Sekali Lagi, Bagi Kemenangan Para Demagog

Feyza Miskatlubby
Komunitas Blogger M
5 min readFeb 18, 2024
Photo by Elimende Inagella on Unsplash

Pandangan demokrasi yang selama ini kita lihat sebagai bentuk pembagian kekuasaan lewat perintah rakyat sebenarnya berbeda dengan apa yang dipahami oleh Aristoteles berabad-abad lalu. Apabila kita memahami bahwa kekuasaan diberikan oleh rakyat dan untuk rakyat, maka Aristoteles mempertanyakan soal rakyat mana yang pantas memberikan mandat politik itu?.

Negara dalam arti yang luas adalah kelompok yang dibentuk sebagai upaya mencapai kebaikan bersama. Dan sudah barang tentu negara dianggap gagal apabila kebaikan bersama itu tidak mampu dicapai. Dalam upaya membentuk negara yang berhasil, maka diperlukan partisipasi warga negara. Dan dalam melihat status partisipasi warga negara ini, Aristoteles melihat bahwa mereka yang dapat dikatakan ‘mampu-lah’ yang akan diberikan mandat untuk berpartisipasi dalam memberikan pandangan politiknya.

Warga negara menurut Aristoteles, adalah orang-orang yang merupakan unsur dari suatu badan politik yang tersusun dari bagian-bagian bersama yang membentuk suatu negara. Dan dalam pandangannya, maka petani dan pemulung bukanlah bagian dari warga negara dalam konteks pemikiran Aristoteles. Hal ini merujuk pada alasan bahwa hanya politisi yang memiliki kapasitas untuk menjalani kehidupan melalui alasan politik dan posisinya di Polis-lah, yang berhak mendapat gelar warga negara.

Demokrasi Substansial, Stagnasi, Atau Kemunduran?

Kelahiran demokrasi di Indonesia selama ini masih menjadi sesuatu yang dinantikan kehadirannya. Pertanyaannya, bukankah demokrasi sudah kita jalankan selama ini?. Kecenderungan global akan lahirnya demokrasi yang nyata adalah impian bagi banyak negara, khususnya negara-negara berkembang dan tidak terkecuali untuk Indonesia sendiri. Keruntuhan rezim-rezim otoriter telah mendorong lahirnya semangat demokrasi. Secara khusus di Indonesia, kelahiran demokrasi ditandai lewat jatuhnya rezim otoriter orde baru pada 1998. Keruntuhan ini telah memberikan kesan bahwa demokrasi telah secara ampuh menaklukan otoritarianisme.

Bangsa ini selama lebih dari 20 tahun pasca runtuhnya orde baru, hanya mendapatkan suatu demokrasi yang kita anggap semu. Tumbangnya rezim orde baru tidak mampu ditumpas sampai ke akar-akarnya. Warisan politik yang nikmat itu masih halal dipertontokan, dan para pelakunya terkadang masih bangga menganggap dirinya adalah bagian dari itu.

Masa transisi ini, atau yang lazim kita kenal sebagai era reformasi adalah suatu masa yang diharapkan oleh ratusan juta rakyat Indonesia beberapa dekade lalu. Namun entah kenapa, pola transisi politik keji era orde baru berlangsung begitu lamban. Hal ini jelas terjadi karena para politisi sangat menikmati keuntungan dibalik halusnya perjalanan transisi politik ini. Dan kita, masyarakat, telah berkali-kali menginginkan agresifitas dalam perubahan pola berpolitik lewat mosi-mosi tidak percaya.

Hanya ada beberapa kemungkinan dalam berlangsungnya proses transisi ini. Pertama, kesempurnaan demokrasi berhasil dicapai lewat aksi-aksi kolektif para politisi, dan demokrasi mampu berjalan secara prosedural dan substansial. Kedua, demokrasi berjalan lamban dan cenderung stagnan. Hal ini terjadi karena politisi masih sanggup berpura-pura demokratis, dan demokrasi diperlukan dalam mengamankan para konstituen yang akan digunakan setiap masa pemilu. Dan yang ketiga, adalah runtuhnya demokrasi lewat kebangkitan otoritarianisme baru.

Kolaborasi Demagogi dan Kebodohan Rakyat

Demagogi adalah praktik atau gaya kepemimpinan di mana seseorang memanfaatkan emosi, ketakutan, dan prasangka massa untuk memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau mencapai tujuan politik atau sosial tertentu. Orang yang mempraktikkan demagogi, kita sebut sebagai demagog, acap kali menggunakan retorika yang emosional dan berlebihan, mengabaikan fakta atau logika, serta terus menerus memanipulasi opini publik sebagai upaya mendapatkan dukungan. Demagogi sangat erat kaitannya dengan gaya berpolitik, namun ia dapat muncul dalam berbagai konteks sosial maupun budaya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demagogi diartikan sebagai upaya penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat. Sementara Demagog adalah istilah Yunani, yaitu “demos” yang bermakna rakyat, dan “agogos” yang bermakna pimpinan dalam artian yang negatif. Atau disimpulkan sebagai pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.

Pada dasarnya demagogi telah mengalami suatu degradasi makna. Karena seorang demagog sudah pasti merupakan seorang orator ulung yang cerdas dan terampil. Mereka adalah aktor politik yang mampu membakar semangat dan emosi rakyat, walau seringkali melupakan kebenaran, logika, dan konsekuensi jangka panjang. Dalam banyak kasus, ketika kita berbicara tentang demagogi, kita cenderung merujuk pada praktik mencari kekuasaan atau penggerakan massa lewat cara yang meragukan secara moral dan etika. Oleh karena itu, konotasi negatif yang melekat pada demagogi lebih kuat daripada aspek positifnya, dan itulah sebabnya demagogi sering kali dianggap memiliki degradasi makna.

Keculasan dan penipuan seringkali menjadi sifat yang terkait dengan demagogi. Para demagog cenderung menggunakan berbagai taktik manipulatif untuk mempengaruhi massa, termasuk dengan cara menyajikan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan, mengeksploitasi emosi serta ketakutan, dan mengabaikan fakta-fakta yang tidak mendukung narasi mereka. Keculasan dan penipuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari menyajikan data yang dipilih secara selektif untuk mendukung argumen mereka, hingga menyebarkan disinformasi dalam upaya memperkuat posisi mereka atau merusak reputasi lawan politik. Praktik semacam ini tidak hanya merugikan proses demokratisasi dan kepercayaan masyarakat pada pemimpin dan institusi politik, tetapi juga dapat menghasilkan konsekuensi yang merugikan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Demagogi dalam politik bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari janji-janji yang tidak realistis dan berlebihan, hingga penyebaran informasi palsu atau penggunaan emosi dan ketakutan yang memanipulasi opini publik. Para kandidat calon presiden dan wakil presiden Indonesia pada pemilu 2024 terindikasi sebagai para demagog. Merea bersolek dan berirama meraih suara konstituen. Dan kita harus akui, bahwa kesemuanya merupakan para demagog ulung. Namun beberapa diantaranya, adalah yang paling ulung.

Penting bagi warga negara Indonesia untuk mengamati pemimpin dan calon pemimpin dengan kritis, lewat pemeriksaan fakta, dan pertimbangan berbagai perspektif sebelum membuat keputusan politik. Ini adalah bagian penting dari proses demokratis yang sehat dan memastikan bahwa pemimpin yang dipilih benar-benar mewakili kepentingan publik dan mematuhi prinsip-prinsip demokrasi yang kuat. dan setiap individu juga harus dievaluasi berdasarkan rekam jejak, kebijakan, dan integritas mereka secara keseluruhan.

Beberapa demagog memiliki keterampilan retorika yang luar biasa dan mampu mempengaruhi orang dengan kata-kata mereka. Ini dapat membuat orang terkesan dan lebih cenderung untuk mengikuti mereka tanpa mempertimbangkan secara kritis apa yang sebenarnya mereka sampaikan. Demagog cenderung membuat janji-janji yang berlebihan atau tidak realistis untuk memperoleh dukungan. Meskipun janji-janji ini mungkin tidak dapat dipenuhi, mereka bisa sangat menarik bagi orang-orang yang mengharapkan solusi cepat bagi masalah mereka, juga orang-orang yang mungkin bisa kita anggap bodoh secara intelektual. Kadang-kadang, rakyat mungkin tidak memiliki akses atau pemahaman yang memadai tentang isu-isu politik atau kebijakan tertentu. Hal ini dapat membuat mereka lebih mudah dipengaruhi oleh narasi yang sederhana namun menarik yang disajikan oleh para demagog. Dan sekali lagi, kekalahan beruntun bagi rakyat, serta kemenangan absolut bagi demagog.

Untuk melawan demagogi, penting bagi warga negara untuk meningkatkan literasi politik, mempertimbangkan informasi secara kritis, dan memilih pemimpin berdasarkan kebijakan dan integritas mereka, bukan hanya karena retorika atau emosi yang ditimbulkan.

--

--