Seni Bertahan Hidup di Kabupaten

Afiqul Adib
Komunitas Blogger M
3 min readJul 24, 2024
Photo by Deco Kogoya on Unsplash

Memulai sesuatu yang baru memang mesti banyak sambatnya. Pun begitu juga dengan orang yang harus kembali ke perantauan untuk tinggal dan menetap lagi karena “petualangan” di perantauan sudah berakhir.

Saya adalah perantau yang cukup betah tinggal di Jogja. Dan sekembalinya ke Kabupaten asal, entah kenapa saya kembali kebingungan. Seakan harus adaptasi lagi dan mengenal lingkungan sekitar. Padahal kabupaten asal saya ini juga tempat lahir dan tumbuh. Namun entah kenapa ketika kembali lagi, saya jadi merasa “asing” dengan banyak hal.

Culture Shock Perantau yang Kembali ke Kabupaten Asal

Awalnya, saya sudah sangat siap akan perbedaan fasilitas yang ada di kota dan kabupaten asal. Namun, ternyata dari perbedaan fasilitas tersebut memunculkan perbedaan lain yang tidak saya perkirakan sebelumnya.

Fyi, kabupaten asal saya ini adalah Lamongan. Iya, mungkin bukan kota besar. Namun, bukan pula daerah tertinggal yang kesusahan mencari sinyal atau sekadar air mineral. Meski demikian, saya baru tahu kalau daerah saya ini ternyata belum ada ojek Online, yang artinya kalau mager dan pengin nyemil, tidak bisa delivery makanan secara online.

Sebagai orang yang mageran dan butuh bahan bakar kalau mau kerja, hal ini adalah culture shock pertama yang saya rasakan setibanya kembali dari perantauan.

Namun, tentu saja, ibarat “jalan saja dulu, nanti juga ketemu jalan”. Lambat-laun saya mulai menemukan life hack dalam menunjang keseharian, yakni layanan delivery order secara manual.

Mau Pesan Makanan Harus Delivery Order Secara Manual

Cukup lokal pride. Namun, tidak begitu susah dipraktikkan. Iya, saya hanya harus menyimpan nomor WhatsApp si penjual secara manual, kemudian menanyakan apakah masih ada stok, lalu pesan dan dibayar secara COD di depan rumah. Layanan yang diterima pun hampir sama. bedanya mereka tidak pakai seragam identitas. Itu saja. Sisanya sama-sama ramah.

Setelahnya, saya menyimpan banyak sekali nomor penjual. Iya, makin lama, makin banyak nomor orang jualan yang saya simpan. Mulai dari jajanan lokal pride, mas-mas galon, per-ayam-an duniawi, sampai minuman rasa-rasa. Biasanya yang jualan memang punya genre sendiri-sendiri. Misal spesialis gorengan, jajanan jawa, nasi, dan lain sebagainya.

Sejauh pengalaman saya, pengiriman secara manual ini memang lebih ramah di kantong, sebab kebanyakan tidak ada ongkos kirim. Pun karena manual, tidak ada biaya transaksi seperti gofood dan grabfood. Harga yang ditawarkan pun biasanya malah lebih murah ketimbang penjual yang punya ruko sendiri.

Namun, satu kekurangannya adalah biasanya pengiriman sesuai dengan jadwal keberangkatan. Hal ini dilakukan agar penjual pun tidak berat di ongkos karena dikirim bebarengan.

Jadi, misal udah laper banget, ya harus nunggu jadwal keberangkatannya. Meski demikian, kalau memang sangat perlu segera dikirimkan, kasih saja fee tambahan, niscaya pesananmu akan segera sampai.

Oiya, satu hal yang menarik dari jasa kirim secara manual ini adalah kita jadi akrab dengan si penjual, atau minimal kita jadi mengenal mereka. Sebab, kita saling menyimpan nomor WhatsApp, dan saling tahu kegiatan harian masing-masing.

***

Meski cukup terbantu dengan sistem ini, saya selalu mbatin, kenapa dana desa yang bermilyar-milyar itu tidak pernah digunakan untuk membuat semacam aplikasi yang menaungi penjual dan pembeli dalam lingkup desa?

Saya kira jika dilakukan, intensitas jual-beli akan lebih ramai ketimbang hanya mengandalkan promo jualan di grup jual beli facebook saja.

Yah, apapun itu, hidup di kabupaten memang harus ada seninya. Dan delivery order secara manual adalah life-hack yang menyenangkan untuk menjalani kehidupan di kabupaten yang belum ada ojek online.

--

--

Afiqul Adib
Komunitas Blogger M

Warga Kabupaten Lamongan | Menulis tiap hari kamis di Medium sejak 12 Oktober 2023.