Setelah Belajar Meditasi…

kang abi
Komunitas Blogger M
4 min readSep 9, 2024
Dokpri

Setelah belajar meditasi, hidup saya lebih tenang, lebih rilek dan lebih kalem, deh. Setelah belajar meditasi, saya jadi bisa nerima keadaan saya. Lebih pasrah. Setelah belajar meditasi, emosi saya lebih terkendali, enggak gampang marah, enggak mudah mewek, sehari-hari saya bisa lebih mindfulness hidupnya.

Testimoni yang lebih demonstratif malah pernah juga saya dengar, sewaktu saya belajar meditasi, saya seperti melihat cahaya warna-warni melintas-lintas di hadapan saya, itu bikin hati saya bergembira, ekstase. Kini saya seperti dekat sekali dengan Tuhan.

Testimoni-testimoni di atas bisa kita dapati di dalam sesi kelas belajar meditasi.

Rundown kelas meditasi yang diisi dengan cerita testimoni peserta biasanya terjadi pada kegiatan retreat yang diampu bukan dari kalangan Vihara yang bukan dipandu oleh seorang bante dalam hal ini.

Retreat di Vihara sependek yang saya tahu, berjalan secara konservatif maka wagu. Meditasi bersama di pagi hari, Dhamma talk (diskusi), sarapan, walking meditation, makan siang, walking medition lagi, meditasi bersama lagi sore jelang malam hari, Dhamma talk lagi lalu istirahat tidur malam.

Semua aktivitas dijalankan dengan “syariat” noble silent alias diam total. Membisu. Kecuali perlu. Ya, dalam sesi Dhamma talk itu, peserta hanya boleh bicara untuk bertanya hal-ikhwal teknik yang sedang dipelajarinya kepada Bante pembimbing.

Kronologis kegiatan tersebut berlaku entah pada retreat 3 hari maupun yang 7 hari. Di akhir kelas, seorang Bante menyampaikan bahwa kelas berkahir, setelah mengucapkan terima kasih ia akan pergi meninggalkan peserta. Kalau ada sesi foto dengan bante pembimbimbing, artinya seseorang dari peserta telah “sukses” memelas dan “memaksa”nya untuk berada dalam suasana tidak penting itu.

Sementara di kelas belajar meditasi lainnya, terdapat sesi di mana si pembimbing meditasi atau panitia di akhir kelas menyediakan waktu dan meminta peserta untuk berbagi cerita pengalaman belajar meditasinya. Ya, cerita. Namanya juga cerita, bisa benar bisa juga asal. Yang di atas adalah contoh cerita asal. Suatu testimoni yang berasal dari pengalaman halu tingkat dewa (untuk menyebutnya sebagai cerita bohong murokab).

Mungkin karena perasaan pakewuh sama pembimbingnya, atau takut dianggap “merobohkan surau” kalau ia berbagi cerita apa adanya, bahwa setelah belajar meditasi tidak ada pengalaman apapun kecuali: pinggang pegal, pundak kaku, kaki kesemutan, mata ngantuk, pantat panas dan, waktu yang sia-sia terbuang. Untuk itu ia akhirnya berbagi cerita. Cerita wahamnya.

Atau karena memang “benar” ia (sempat) merasa menjadi tenang, rilek, tapi itu pun bukanlah sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan. Maksud saya, sudah pasti kita akan tenang dan rilek, kan memang tidak ada kegiatan lain kecuali diam. Begitupun peserta yang lain, diam tak saling berinteraksi.

Dengan demikian pikiran lebih sedikit terdistraksi, nafas sedikit lebih teratur, badan lebih sedikt gerak, mulut lebih sedikit mbacot. Akibatnya ritme hidup sedikit melambat, dan Anda menjadi tenang, rileks. Normal, kan? bukan sebuah pencapaian, apa lagi mau disebut pencapaian dari belajar meditasi.

Hari gini, di mana kesibukan sudah menjadi simbol status kita (entah sibuk benar atau agar kelihatan sibuk, yang penting di status WA kita pancang “Busy”) bagaimana mungkin kita bisa tenang dan rileks?. Bagaimana kita mampu membawa semua keadaan yang serba kondusif dalam kegiatan belajar meditasi ke tengah kehidupan yang bising ini, kehidupan yang berjalan tanpa seorang kondukter yang meng-orkestrasi prilaku orang; keadaan tak pasti, prilaku tak menentu.

Lagi pula mengapa ketenangan harus kita kejar-kejar, bukankah Tuhan juga pengada segala ketegangan?. Kata Goenawan Mohamad, “Tuhan tak datang ke dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan ada hanya ketentraman dan semua hal yang bisa dimengerti.” ( Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai). Jadi bagi saya cerita ketenangan dan rilek dari ruang kelas belajar meditasi adalah cerita omon-omon orang yang “enggak enak hati”.

Sama omong-kosongnya adalah testimoni cerita bahwa dari latar belajar meditasi, ia telah menjadi tuan dari amarah dan bentuk-bentuk emosi lainnya. Kalau omongan tersebut keluar dari ndaku-nya seorang pembimbing meditasi saja saya ragukan, apalagi dari pesertanya.

Menguasai bentuk-bentuk emosi adalah ideasi dari rasa salah sesaat setelah satu bentuk emosinya membuncah. Ambil contoh satu dari bentuk emosi: marah. Orang kalau habis marah, ngamuk; menyesal.

Dalam penyesalannya, seorang mencoba mengambil pengalaman marahnya menjadi sebuah ide tentang pengendalian diri. Ide tersebut lantas mendorongnya untuk berdaya upaya, berlatih ini-itu: olah nafas, olah batin, ber-tirakat, menjalankan disiplin riyadoh tertentu dan seterusnya. Apakah berhasil teratasi marahnya? kadang. Artinya tidak.

Ada tungku api di kedalaman batinya yang terus bergolak memasak segala matrial marah. Menunggu presisi dan stimulasi saja, lantas “duarrr!”, marah menggelegar lagi.

Tidak terpancing menjadi marah bukan berarti kemarahan telah padam di dalam batin. Mungkin sesuatu telah mengalihkan energinya saat itu, sehingga ledakan marah tertunda. Ya, cumak ditunda untuk diledakanlagi dan lagi lain waktu.

***

Setelah saya belajar meditasi, tidak ada yang berbeda pada kehidupan, yang di luar maupun yang di dalam diri: tetap ada kesedihan, kekerasan, kemarahan, kegembiraan, tangis dan tawa. Tetap ada keserakahan, kelaparan, pemisikinan, penumpukan benda-benda. Semua berjalan seperti biasanya, begitu adanya, di luar maupun di dalam diri.

Belajar meditasi demi sebuah perubahan kehidupan di luar mapun di dalam diri adalah pelarian diri dari kehidupan. Tak ada bedanya dengan pelarian kita kepada hiburan-hiburan untuk membendung gelegak air mata dan kepedihan.

“Tanah di mana jiwa meditasi bisa bersemi adalah tanah tumbuhnya kehidupan sehari-hari, perjuangan, kepedihan dan rasa gembira yang selintas.” Meditasi bukanlah jalan, bukan pula cara agar. Meditasi berarti berada sepenuhnya dalam kehidupan se-apa adanya.

Tak ada yang hendak diatasi oleh meditasi. “Jika anda, lanjut Jiddu Krishnamurti, hanya mengutamakan terwujudnya ketertiban semata-mata, maka ketertiban itu sendiri akan menciptakan batas-batas, dan batin anda akan menjadi tawanannya.”

Alih-alih berhasrat pada kehidupan yang adem, ayem, tentram, tenang, rilek, Penyair Amir Hamzah malah menyalak, “mangsa aku dalam cakarmu.”

Jika meditasi adalah cara kita berikhtiar menghindar dari kesengsaraan hidup, maka kita memang jadi akan mendapatkan pengalaman. Tapi pengalaman khayalan, sebagaimana cerita dalam testimoni-testimoni di atas. Kalau kita juga ceritakan pengalaman tersebut kita ngibul juga artinya.

Belajar meditasi bukanlah meditasi. Bahkan jika kita sengaja bermaksud bermeditasi, itu pun bukan meditasi. Karena meditasi adalah lenyapnya si meditator — yang akan dan sedang bermeditasi.

--

--