Semoga Dijauhkan Dari Perasaan Lebih Baik Dari Orang Lain

Hilmi Ananta
Komunitas Blogger M
3 min read1 day ago

Hari itu saya baru sampai di rumah pukul 21.10 setelah mampir ke Cap Dua Merpati mencicipi menu kopi baru yang Mas Wahyu baru keluarkan. Setelah selesai bersih-bersih dan ganti baju santai untuk tidur, saya sempatkan membuka Instagram untuk sedikit update dengan dunia luar. Saya tipe orang yang jarang sekali buka sosial media kalau tidak dalam keadaan paling tenang dan santai.

Saya buka cerita Instagram teman-teman satu persatu. Ada beberapa yang membagikan kisahnya datang ke We The Fest, membagikan foto sedang berkumpul bersama teman-teman, dan membagikan tren You In 2017 Ugly or Not dan You As a Bride.

Bagi saya cukup seru melihat teman-teman berbagi ceritanya, beberapa ada yang cukup menghibur dengan membagikan video lucu dari akun shitpost. Yang awalnya saya niatkan untuk sedikit update dengan sosial media teman dan mencari hiburan sebelum tidur, berujung dengan bertemu Instagram Story teman yang membuat hati saya sedikit tersenggol.

Seseorang ini membagikan cerita dengan tulisan yang kurang lebih berisi tentang nikmatnya kehidupan setelah menikah. Ia beberapa kali membagikan cerita seperti ini sebelumnya, membagikan kisah percintaannya, perjuangan hingga akhirnya mereka menikah dan lain sebagainya. Tipe orang yang membagikan cerita Instagamnya dengan foto disertai banyak tulisan curhatannya.

Sebenarnya tidak ada masalah jika begitu saja. Saya tahu bagaimana euforianya ketika kita senang atas pencapaian yang berhasil kita dapatkan. Ingin rasanya membagikan kisah pencapaian ini kepada orang lain, semua orang di dunia harus tahu dan harus ikut senang. Saya paham betul perasaan itu.

Tapi yang membuat hati saya sedikit tersenggol, ketika ia membagikan cerita lainnya dengan menyindir orang yang belum menikah. Di

kesempatan lainnya, ia beberapa kali mencibir pernikahan teman yang dilakukan dengan sederhana, tidak meriah, “nikah itu kan sekali seumur hidup, sayang banget kalau tidak dirayakan dengan meriah” begitu ungkapnya, dan banyak lagi ungkapan buruk lainnya yang keluar dari otak busuknya.

Entah apa yang dimaksudkan dengan membagikan cerita seperti itu, tapi saya rasa ia lupa bahwa menikah itu bukan ujung dari perjalanannya. Ia terlalu terbawa suasana gembira riang sehingga lupa kalau perjuangan melewati cobaan menikah setiap orang berbeda-beda.

Cobaan kadang datang dari pasangan, finansial, calon mertua, bahkan dari diri mereka sendiri yang belum siap mental menghadapi pernikahan yang katanya proses ibadah terpanjang.

Sebagai seorang yang sedang menjalani perjuangan menuju halal, tentu postingan seperti ini mengganggu dan membuat hati saya dongkol. Saya sama sekali tidak iri dengan pencapaian teman-teman yang sudah berhasil melewati masalah mereka menjelang pernikahan. Saya sungguh ikut bahagia. Tapi perasaan dongkol saya ini lebih karena merasa direndahkan karena belum sampai-sampai pada tujuan.

Mungkin beberapa orang berhasil sampai tujuan dengan mulus karena mendapatkan banyak kemudahan dan bantuan orang lain seperti orang tua, saudara, teman dan kerabat lainnya. Tapi lebih banyak pula orang yang dalam menjalani cobaannya, ia harus bisa selesaikan sendiri.

Tapi dengan begini saya mengambil dua sisi postifnya. Pertama, menjadi pengingat saya untuk tidak mudah menghakimi orang lain. Apa yang terlihat di permukaan, sering berbeda dengan apa yang ada di baliknya.

Memang ketika sudah berhasil, senang rasanya untuk membagikan pengalaman kita. Tapi semoga ketika kita membagikan kesenangan, tidak kebablasan malah merendahkan orang lain juga. Kedua, saya bersyukur karena memiliki keresahan yang akhirnya berujung menjadi tulisan, mengingatkan saya untuk tetap konsisten menulis.

Mungkin saya sedang apes malam itu, saat akan tidur, hati saya jadi dongkol karena tidak sengaja melihat postingan teman seperti itu. Memang betul, sepertinya kita harus mengurangi konsumsi sosial media sebagai langkah preventif menjaga kewarasan diri.

--

--