Skotlandia dan Hari Pertama Brexit

Warga sipil boleh masuk ke gedung parlemen Skotlandia

Mirsya Mulyani
Komunitas Blogger M
5 min readJul 8, 2024

--

Photo by Michał Parzuchowski on Unsplash

Sebenarnya, saat itu saya masih belum siap untuk meninggalkan Edinburgh. Kota tuanya terlalu cantik dan amat sayang rasanya jika hanya sekadar mampir selama beberapa hari. Namun, saya sudah berencana untuk pergi ke Manchester. Sambil menyeruput bubble tea dari salah satu kedai di stasiun kereta api Edinburgh Waverley, saya sempat mempertimbangkan untuk membatalkan keberangkatan saya ke Manchester dan memperpanjang liburan saya di Edinburgh.

Namun tiket sudah dibeli dan penginapan sudah dipesan. Maka saya menetapkan hati dan menuju ke gerbong kereta api yang akan menuju stasiun Manchester Piccadilly. Saya pun duduk dan melihat-lihat keluar jendela. Seperti biasa, orang-orang tampak bergegas menuju gerbong kereta yang tercantum di tiket mereka. Wajar saja, kereta akan berangkat sebentar lagi.

Kemudian, saya merasakan ada pergerakan dari kursi sebelah saya. Seorang wanita paruh baya yang anggun meletakkan barang bawaannya di tempat bagasi kemudian duduk sambil memangku sebuah surat kabar hari itu. Pandangan kami bertemu dan kami pun saling melemparkan senyum. Saya menangkap judul surat kabar yang tercetak dengan huruf besar “The day we said goodbye” yang mengacu pada hari ketika Britania Raya resmi keluar dari Uni Eropa, atau yang disebut Brexit. Dan hari itu, tanggal 1 Februari 2020, adalah hari pertama bagi Britania Raya resmi keluar dari Uni Eropa. Setelah bertahun-tahun penuh ketidakjelasan, Brexit akhirnya terjadi juga. Seperti negaranya yang secara geografis terpisah dari daratan Eropa, kini, secara emosional, mereka juga terpisah dari Uni Eropa.

“Ah, sayang sekali akhirnya Britania Raya keluar dari Uni Eropa,” kata saya sambil menunjuk judul surat kabar yang berada di pangkuan sang wanita.

“Benar. Sangat disayangkan. Padahal waktu itu saya memilih untuk tetap menjadi bagian dari Uni Eropa,” katanya dengan sedikit muram.

Saya jadi teringat dengan keramaian yang muncul pada hari sebelumnya di dekat gedung parlemen Skotlandia. Dua orang membentangkan spanduk yang menyuruh perdana menteri Britania Raya saat itu, Boris Johnson, untuk turun jabatan. Saya tertawa kecil membaca tulisan di spanduk itu, yang dituliskan dalam dialek Skotlandia.

Warga Skotlandia yang tidak puas dengan keputusan Brexit berdemo di hari terakhir mereka menjadi bagian dari Uni Eropa. Sebuah minivan milik media lokal terparkir di sana, dengan kru yang lalu lalang memasang sebuah kamera. Kabarnya, siang itu first minister Skotlandia saat itu, Nicola Sturgeon, akan hadir dan berdialog dengan masyarakat. Bukan, first minister bukan prime minister atau perdana menteri. Wilayah kekuasaan first minister ini hanya Skotlandia saja. Saya juga baru tahu saat itu, ketika saya mengunjungi gedung parlemen Skotlandia.

Tidak ada rencana untuk mengunjungi gedung parlemen Skotlandia sebenarnya. Saat itu, saya hanya ingin mengunjungi Holyrood Palace, kediaman resmi keluarga kerajaan Inggris di Skotlandia. Namun, ketika saya sampai di sana, entah kenapa saya mengurungkan niat untuk masuk dan hanya melihat istananya dari balik pagar. Saya pun hanya berjalan-jalan di sekitar Holyrood Palace sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Kemudian, pandangan saya tertuju kepada sebuah gedung yang memiliki desain sangat modern, kontras dengan Holyrood Palace bergaya klasik yang sudah berdiri sejak abad pertengahan di seberangnya.

Gedung modern berdesain aneh yang saya lihat itu adalah gedung parlemen Skotlandia. Saya tertarik untuk melihat dari dekat, maka saya pun meninggalkan Holyrood Palace dan menuju ke gedung parlemen Skotlandia. Di luar dugaan, mereka ternyata memperbolehkan siapa pun untuk masuk dan berkunjung. Gratis pula. Tentu saja saya tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Sebelum masuk, saya harus melewati pemeriksaan keamanan yang cukup ketat, seperti layaknya masuk ke dalam gedung kedutaan atau instansi pemerintahan lainnya. Barang-barang bawaan saya diperiksa, tubuh saya juga diperiksa dengan detektor logam, untuk memastikan bahwa saya tidak membawa barang-barang yang terlarang.

Sesampainya di dalam, gedung itu tidak tampak seperti instansi pemerintahan yang kaku, karena terdapat sebuah kafe dan toko suvenir di dalamnya. Di salah satu pojok terdapat semacam museum mini yang menjelaskan mengenai terbentuknya parlemen di Skotlandia, yang berarti Skotlandia memiliki otonomi untuk menjalankan pemerintahannya sendiri, terlepas dari pemerintahan pusat Britania Raya.

Sebuah papan informasi menunjukkan bahwa hari itu akan ada tur gratis mengenai parlemen Skotlandia. Lagi-lagi, tentu saja kata gratis menarik perhatian saya. Saya sigap menunggu di titik kumpul para tamu yang ingin ikut tur gratis. Kemudian, seorang pria berjas dan berdasi mendatangi saya.

“Anda di sini untuk tur gratis?” Tanya sang pria.

Saya hanya mengangguk.

“Baiklah, sepertinya hanya saya dan Anda untuk hari ini,” katanya sambil tersenyum.

Otomatis saya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang akan mengikuti tur gratis ini. Benar saja, walaupun ada beberapa orang yang duduk-duduk di lobi gedung parlemen, tampaknya tidak ada satu pun yang tertarik untuk mengikuti tur. Saya hanya mengedikkan bahu dan mengikuti sang pemandu menuju sebuah maket yang berada di tengah lobi.

“Jadi ini adalah maket dari gedung parlemen ini,” katanya sambil menunjuk maket yang berada di balik kotak kaca.

Selanjutnya dia menjelaskan mengenai masing-masing bagian dari gedung parlemen yang berdesain unik ini. Atap lobi yang berbentuk seperti daun dan transparan membiarkan cahaya alami masuk ke dalam lobi, walaupun saat itu cuaca sedang mendung. Kemudian dia menunjuk bagian-bagian lain dari gedung beserta fungsinya. Saya hanya mengangguk-angguk, walaupun saya tidak terlalu paham mengenai arsitektur.

“Sekarang, kita bisa naik ke lantai dua dan melihat ruang rapat anggota parlemen,” katanya sambil menunjukkan letak tangga menuju lantai dua.

Mata saya membulat tidak percaya. Saya bisa masuk ruang rapat anggota parlemen Skotlandia? Saya bahkan belum pernah masuk gedung DPR di Jakarta. Saya pun bergegas mengikuti sang pemandu.

Sesampainya di ruang rapat, hanya ada kursi-kursi berjajar membisu di dalam ruang luas berbentuk setengah lingkaran. Katanya, hari itu sedang tidak ada rapat, sehingga rakyat jelata seperti saya ini diperbolehkan untuk masuk. Jika sedang ada rapat, tentu saja kami dilarang mendekati ruang rapat ini. Sebuah poster diletakkan di bagian belakang ruangan yang menunjukkan siapa saja yang biasanya mengikuti rapat dan di mana posisi mereka duduk.

Saya tidak pernah tahu bahwa Skotlandia memiliki parlemennya sendiri. Saya kira semuanya sudah terpusat di London. Sepertinya, Skotlandia sudah sangat siap jika mereka harus berpisah dengan Britania Raya dan menjadi negara merdeka. Sejak dahulu, memang Skotlandia sudah berniat untuk tidak lagi menjadi bagian dari Britania Raya. Mereka sempat mengadakan referendum, walau akhirnya mayoritas warga Skotlandia lebih memilih tetap menjadi bagian dari Britania Raya.

Namun, sejak Brexit terjadi, Skotlandia yang memilih untuk tetap menjadi bagian dari Uni Eropa, bergairah kembali untuk mengadakan referendum. Mereka lebih memilih untuk menjadi bagian dari Uni Eropa dibandingkan menjadi bagian dari Britania Raya.

Sang pemandu pamit undur diri dan membiarkan saya untuk menjelajahi gedung parlemen ini sendiri. Namun, tidak ada lagi yang bisa saya lakukan, maka saya hanya berkeliling sebentar kemudian keluar dari gedung. Saat itulah saya melihat keramaian itu, dengan latar belakang bukit Arthur’s Seat, menyuarakan ketidakpuasan akan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat yang berhubungan dengan Brexit.

Saya pun sadar dari lamunan ketika kereta api mulai bergerak lambat meninggalkan stasiun kereta api Edinburgh Waverley menuju Manchester Piccadilly. Sebagian dari diri saya sedih karena harus meninggalkan Edinburgh, namun sebagian lagi tidak sabar untuk merasakan gerimis Manchester.

--

--