Sebesar Apa Perjuangan Kita Untuk Menulis?

Ahmad Arinal Haq
Komunitas Blogger M
3 min readDec 12, 2020
Sumber:gramedia.com

Menulis, suatu kegiatan menumpahkan pengetahuan yang ada di otak menjadi tulisan yang bisa dibaca dan dipahami. Tapi dalam kenyataannya tak semudah dengan apa yang saya teori kan tersebut. Perlu suatu proses yang berat agar kita bisa menulis sesuatu yang berkualitas.

Memang benar, di era modern ini, mudah bagi kita mencari referensi di mesin pencarian Google, tapi apakah itu sudah cukup?. Lalu, kadar tulisan yang berkualitas itu seperti apa?

Jika hanya memberi manfaat, dengan menulis status di media sosial saja sudah cukup. Jika demi memperlihatkan eksistensi, posting foto lebih baik daripada menulis sesuatu yang kemungkinan besar, pembacanya hanya diri kita sendiri.

Keterampilan menulis, baik fiksi atau non-fiksi termasuk hal yang rumit. G. K. Chesterton mengatakan: “Hanya satu hal yang diperlukan: segalanya”. Bagi para penulis “segalanya” mencakup banyak sampai pengalaman-pengalaman esensi manusia. Sudah banyak penulis-penulis dunia yang mempraktikkan hal ini.

Seperti sosok Albert Camus yang terkenal dengan perkataan “Aku memberontak, maka aku ada”, ucapan itu memang bukan omong kosong belaka. Peraih Nobel Sastra 1950 ini, mempengaruhi penulis-penulis lain melalui karya-karyanya yang berkualitas. Pencapaian yang ia dapat tak lepas dengan pengalaman hidupnya.

Atau sosok Noam Chomsky, yang selalu mengkritik kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Dengan banyaknya karya non-fiksi yang telah ia tulis, sempat menjadikan dirinya dibenci oleh negaranya sendiri. Sosok yang anti dengan kemapanan ini, menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Masih banyak penulis yang memiliki pengalaman hidup yang luar biasa di seluruh dunia ini.

Para penulis hebat sudah memahami dan mempraktikkan apa yang mereka tulis. Sedangkan diri kita apa? sok bicara kemanusiaan, tapi tak tahu susahnya mencari makan.

Ambisi berpolitik, tapi tak tahan kritik. Gayanya berfilsafat, tapi orang lain sering di umpat. Itulah gambaran besar dalam tulisan-tulisan kita. Yang selalu merasa paling benar daripada yang lainnya. Dengan zaman yang semakin rumit ini, semua orang bisa menulis dengan bebas di media sosialnya sendiri. Bahkan banyak yang sekedar copy-paste ungkapan orang lain atau tokoh-tokoh terkenal.

Memang benar, kita juga seperti itu. Meniru tulisan penulis yang kita idolakan. Tapi seiring berjalannya waktu, bersama dengan realitas yang dijalani dan harapan yang tinggi, pasti kita akan menjadi diri kita sendiri.

Lalu untuk apa seseorang menulis? . Jika, untuk memberi pengetahuan kepada orang awam. Maka tulisan kita juga harus bisa dipahami oleh orang awam. Tidak sekedar meniru perkataan para profesor atau orang-orang terpelajar. Agar tidak ada kesenjangan antara diri kita sebagai penulis dengan orang-orang awam. Walaupun penulis sendiri identik dengan ‘orang aneh’ dalam lingkungannya sendiri.

Jorge Louis Borges mengatakan: “menjadi penulis adalah menjadi seorang pemimpin.” Itulah diri kita, pemimpin yang ikut bermasyarakat di lingkungan masing-masing.

Pada akhirnya, seseorang punya gayanya masing-masing dalam hal menulis. Dengan tujuan dan harapan yang berbeda-beda. Menjadi penulis fiksi, non-fiksi atau dua-duanya, itu terserah diri kita. Sedangkan jawaban atas pertanyaan “Sebesar apa perjuangan kita untuk menulis?”

Hanya diri kita sendiri yang tahu. Mungkin saja dijawab oleh generasi yang akan datang. Yang perlu kita lakukan adalah menulis apa yang menurut kita benar berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Jika hanya menulis apa yang disukai orang lain. Maka, kita tak ada bedanya dengan orang tersebut. Karena menulis tidak hanya hobi dan pekerjaan saja. Menulis lebih dari itu semua. Ada satu pertanyaan dari Jean- Paul Sartre yang patut direnungkan setiap detiknya. “Mengapa seseorang menulis?.”

--

--