Suara Hati Anak Tunggal

Sebuah perspektif dan fakta tentang anak tunggal.

Aulia Shifa Lestari
Komunitas Blogger M
3 min readJun 18, 2024

--

Photo by Bahador on Unsplash

Menjadi anak tunggal alias anak semata wayang seringkali menjadi subjek berbagai stereotip dalam masyarakat.

Banyak sekali orang-orang yang beranggapan bahwa anak tunggal adalah anak yang manja, sulit mandiri, anak yang semua keinginannya pasti terpenuhi, anak ‘emas’ yang mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari orang tuanya.

Sebagai anak tunggal apalagi perempuan, tentunya anggapan-anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Setiap anak tunggal memiliki karakteristik dan kepribadian yang berbeda. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik itu pola asuh keluarga, lingkungan sosial, atau memang sifat bawaan dari lahir.

Sejak kecil aku diajarkan untuk disiplin dan mandiri, belajar mengerjakan pekerjaan rumah sendiri dari mulai menyapu, mengepel, memasak, mencuci piring, sampai mencuci, melipat dan menyetrika baju sendiri. Kata nenekku mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu bagian dari skill atau keterampilan bertahan hidup, baik laki-laki maupun perempuan harus mau belajar supaya tidak ketergantungan sama orang lain.

Perihal anggapan bahwa anak tunggal adalah anak yang selalu dituruti keinginannya, aku pribadi tidak sepenuhnya setuju. Meskipun aku mendapatkan kasih sayang penuh dari keluargaku bukan berarti semua hal yang aku inginkan harus didapatkan saat itu juga. Justru aku diberi batasan ketika menginginkan sesuatu, belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan, belajar merasa cukup sama apa yang sudah aku punya, belajar menyisihkan uang jajan untuk ditabung, dan belajar sabar disertai usaha untuk mendapatkan sesuatu yang aku inginkan.

Tentunya saat keinginanku tidak langsung terpenuhi pasti disertai dengan alasan yang logis (misalnya aku belum terlalu butuh atau karena aku dinilai belum siap untuk bertanggung jawab penuh atas barang yang aku beli). Hal tersebut secara tidak langsung membentuk karakter aku yang selalu mempertimbangkan banyak hal sebelum membeli sesuatu.

Apakah aku harus beli sekarang atau bisa ditunda bulan depan? Apakah barang ini benar-benar dibutuhkan dan akan terpakai dalam waktu dekat? Apakah ada alternatif merek lain yang harganya lebih terjangkau tapi kualitasnya tidak kalah bagus dengan yang harganya mahal? Dan berbagai macam pertimbangan lainnya.

Aku ingat betul pertama kalinya ibuku membelikan handphone yaitu saat menjelang perpisahan kelas 3 SMP. Itu pun hanya dipakai saat libur semester saja karena kebetulan aku menempuh pendidikan SMP dan SMA di boarding school yang mana tidak diperbolehkan untuk membawa handphone. Pun kalau dibawa harus dititipkan ke wali asrama dan hanya boleh dipakai untuk keperluan penting dan mendesak.

Pokoknya orangtuaku akan membelikan sesuatu (terutama barang yang memiliki nilai guna dengan harga yang cukup tinggi) kalau memang sudah waktunya dibutuhkan dan aku mampu bertanggung jawab penuh untuk menjaga barang pemberian tersebut dengan sebaik-baiknya.

Aku sendiri sebenarnya sesekali merasa kesepian karena tidak punya saudara kandung. Tidak ada teman untuk berbagi cerita, bermain, atau sekadar melakukan hal-hal konyol seperti kakak beradik pada umumnya. Tapi seiring bertambah dewasa perlahan aku belajar untuk mengenali kebutuhanku, mencoba mencari sesuatu yang mengharuskan aku bertemu dan menjalin relasi dengan orang baru.

Hal tersebut aku lakukan sebagai upaya agar waktuku teralokasikan untuk kegiatan yang lebih positif dan bermanfaat seperti menjadi relawan, mengikuti organisasi dan komunitas, mengikuti berbagai workshop dan seminar, atau jalan-jalan mengunjungi tempat baru sambil mempelajari budayanya dan tak lupa untuk menyantap kuliner khas daerahnya. Oleh karena itu ketika memasuki waktu liburan, selain menghabiskan waktu bersama keluarga, aku juga memilih untuk berkegiatan di luar rumah sebagai moment untuk melatih kemandirian dan rasa percaya diriku terutama saat bepergian ke luar kota sendirian.

Dengan semua aturan, batasan, dan prinsip hidup yang sudah ditanamkan dan dibiaskan oleh keluargaku sejak kecil ternyata berpengaruh besar dan membentuk seorang Aulia Shifa yang tidak manja, mandiri, percaya diri, dan mampu bertanggung jawab penuh atas kehidupannya sendiri saat dewasa. Walaupun belum lepas ketergantungan finansial dari orangtua, tapi aku akan belajar mengusahakan hal itu semampuku.

Terakhir, aku sangat bersyukur dididik dan dibesarkan oleh keluargaku saat ini. Aku harap bisa memberikan yang terbaik dan membahagiakan mereka dengan cara yang aku bisa.

--

--

Aulia Shifa Lestari
Komunitas Blogger M

Seorang perempuan yang sedang belajar, bertumbuh, dan berdaya dengan cara dan versi terbaiknya sendiri