Saya Sepakat Kalau Menikah Itu Bukan Untuk Saling Melengkapi

Afiqul Adib
Komunitas Blogger M
3 min readJul 11, 2024
Photo by Luis Tosta on Unsplash

Ada banyak konsep seputar pernikahan. Dan satu hal yang saya Yakini adalah, tujuan dari menikah itu bukan untuk saling melengkapi. Sebab, itu adalah tugas diri sendiri, bukan orang lain.

Menikah itu Bukan Untuk Saling Melengkapi

Kemarin, di Fyp TikTok, saya menemukan potongan video Raditya Dika. Kurang lebih ia mengatakan, “Banyak pasangan merasa tidak bahagia Karena ia memperlakukan pasangannya untuk punya banyak pekerjaan sekaligus. Harus bisa menjadi pendengar, sopir, penyemangat, bank berjalan, teman belajar, penyembuh trauma, dll.”

Ia melanjutnya, “Padahal nggak bisa manusia mengisi posisi sebanyak itu secara realistis.” Percintaan di era modern itu menjadi tidak logis kalau satu orang ini kita bebankan semua hal. Iya, pasti hubungannya nggak akan happy.

Saya sangat sepakat. Karena itu jika kamu miskin, ya, kerja, bukan malah cari pasangan yang kaya. Kalau kamu emosian, ya, belajar kelola emosimu, bukan cari pasangan yang penyabar. Karena hidup kita itu ditentukan oleh diri sendiri, bukan menunggu dilengkapi orang lain.

Selain itu, ada satu film bagus, judulnya “Sabtu Bersama Bapak”. Ada bagian di mana si pemeran ini bilang, “melengkapi diri saya itu tugas saya, bukan orang lain.” Ia melanjutkan, “menjalin sebuah hubungan itu butuh dua orang yang kuat. Dan untuk menjadi kuat, itu adalah tanggungjawab masing-masing.”

Saya langsung cengar-cengir mendengarnya. Iya, anggapan bahwa “Aku ingin dilayani, aku ingin dibahagiakan”, itu bukan cinta. Sebab, kalau kata Pak Faiz, “Cinta itu menghilangkan ego keakuan”. Kalau kata mbak Iim Fahima, “Menikah itu agar bisa saling urus, bukan biar salah satu ada yang ngurusin.”

Dari beberapa hal yang saya pahami, saya selalu mbatin pada orang yang dalam sebuah hubungan selalu ingin dilengkapi, bahkan ingin diratukan. Iya, sebuah konsep yang lebih familier dinamai “Treat Like a Queen”, yakni sebuah upaya untuk diperlakukan seperti ratu oleh pasangannya.

Penganut mahzab ini cenderung mengharapkan perlakuan istimewa, perhatian penuh, dan pemenuhan segala keinginannya tanpa syarat.

Bukan berarti harapan seperti itu tidak boleh. Kebanyakan manusia memang ingin demikian. Namun, apakah harapan semacam ini realistis dan sehat dalam sebuah hubungan, khususnya dalam pernikahan?

Lebih jauh, tentang nasihat pernikahan

Menikah itu pasti ada berantemnya. Pasti ada hal yang nggak nyaman, karena itu harus rela untuk kompromi seumur hidup.

Kalau ingin mencari pasangan, kata Pak Faiz, “Jangan mengandalkan cinta, sebab perasaan itu naik turun”.

Kemudian, mengutip Raditya Dika, “yang tersisa di pernikahan itu adalah obrolan-obrolannya. Jadi, pastikan menemukan seseorang yang kamu seneng untuk ngobrol sama dia sampai kapanpun”. Kalau kata Nietzsche, “Carilah orang yang cocok untuk diajak bicara.”

Sebab, hubungan yang sehat itu harus setara. Kedua belah pihak berperan aktif dalam menciptakan kebahagiaan bersama, bukan sekadar memenuhi ekspektasi satu pihak saja. Karena pada akhirnya, kita selalu butuh pasangan yang mau belajar bersama, bukan yang selalu mengatakan, “aku emang gini orangnya”.

Sebagai penutup, mari kita renungkan bahwa pernikahan adalah perjalanan yang penuh dengan pelajaran dan kompromi. Menikah bukanlah tentang mencari seseorang yang dapat melengkapi kekurangan kita, melainkan tentang menemukan pasangan yang bisa berjalan bersama dalam proses saling memperbaiki diri.

Pernikahan yang sehat dan bahagia tidak didasarkan pada ekspektasi untuk dilengkapi oleh pasangan, melainkan pada keinginan bersama untuk tumbuh dan belajar satu sama lain. Jadi, mari kita tinggalkan konsep usang bahwa pernikahan adalah untuk saling melengkapi, dan mulailah membangun hubungan yang setara, penuh cinta, dan saling menghargai. Bagi saya, itulah kunci kebahagiaan sejati dalam pernikahan.

Karena itu saya selalu ingin bertanya, penganut mahzab “Treat Like a Queen” itu maunya apa sih?

--

--

Afiqul Adib
Komunitas Blogger M

Warga Kabupaten Lamongan | Menulis tiap hari kamis di Medium sejak 12 Oktober 2023.