, Syaikh Ismail rahimahullah.

--

--