Self Harm: Ketika Eksistensi Diri Sungguh Diperlukan

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
8 min readApr 14, 2024

--

sumber gambar: marblefallsisd.org

Kali ini aku menulis dengan sudut pandang orang pertama. Setelah beberapa kali membaca artikel di platform ini, ada begitu banyak tulisan yang kutemui memakai gaya penulisan layaknya seseorang yang tengah “bercerita”. Kupikir ini semakin menyenangkan dikarenakan tulisan dengan gaya personal seperti ini akan memberikan rasa dekat bagi pembaca dan begitu ringan. Selain itu aku juga dengan mudah memberikan argumen dan pendapatku terkait banyak hal tanpa terkendala bahasa yang terlalu rumit. Kemungkinan selanjutnya gaya penulisan seperti ini akan diteruskan.

Baik, lanjut ke pembahasan utama. Aku mengenal istilah self harm sekitar beberapa tahun yang lalu. Awalnya aku sempat bingung dan merasa sedikit aneh dengan istilah tersebut, akan tetapi setelah beberapa kali mengenal seseorang yang melakukan tindakan ini dengan disengaja dan memang pada dasarnya pelaku perilaku self harm benar-benar sadar akan perbuatannya, aku mulai tertarik untuk mempelajarinya.

Aku akan berbicara perilaku self harm dalam konteks kelompok remaja. Kemungkinan besar pembaca tulisan ini merupakan seorang remaja, aku juga begitu dan kurasa tulisan ini cukup penting bagi kita semua. Masa remaja, menurut Sigmund Freud mengutip dari Theories of Development dianggap sebagai masa yang penuh pergolakan.

Banyak hal yang begitu membuat diri kita bimbang, entah itu terkait masa depan, sekolah, percintaan, hubungan intrapersonal dengan keluarga dan masyarakat, lalu banyak hal lain yang sungguh diluar batas. Bahkan mungkin saja pesan yang belum dibalas oleh pujaan hati sejam yang lalu bisa saja membuat perasaan seorang remaja cemas. Begitu lucu.

Masa remaja juga dilihat sebagai fase yang menuntut individu agar mampu beradaptasi terkait banyak hal yang bisa saja berujung pada sebuah konflik.

Sigmund Freud (sumber: kompas.com)

Self Harm dan Remaja

Kita mulai dari definisi terlebih dahulu. Perilaku self harm merupakan suatu tindakan yang secara sadar melukai diri sendiri, baik itu dengan cara menyayat tangan, menusuk dengan benda kecil seperti jarum, membenturkan tubuh ke tembok dan lain sebagainya sehingga menimbulkan memar bahkan pendarahan tanpa bermaksud untuk melakukan bunuh diri.

Selain itu, perilaku self harm juga dilakukan dalam tindakan membakar bagian tubuh tertentu, menjambak rambut, hingga mengonsumsi obat-obatan terlarang. Begitu mengerikan menurutku. Perilaku yang sebenarnya merugikan diri sendiri, baik secara fisik maupun mental dilakukan oleh seseorang dan sebagian besar dilakukan oleh remaja.

Menurut Swannel, sekitar 17,2% remaja dan 13,4% dewasa muda pernah melakukan tindakan self harm setidaknya sekali seumur hidup. Sebagian besar studi juga menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok yang paling banyak melakukan tindakan self harm dan hal ini menjadi permasalahan di berbagai negara.

Di Australia sendiri, pada tahun 2010 sebanyak 20% populasi berumur 18–24 tahun melukai diri sendiri sekali seumur hidup mereka. Sedangkan di Amerika Serikat, setidaknya sekitar dua juta individu tiap tahunnya pada ranah 1.000 populasi dari 100.000 usia muda melakukan tindakan self harm.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kupikir tidaklah lebih baik. Merujuk survey yang dilakukan oleh YouGov Omnibus dengan mengambil sampel sebanyak 1.018 orang Indonesia, sebanyak sepertiga penduduk dengan presentase sebesar 36,9% penduduk melakukan perilaku self harm dan dua dari lima orang berasal dari kalangan remaja.

Sedangkan menurut data berdasarkan hasil survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia tahun 2013, prevalensi remaja yang berusia 13–17 tahun yang melukai diri sendiri sebesar 13% berjenis kelamin perempuan.

Namun, sebaiknya kita melihat dengan sudut pandang yang lebih luas. Aku dan kalian semua tidak dapat melihat data ini sebagai fakta yang terjadi sebenarnya. Ada begitu banyak sekali tindakan self harm yang belum terungkap secara jelas.

Fenomena ini kupikir dapat dianalogikan sebagai gunung es yang semakin ke bawah maka ukurannya semakin besar. Kurasa, sebagian besar kalian juga tahu atau kenal seseorang yang pernah melakukan tindakan self harm. Fenomena tindakan self harm bukanlah hal yang dapat untuk dinormalisasi.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Eksistensi Diri yang Memudar

Perilaku self harm sebagian besar alasan utamanya ialah hal-hal esensial terkait eksistensi diri. Aku melihat bahwasanya perilaku self harm sebagai siluman yang menyamar layaknya orang suci, merambah pada mimpi buruk dalam diri dan seakan-akan memberikan harapan yang baik dengan cahaya terang diluar sana, padahal hal tersebut hanyalah fatamorgana yang semu.

Remaja memiliki rasa yang haus akan rasa perhatian hangat dari orang-orang sekitar. Faktor inilah yang menimbulkan rasa percaya diri akan kemampuan diri sehingga individu remaja mampu mengaktualisasikan dirinya pada hal-hal yang membuatnya berkembang. Dan apa jadinya jika rasa perhatian itu hilang dan kesepian merekah di antara perasaan individu seorang remaja? Kau dan aku mungkin tahu penyebabnya. Rasa kesepian akan membunuh mereka secara perlahan.

Sebesar dua puluh hingga lima puluh persen remaja merasakan kesepian terutama pada individu yang berumur 12–22 tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan remaja merasa bahwa mereka dikucilkan atau tidak memiliki teman sehingga individu remaja menganggap bahwa mereka telah gagal dalam memiliki hubungan sosial yang baik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Selain itu, pola hubungan sosial yang berubah-ubah pada masa remaja mengakibatkan rasa kesepian memuncak. Kalian pasti pernah merasa bahwa teman-teman yang dulu bukan seperti sekarang bukan? Atau memiliki circle baru sehingga hubungan kalian merenggang.

Rasa eksistensi diri yang menghilang bersamaan dengan perasaan kesepian yang menghantui seakan menjadi kombo maut yang mengarahkan remaja pada perilaku self harm. Kalian akan tau sendiri akibatnya jika perasaan eksistensial diri yang rendah akibat sudut pandang dan konsep diri yang buruk berimplikasi pada perilaku sehari-hari. Rasa kepercayaan diri yang rendah akibat pandangan buruk dan konsep diri yang salah mengenai diri sendiri menyebabkan rasa eksistensi diri yang lemah akan meningkat.

Namun kurasa, aku dan kalian beruntung tinggal di Indonesia. Walaupun perilaku self harm masih banyak terjadi, namun presentasenya lebih kecil dengan negara lain dikarenakan budaya kolektivitas atau kekeluargaan yang mengikat pada masyarakat meredam kesepian itu.

Mungkin kalian akan dapat merasakannya atau sudah pernah merasakan bahwa sebagian besar orang akan lebih mudah stress di desa dibanding di kota. Hal ini merujuk pada sikap individualisme yang akut yang terjadi di kota. Nah, hal ini juga berlaku pada negara yang menganut kultur individualisme yang tinggi pada masyarakatnya.

Rasa eksistensi diri yang memudar ini juga terjadi pada ranah keluarga atau dapat disebut dengan family loneliness. Kesepian yang muncul akibat perasaan eksistensi diri yang rendah diakibatkan pengalaman dan komunikasi yang kurang baik dengan keluarganya. Pola komunikasi dengan orangtua maupun saudara kandung menurutku memainkan peran penting terhadap hal tersebut.

Aku mengenal beberapa orang yang melakukan tindakan self harm dan sebagian besar alasan mereka berkutat pada pola komunikasi yang buruk serta kurangnya perhatian dengan orang tua. Hal ini mengakibatkan anak menganggap mereka tidak eksis dan tidak berharga sehingga melakukan tindakan self harm demi perhatian dari orangtua.

Selain hal-hal mengenai keluarga, rasa eksistensi diri yang rendah akibat kesepian yang dialami individu remaja karena kurangnya rasa perhatian dari lawan jenis juga menjadi faktor perilaku self harm. Hal ini disebut dengan romantic loneliness. Ini dapat kalian dan aku temui pada hubungan seseorang yang putus dengan pacar atau orang terkasih sehingga beberapa remaja melampiaskan rasa kesepian itu dengan tindakan self harm.

Eksistensi diri yang memudar akibat kesepian juga mengakibatkan remaja mengisolasi diri dari masyarakat dan dunia luar. Hal ini disebut dengan social loneliness. Individu remaja yang kurang bersosialisasi bisa saja diakibatkan perilaku bullying yang diterimanya dan hubungan yang retak dengan pertemanan yang telah dirajut sejak lama.

Selain itu, individu remaja yang memiliki eksistensi diri yang rendah akibat kesepian juga menilai bahwa orang-orang yang tidak mengalami kesepian secara negatif sehingga individu remaja yang kesepian kerap memegang nilai dan sikap yang bermusuhan.

Orang-orang kukenal yang melakukan tindakan self harm semuanya adalah perempuan. Hal ini terkait dengan tanggapan individu terhadap pengalaman negatif dan toleransi yang rendah terhadap masalah yang dihadapi menjadi salah satu faktor perilaku self harm. Remaja perempuan memiliki kecenderungan lebih buruk dalam menghadapi masalah sehingga berdampak pada perilaku self harm dibanding remaja laki-laki, walaupun semakin bertambah usia perbandingan keduanya semakin menipis.

Walaupun sebagian besar perilaku self harm awalnya dinilai sebagai bentuk untuk mencari perhatian dari orang sekitar namun hal ini juga dianggap sebagai mekanisme coping yang dilakukan sebagai bentuk melepaskan kecemasan individu remaja. Dengan melukai diri sendiri maka dimaksudkan untuk menyalurkan rasa kecemasan terhadap banyak hal seperti rasa gagal, rasa kecewa, juga kurangnya pola komunikasi yang baik dengan orangtua sehingga dapat dinilai bahwa semakin rendah rasa eksistensi diri akibat kesepian yang tinggi maka semakin besar pula perilaku self harm dilakukan.

Penyejuk untuk Diri

Aku bukanlah ahli mental atau psikolog (belum), namun kurasa aku memiliki sedikit saran untuk kita semua yang mengalami masalah dengan perilaku self harm. Anggap saja ini sebagai angin segar untuk meredakan letih diri.

Mulailah untuk mengenal diri kita sendiri secara lebih dalam. Identitas kita yang terdalam hanya akan lebih mudah dikenal oleh diri kita sendiri sehingga menganggap diri kita berharga adalah salah satu langkah baik demi mengurangi tindakan self harm. Diri kita ini berharga, kawan. Maka jadilah orang pertama yang mengakui hal tersebut.

Dengan memiliki sikap tersebut kurasa akan mengurangi tindakan self harm. Diri yang berharga disertai konsep diri yang baik akan mendorong perilaku kita untuk mengarah pada hal-hal yang baik pula. Tindakan yang positif berasal dari dalam diri yang positif. Mulai juga perbaiki dengan hubungan orang terdekat. Lakukan hal-hal yang menyibukkan diri pada ranah yang bermanfaat untuk menghilangkan pikiran-pikiran terasing. Mintalah bantuan dengan orang terpercaya, berceritalah. Kalau perlu datangi psikolog. Bebaskan dirimu dari pikiran-pikiran buruk itu.

Belajar filosofi hidup. Entah itu stoikisme, nihilisme, absurdisme, taoisme, ataupun nilai-nilai yang menjadikan dirimu merasa tenang. Sayangi diri, cintai mereka.

Mungkin saja kita akan membahas mengenai berbagai filosofi di atas, tertarik?

Sumber:

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Apsari, Thessalonika. (2022). Perilaku Self-Harm atau Melukai Diri Sendiri yang Dilakukan oleh Remaja (Self Harm or Self-Injuring Behavior by Adolescents). Universitas Padjajaran.

Freud, S. (1974). The Ego and The Id. In J. Strachey (Ed & Trans.). The Standard Edition of The Complete Psychological Works of Sigmund Freud. London: The Hogharth Press. (Original Work Published 1923).

Larsen, K. (2009). Self-Injury in Teenagers, A Reasearch Paper, Menomonie: University of Wisconsin-Stout.

Morgan. C., Webb, R. T., Carr, M. J., Kontopantelis, E., Green, J., Chew-Graham, C. A., Kapur, N., & Ashcroft, D. M. (2017). Incidence, clinical management, and mortality risk following self-harm among children and adolescents: cohort study in primary care. The BMJ.

Nock, M. K., Joiner Jr, T. E., Gordon, K. H., LloydRichardson, E., & Prinstein, M. J. (2006). Nonsuicidal self-injury among adolescents: Diagnostic correlates and relation to suicide attempts. Psychiatry Research, 144(1), 65–72. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2006. 05.010.

Ronka, A. R., Taanila, A., Koiranen, M., Sunnari, V., & Rautio, A. (2013). Associations of deliberate selfharm with loneliness, self-rated health and life satisfaction in adolescence: northern Finland birth cohort 1986 study. International Journal of Circumpolar Health, (72), 1–7.

--

--