Sekolah Indonesia Sebaiknya Mengajarkan Filsafat Agama

Winona Araminta
Komunitas Blogger M
6 min readMar 7, 2022

Salah satu solusi meningkatkan toleransi di Indonesia.

Masalah Toleransi Indonesia

Rasisme di Indonesia hanyalah masalah yang terlihat. Tapi jika ditilik dari dasar masalahnya, sebenarnya lebih tepat kalau masalah warga Indonesia adalah ketidak mampuan memahami agama lain.

Dahulu ketika saya bersekolah di SMA Negeri, pernah saya dan murid-murid beragama Kristen pulang jam 11 siang di hari Jumat. Melihat kami sudah menuju pintu gerbang, guru bahasa Inggris berteriak memanggil kami.

“Kalian kok mau pulang?” kata guru laki-laki ini.

“Iya pak, kan sudah waktunya pulang.”

“Loh, kalian orang Kristen nggak ada seperti Jumatan gitu ya?”

“…..”

(Sebagai informasi tambahan, guru ini sudah beristri dan mempunyai anak. Jadi seharusnya sudah tinggal di bumi lebih lama daripada saya.)

Beberapa tahun kemudian, saya memilih menjadi mahasiswa di Universitas Kristen di Surabaya. Untuk beberapa bulan saya mengalami shock culture di kampus saya.

Di sekolah negeri saya yang dulu, walaupun julukannya negeri, tapi sebenarnya lebih tepat dipanggil Sekolah Islam. Mayoritas muridnya Muslim, dan hampir tidak ada agama minoritas seperti Katolik, Hindu, Konghucu di sana.

Sedangkan ketika saya berkuliah di Universitas Kristen, mahasiswa beragama Islamlah yang menjadi minoritas. Menariknya walaupun universitas ini mengusung nilai-nilai Kristiani, tapi ada beberapa perkumpulan agama Budha, Konghucu dan lain-lain.

Photo by Thays Orrico on Unsplash

Singkat cerita suatu hari ketika kelas berjalan, ada beberapa teman Katolik datang terlambat. Beberapa mukanya terkena abu, saya kira ada kotoran di mukanya jadi saya teriak,

“Eh, itu ada kotoran, cuci muka gih.” Teman samping meja saya mencolek dan memelototi dengan mata sipitnya. Baru saya tahu ternyata itu hari Rabu Abu, dan memang setiap tahun Katolik menjalani ritual agama seperti itu.

Saya jadi berpikir, ternyata bukan cuma orang Muslim yang tidak tahu tentang agama lain, saya juga yang agamanya minoritaspun tidak seberapa tahu adat dan ritual empat agama di Indonesia.

Ketika saya bercerita tentang budaya di sekolah negeri, di mana rok harus lebih panjang dari lutut, baju tidak boleh press body, teman-teman saya yang dari dahulu sekolah swasta kebingungan, kenapa saya yang beragama Kristen juga ‘dipaksa’ menuruti aturan tersebut.

Untuk masyarakat beragama minoritas, tinggal di Indonesia harus lebih pintar. Tidak hanya memahami agama sendiri, kita harus belajar agama mayoritas supaya dipandang bisa ‘bertoleransi’. Mungkin karena hal tersebut kampus saya memiliki kelas Filsafat Agama yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa dari segala jurusan.

Pengalaman Belajar Filsafat Agama

Di kelas ini kami diajarkan untuk memahami semua agama di Indonesia. Dari agama Islam sampai Konghucu. Kami diajarkan sejarahnya, kitabnya, dan banyak lagi oleh dosen yang memang berkuliah dalam jurusan tersebut. Jujur saya baru tahu ternyata agama-agama di Indonesia sebeda itu.

Mulai dari konsep Tuhan yang berbeda, konsep surga yang berbeda. Walaupun nilai-nilai kebaikan hampir-hampir beda tipis, tapi alasan pengajaran itu dilakukan berbeda. Saya jadi mengetahui landasan pikiran teman-teman saya yang berbeda agama.

Contohnya teman saya yang Budha, dia dengan senang hati ikut berdoa dalam Kristen, tapi juga bisa menyublim ke komunitas beda agama. Ternyata memang di ajaran Budha tidak mengenal monoteisme (satu Tuhan).

Ketika mendapat ajaran tentang filsafat agamapun iman saya dalam Kristen tidak terombang-ambing, karena saya jadi bertambah punya alasan kuat kenapa mengimani agama saya. Tidak hanya ‘lahir’ langsung Kristen, atau menjadi Kristen karena disuruh orang tua.

Saya jadi berpikir kembali kenapa ya orang-orang takut sekali belajar agama lain, padahal mereka itu kepo.

Source: Unsplash

Dahulu ketika SMA, saya diajak nongkrong oleh teman-teman non Kristen. Mereka ternyata meluangkan waktu untuk melihat debat agama di Youtube tentang Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus). Mereka bingung dengan konsep Tuhan Kristen Protestan, sehingga bertanya pada saya.

Ada keinginan dari mereka untuk tahu lebih dalam, hanya saja tidak mengerti harus tanya kepada siapa.

Lalu saya berpikir, mengapa tidak ada ya pengajaran seperti ini di sekolah menengah? Sebenarnya saya tidak setuju dengan adanya pembelajaran agama di sekolah. Menurut saya agama adalah kewajiban pribadi, dan tidak seharusnya diatur oleh negara. Apalagi tidak semua agama perlu pengajaran di sekolah, bisa saja diajarkan langsung di rumah ibadatnya.

Ketika saya bersekolah di negeri dulu, di satu angkatan saya yang berjumlah lebih dari 100 orang, hanya ada dua siswa Budha, dan satu Hindu.

Sering beberapa sekolah yang tidak memiliki guru dari agama minoritas. Solusinya? Guru yang bukan guru agamalah yang dipilih. Misal ada guru olahraga yang memiliki agama Budha, dia terpaksa disuruh jadi guru agama tersebut.

Yang paling kasihan pada waktu itu agama Katholik, akhirnya ikut pelajaran Kristen protestan (karena dianggap hampir sama).

Kasus ada guru yang mau mengajar agama minoritas saja langka, kadang para murid-murid yang minoritas ini ketika pembelajaran agama harus ke sekolah lain supaya mendapat guru. Seperti mau belajar silat saja.

Pencarian guru agama :)

Mengadaptasi Filsafat Agama dalam Kurikulum Sekolah Indonesia

Daripada memisahkan murid-murid beragama lain di kelas tersendiri, saya pernah berpikir kenapa tidak disatukan saja dan membuat kelas Filsafat Agama atau kelas toleransi.

  • Bagaimana harusnya bersikap pada orang-orang dengan budaya dan agama berbeda.
  • Ketika kita kepo dengan agama lain, bagaimana kita harus bertanya dengan sopan.
  • Mengapa pada agama tertentu ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

“Itu mah basic, nggak usah diajarkan udah paham kali”

Sebenarnya dulu saya ingat hal-hal ini pernah diajarkan dalam buku PKN di SD. Tapi nyatanya tidak seefektif itu karena anak kecil tahap emosionalnya masih kurang. Pembelajaran satu bab saja tidak cukup untuk menanamkan tabiat ini. Perlu ada advanced class jika ingin benar-benar menanamkan toleransi di negara Indonesia.

Walau makin banyak orang-orang yang sudah open minded, saya rasa open minded terjadi karena mulai banyak orang yang sudah teredukasi di perkuliahan atau di kota besar.

Saya pernah punya teman Muslim yang pernah menyuruh saya pulang ke Cina ketika SMA (walau saya nggak pernah ke Cina). Dia akhirnya minta maaf ketika kuliah setelah bertemu seorang dosen yang mengajarkan nilai-nilai toleransi.

Karakter fictional.

Kesempatan orang untuk lebih bertoleransi justru terjalin ketika mereka keluar dari circle mereka yang itu-itu saja. Tapi sayangnya tidak semua memiliki previlege tersebut.

Mengenal budaya seseorang tidak cukup hanya lewat layar HP dan membaca dari internet. Perlu bercakap-cakap langsung dengan orang tersebut supaya kita mengetahui seluk beluknya. Saya saja baru tahu muka orang Katolik pulang dari gereja di dari Rabu Abu ketika kuliah.

Bagaimana dengan orang-orang yang masih bersekolah sampai SMA? Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, tenaga kerja Indonesia yang berpendidikan tinggi yaitu Diploma dan Universitas hanya sebesar 12,92% atau 16,93 juta orang.

Perlu ada edukasi sedini mungkin tentang toleransi untuk murid-murid di Indonesia.

Sungguh aneh rasanya, ketika pemerintah menginginkan Indonesia menjadi negara penuh toleransi, tapi nyatanya tidak ada dasar yang kuat untuk menanamkan pola pikir tersebut dari pendidikannya.

Memang terdengar remeh, tapi inilah yang terjadi di Indonesia. Pengetahuan tentang agama lain hanya nama agama yang tertera di KTP saja.

KTP Indonesia bagian belakang. Source: Canva.

--

--