Seaspiracy: Mengurai Kolapsnya Ekosistem Laut

Muhammad Khoirul Wafa
Komunitas Blogger M
5 min readJul 7, 2021

--

Manusia hadir tiba-tiba, menyusup masuk dalam ekosistem laut. Meskipun mereka tak pernah hidup di laut, tapi mereka sekarang telah berada di puncak rantai makanan. Ada diatas hiu dan paus.

Manusia mengeruk kekayaan laut, yang kata nenek moyang dulu samudera tak akan kehabisan ikan, sekarang kalimat menghibur itu seperti mulai menjadi bias. Ada yang bilang, jika terus menerus begini, mungkin laut akan hampir kosong pada 2048 M.

Dan apa jadinya jika tak ada ikan di lautan? Mungkin tak cuma manusia yang kehilangan salah satu sumber pangan mereka. Tapi ini juga menyangkut kelangsungan kehidupan makhluk lain di dunia pada umumnya. Ikan punah, kehidupan manusia juga akan terancam.

Tapi kenapa bisa?

Ada yang bilang, saat paus dan lumba-lumba mengambil nafas ke permukaan, sebenarnya mereka juga membantu menyuburkan tumbuhan laut kecil yang disebut fitoplankton. Yang tiap tahunnya menyerap empat kali lebih banyak karbondioksida daripada hutan Amazon. Sekaligus menghasilkan 85% oksigen yang dihirup manusia.

Yah, laut adalah penyerap karbondioksida terbesar yang sebenarnya kita miliki. Bukan hanya hutan. Tumbuhan laut pesisir katanya bisa menyerap dua puluh kali karbondioksida lebih banyak daripada pepohonan di daratan. Dan hingga 93% karbondioksida tersimpan di lautan, dibantu dengan vegetasi laut, alga, dan karang.

Maka kehilangan satu persen saja dari ekosistem tersebut, setara dengan melepaskan emisi dari sembilan puluh tujuh juta mobil.

Bahwa kehidupan ikan-ikan di laut akan membantu kelangsungan hidup terumbu karang. Kotoran mereka, membantu menyuburkan tumbuhan-tumbuhan laut yang indah itu.

Ada yang bilang, hiu membunuh sampai sepuluh manusia per tahun. Tapi sebaliknya, manusia membunuh setidaknya sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu hiu setiap jamnya.

Dan saat populasi puncak rantai makanan mulai goyah, akan ada kelebihan populasi pada tingkat rantai makanan kedua, yang menyebabkan kekurangan populasi pada tingkat rantai makanan ketiga. Lalu saat tingkat ketiga habis, tak ada makanan untuk tingkat kedua. Lalu tingkat kedua pun akan ikut punah. Dan seterusnya, itu menjadi skenario buruk kolapsnya rantai makanan.

Bayangkan jika populasi paus dan hiu sebagai puncak rantai makanan terancam, apa yang akan dialami generasi kita selanjutnya?

Film dokumenter Netflix, Seaspiracy berusaha mengungkap kegelisahan tersebut. Dari fakta sederhana yang kita tahu tentang sampah plastik di lautan, hingga menyoroti perburuan lumba-lumba yang dilegalkan di Jepang.

Lalu salah satu yang tak pernah disadari sebelumnya, mungkin kita peduli pada kampanye plastik, kampanye sedotan, penangkapan ikan ilegal, dan lain sebagainya. Itu semua cukup kasat mata. Tapi sebenarnya masalah terbesar yang dihadapi adalah industri penangkapan ikan itu sendiri. Ancaman besar yang "tidak terlihat".

Dalam hal merusak ekosistem laut, sampah plastik jadi seperti tak ada apa-apanya dibandingkan dengan hasrat konsumtif manusia itu sendiri yang butuh nutrisi dari ikan-ikan di laut.

Semakin tinggi permintaan pasar, industri penangkapan ikan kian berkembang, dan dengan kian merajalelanya kapal-kapal di laut yang menangkap ikan memakai daya masif, gila-gilaan, maka ikan yang katanya tak akan habis itu juga pada akhirnya akan punah juga.

Mengapa? Yah, meskipun kapal-kapal nelayan hanya fokus menangkap ikan-ikan tertentu, tapi secara tidak disengaja jaring-jaring mereka juga akan menjerat "populasi yang tak diinginkan". Hiu, penyu, dan ikan-ikan lain mau tak mau akan ikut terjebak dalam apa yang orang-orang sebut sebagai "tangkapan tidak disengaja", atau "tangkapan sampingan".

Nelayan memang tidak memburu hiu, tapi mereka tak sengaja terus menerus menangkap hiu. Dan seringkali, saat hiu-hiu tersebut hendak dilepaskan kembali, itu sudah terlambat.

Dan bagaimana jika ada hingga empat setengah juta kapal penangkap ikan yang beroperasi di dunia?

Kita bisa membayangkan setiap menitnya, setiap detiknya, ada berapa ikan yang berhasil ditangkap nelayan. Ada yang bilang, jumlahnya mencapai 2,7 triliun ikan per tahun, atau setidaknya ada lima juta ikan yang ditangkap setiap menitnya.

Kemudian kapal-kapal itu menghasilkan limbah yang jauh lebih mengerikan dampaknya dibandingkan sampah plastik, atau sedotan plastik, yang biasa dikampanyekan itu.

Kapal-kapal itu menebarkan sampah laut berupa jaring-jaring yang jumlahnya membuat kita mengernyitkan dahi. Membuat kita berpikir kembali, bahwa apa yang diperjuangkan tentang kampanye sedotan plastik adalah seperti mengatakan kepada orang-orang, bahwa untuk menyelamatkan hutan sebaiknya jangan pakai tusuk gigi. Alih-alih melawan pembalakan liar yang tak bisa disentuh hukum.

Ada yang bilang, setidaknya seribu ekor penyu mati akibat sampah plastik. Tapi data lain sungguh mencengangkan, bahwa untuk Amerika serikat saja, dalam setahun hingga 250.000 ekor penyu tertangkap, terluka, atau bahkan terbunuh oleh kapal-kapal penangkap ikan.

Ada yang bilang, kecelakaan di Deepwater Horizon, yang disebut-sebut sebagai salah satu bencana pengeboran minyak terbesar ternyata justru menguntungkan bagi populasi ikan di laut.

Meskipun kelihatannya banyak ikan yang mati karena tumpahan minyak, namun dengan ditutupnya banyak wilayah laut dalam rangka pembersihan, ikan-ikan di situ bisa beristirahat sejenak dari jaring nelayan.

Konon jumlah ikan yang terdampak selama tiga bulan akibat bencana Deepwater Horizon, hanya setara dengan nilai satu hari penangkapan ikan oleh kapal-kapal industri perikanan di teluk Meksiko.

Membaca hal tersebut, bagi saya rasanya terdengar seperti teori konspirasi. Namun, lama kelamaan itu jadi logis saat dihadapkan dengan hasrat industrialisasi.

Kita tak pernah tahu, permintaan manusia akan konsumsi ikan demikian besar, dan setiap kali permintaan itu bertambah, itu menjadi peluang untuk "tambang emas" baru.

Tentu kita menyadari, hal semacam itu pasti menimbulkan risiko. Sesuatu yang tak diharapkan. Tidak cukup rasanya jika undang-undang internasional melarang perburuan paus dan lumba-lumba. Sebab di zaman ini, paus juga masih terancam populasinya seperti dulu. Saat Herman Merville masih menulis novel Moby Dick.

Mungkin cara terbaik menyelamatkan laut memang adalah berhenti makan ikan. Mengurangi hasrat konsumtif itu sendiri. Jika manusia tak mengkonsumsi ikan-ikan di laut, ekosistem mereka akan terjaga karena lama kelamaan kapal-kapal penangkap ikan dengan sendirinya akan berkurang jumlahnya.

Namun untuk hari ini, kampanye seperti itu masih terdengar mustahil. Bahkan menteri kelautan kita yang dulu saja menggalakkan kepada masyarakat kita agar jangan bosan-bosannya makan ikan.

Dulu saya pernah berpikir, seberapa efektifkah gerakan vegetarian? Sekumpulan orang yang menolak makan dengan cara merenggut nyawa makhluk hidup lain. Apakah itu berguna? Sampai saya pikir, mungkin impian saya yang terlalu besar, seharusnya saya memulai dulu dari diri sendiri. Bahwa jika tak mampu mengurus diri sendiri, bagaimana bisa mengurusi orang lain.

Yah, dan seperti pesan dalam film dokumenter ini, tak ada orang yang bisa melakukan segala sesuatu. Tapi setiap orang bisa melakukan sesuatu.

Kebanyakan hal yang bernilai positif atau negatif yang membawa perubahan dalam hidup manusia berawal dari satu orang.

Jadi, tanpa menoleh kepada orang lain, hal apa yang akan diri kita lakukan?

Sekian.

--

--

Muhammad Khoirul Wafa
Komunitas Blogger M

Redaktur di aswajamuda.com, alumus Ma'had Aly Lirboyo angkatan 2020 M. Tinggal di Wonosobo. Bisa disapa di Twitter/IG @rogerwafaa