Sok Tahu Kopi Sampai Bertemu Cap Dua Merpati
Kopi jadi hal klasik di rumah saya. Bapak saya penggila kopi warung berat. Kalau tidak minum kopi sehari, pusing katanya. Ibu memperingatkan saya “kamu jangan sering ngopi lo, kaya bapakmu nanti” dan aku menanggapi pernyataan Ibu dengan bercanda “bapaknya ngopi ya anaknya kalo ngopijuga tidak mengapa toh? Berarti fix aku anaknya Bapak.”
Ya, saya sudah minum kopi dari saya masih SMP. Masih jelas ingatan ketika saya coba-coba pesan kopi pahit di warung depan parkiran motor Pasar Genteng saat pulang sekolah. “Metuek cik arek iki,” begitu kata bapak penjaga warung. Saat pertama kali mencobanya, saya langsung suka. Tidak ada rasa penolakan di lidah saya. Fix saya anak bapak.
Perjalanan ngopi saya terus berlanjut sampai sekarang. Mungkin tidak seekstrim bapak yang sehari minimal satu kali ngopi. Kalau saya sudah lebih dari dua hari tidak ngopi, pasti seperti orang bodoh. Tidak ada filosofi ketika meminumnya, yang paling penting saya harus dapat kopi minimal dua hari sekali, beres.
Saya bukan tipe peminum kopi yang ribet harus kopi ini lah, itu lah. Pokoknya kopi pahit tanpa campuran apa-apa. Selain karena saya sudah terbiasa dengan kopi pahit, saat umur beranjak 25 ternyata alasannya bertambah menjadi ingin mengurangi konsumsi gula. Takut sakit dikemudian hari.
Sekitar bulan September 2023 perjalanan ngopi saya menjadi sedikit berbeda. Hari Minggu pagi saat Bapak baru pulang dari Jogja, bapak tiba-tiba berkata “kamu belajaro bikin kopi Hil yang kaya di kafe-kafe itu lo. Bapak wingi ngombeh kopi seng nggae filter kertas putih. Wenak rasane.” Sejak saat itu perjalanan ngopi saya bukan lagi hanya atlet minum kopi.
Yang dimaksud Bapak saya adalah kopi filter V60. Saya sering meminumnya saat mampir ke kedai teman saat pulang kantor. Awalnya tidak tertarik untuk belajar. Tapi semenjak bapak ingin dibuatkan kopi yang enak, saya jadi ingin belajar.
Melihat perlengkapan kopi filter V60 yang cukup banyak saya jadi sedikit minder. Takut nanti kalau sudah beli malah saya males bikinnya. Akhirnya saya mencari metode lain yang saya anggap paling gampang dengan peralatan minim. Ketemu. Pakai Moka Pot ternyata juga bisa. Alat ini sederhana sekali, hanya satu alat yang terdiri dari wadah air, wadah kopi dan tempat penampungan hasil kopi yang dapat digabungkan jadi satu. Relatif sederhana dan mudah. Akhirnya setelah gajian yang tidak seberapa itu, saya check out Moka Pot dan alat pendukung lainnya seperti penggiling kopi manual via Shopee. Pekerjaan selanjutnya adalah memilih biji kopi.
Pernah tidak punya teman atau bahkan dirimu sendiri yang punya prinsip kalau belajar suatu hal inginnya belajar sendiri dan harus salah dulu? Saya salah satunya. Saat itu saya memilih biji kopi single origin yang lebih cocok untuk metode V60. Saya lupa apa nama biji kopinya, tapi saya membelinya dari Mood Maker, merk biji kopi terkenal asal Surabaya. Ketika saya seduh menggunakan moka pot, rasanya aneh. “Wah kopinya yang gak enak ini” begitu pikir saya pada saat itu. Padahal setelah mulai sidikit mengerti tentang kopi, ternyata saya saja yang emang bodoh.
Karena terlanjur beli dengan kemasan 200 gram, saya terpaksa untuk tetap menyeduhnya sambil belajar lewat youtube. Memang telat, sudah beli baru belajar. Gak tau kenapa saya memang tipe yang seperti itu dari dulu, suka sok tau dan akhirnya saya tau kalau saya sok tau. Tidak mengapa, saya menikmati proses menyadari kalau diri saya memang bodoh dan sok tau.
Di waktu yang sama pula, saya makin sering main ke kedai kopi untuk belajar membandingkan dan mengingat rasa kopi yang dihasilkan dari setiap biji dan kedai kopi. Setiap saya mampir ke berbagai kedai kopi di Surabaya, saya sering menemukan bungkus kopi hitam dengan sticker yang berisikan informasi tentang biji kopi dan tulisan merk biji kopi Cap Dua Merpati. “Terkenal banget ya kayanya Cap Dua Merpati ini,” begitu batin saya. Saya mulai mencarinya via instagram dan langsung DM untuk membeli biji kopinya. “Mampir aja mas, saya shareloc ya” begitu balasan Cap Dua Merpati saat saya mencoba bertanya tentang biji kopi apa saja yang mereka sediakan.
Hari kamis selepas rutinan bermain futsal, saya langsung tancap gas Vario saya menuju markas Cap Dua Merpati. Jauh ternyata. Ketika mendekati lokasi, saya merasa aneh. Setelah jalan besar, saya dituntun peta digital memasuki gang kecil. Lebih anehnya lagi, saya harus melewati area pemakaman umum untuk sampai ke markasnya.
‘Hah? Beneran nih tempatnya disini?” Rumah sederhana berwarna abu-abu dengan kombinasi cat hijau berukuran kurang lebih 5x5meter adalah markas Cap Dua Merpati. Bayangan awal saya, saya bakal mampir ke pabrik kopi besar dengan akses jalan yang bisa dilewati minimal truk kecil untuk mengangkut hasil biji kopi. Kan saya sering lihat bungkus Cap Dua Merpati dimana-mana, pikir saya ini produsen besar dengan skala produksi yang melimpah. Ternyata salah.
Saya disambut dengan ramah oleh pria bertubuh besar dan tinggi yang ternyata si empunya Cap Dua Merpati, Mas Wahyu namanya. Saya adalah pelanggan ke dua yang mampir ke kedai kopinya yang baru saja dibuka. Dulu Cap Dua Merpati hanya produsen biji kopi saja, baru sekitar awal November 2023 Mas Wahyu membuka rumahnya untuk menjadi super mini slow bar. Yang awalnya saya hanya ingin mampir beli biji kopi, jadinya keasikan ngobrolin kopi sampai jam 11 malam. Selain karena saya ingin mengerti banyak tentang kopi, ternyata obrolan kami cocok karena banyak irisan di luar kopi yang sama diantara kami.
Dari obrolan malam itu saya akhirnya sedikit paham tentang dunia kopi. Banyak ilmu yang diberikan pada obrolan 3 jam di depan halaman Mas Wahyu. Yang saya paling suka adalah, Mas Wahyu ini tipe orang yang suka membagi ilmu tanpa kelihatan si paling tahu. Padahal ilmunya sudah pasti saya tidak bisa gapai.
Semenjak itu saya sering mampir ke Cap Dua Merpati, sering pula saya bawa teman untuk coba ngopi santai di sana. Setiap mampir tidak selalu membahas kopi, Mas Wahyu bisa membahas apa saja dan obrolannya selalu seru. Tipe orang yang menyenangkan diajak berbincang panjang. Jangan dibayangkan ngopi di Cap Dua Merpati seperti nonkrong di kedai kopi lainnya. Bayangkan saja sedang bertamu ke rumah teman yang kebetulan jualan kopi. Dan kopinya enak.
Hal yang paling penting dari selama ini kenal Mas Wahyu adalah, kopi itu tidak ada yang tidak enak, tergantung bagaimana pengalaman lidah tiap orang. Mungkin bagi saya tidak enak, tapi bisa jadi untuk kamu enak. Selain bisa kenal Mas Wahyu, di ruang tamu Cap Dua Merpati saya juga banyak mendapat teman baru. Yang pasti ketika kamu coba main ke sana, saya jamin kamu bakal betah.