Survivor Bias: Ilusi Optimisme dan Penolakan Realita

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
Komunitas Blogger M
9 min readJun 28, 2024
Image for self made.

Beberapa tahun terakhir setelah banyaknya fenomena up and down dalam hidup, saya tiba-tiba tertarik dan sering membaca jurnal hingga buku perihal psikologi manusia, mental health, dan semacamnya. Karena rasa penasaran akan cara kerja emosi diri saya, yang selama ini sangat ‘heboh’ untuk dikendalikan. Begitu pula cara mengelola kesedihan yang tak berujung, dan mengontrol segala hal yang semestinya berbatas wajar untuk menghindari jurang keterpurukan kondisi fisik-mental. Karena benar-benar menghambat perkembangan.

Dan, pada akhirnya, saya menemukan berbagai macam jawaban mendasar perihal betapa pentingnya kesadaran diri, penerimaan, dan perbaikan, dalam usaha menolak menyerah atas semua kondisi kehidupan.

Sebetulnya, sudah banyak premis hingga pengembangan draf yang ada di notes handphone mengenai ketertarikan saya terhadap banyak hal. Sayangnya diri ini sering ceroboh membiarkan kebingungan memangsa perasaan yang penuh ketakutan untuk menampilkan hasil karya atau kerjaannya. Itulah salah satu hasil diri ini yang terkadang masih sering merasa denial, dan takut kurang sempurna (padahal ketidaksempurnaan adalah hal yang normal). Hingga akhirnya saya menonton satu podcast, yang cukup meyakinkan saya, “Jika ingin membuat sesuatu, ya buat saja, tanpa harus memikirkan hasilnya jelek atau tidak, toh misal jelek, kita masih bisa perbaiki, apapun itu”. Inti-nya, JANGAN TAKUT JELEK.

Dah, cukup curhatnya, lanjut.

Nah, premis kali ini muncul ketika saya sedang menonton salah satu episode podcast Raditya Dika dengan seorang Dokter Psikologi yaitu Jiemi Ardian. Obrolan yang asyik perihal menangani rasa kecewa dan semacamnya. Terucap satu teori yang cukup unik di tengah-tengah pembahasan tersebut, yakni “Survivor Bias”. Cukup menarik, dan akhirnya saya memutuskan ‘tuk mencoba mengulik-ulik terkait hal tersebut, saya abadikan sebagai artikel semacam ini. Maka, selamat membaca!

Apa itu “Survivor Bias” ?

Survivor Bias berasal dari cerita populer yang berkaitan dengan kisah seorang ahli statistik bernama Abraham Wald. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Wald yang direkrut oleh salah satu pasukan militer pada waktu itu diminta untuk melakukan analisis tentang kekuatan pesawat guna meminimalisir kerugian. Dari sekian banyaknya pesawat yang melakukan misi penyerangan udara, hanya ada 1 pesawat yang berhasil selamat dan kembali ke pangkalan. Wald kemudian menganalisa kondisi pesawat tersebut, dan didapatkan bahwa area kokpit serta mesin pesawat merupakan area yang paling sedikit menerima dampak kerusakan.

Pihak militer yang mengetahui hal tersebut langsung menyimpulkan jika mereka perlu memperkuat area-area yang tampak sering terkena serangan (bukan area kokpit dan mesin). Berdasarkan bukti satu-satunya pesawat yang kembali, dengan asumsi bahwa area-area itulah yang paling rentan. Tapi disini letak anehnya, karena Wald justru memberikan kesimpulan yang terbalik. Menurutnya, area yang sering tidak terkena serangan berat (seperti bagian kokpit dan mesin) sebenarnya adalah area yang paling rentan.

Mengapa bisa begitu?

Kisah Wald dan analisisnya adalah ilustrasi dari konsep "Survivor Bias". Betapa sering terjadi di tengah-tengah kita, manusia yang cenderung fokus pada contoh-contoh atau data yang masih ada atau “bertahan”, sementara mengabaikan contoh-contoh atau data yang hilang atau “tidak bertahan”. Sederhananya adalah bahwa pesawat yang kembali ke pangkalan hanya-lah satu sampel, dari total jumlah sampel pesawat yang ada.

Pesawat-pesawat yang tidak kembali, atau hancur karena serangan di area yang sebenarnya, tidak dapat diobservasi karena mereka hilang. Maka, jika disadari, beberapa dari kita mungkin kerap kali bertemu dengan kasus serupa, dimana kita hanya melihat "survivor" (pesawat yang selamat) dan bukan "non-survivor" (pesawat yang tidak selamat). Sekalipun terkesan aneh dan membingungkan, atau berlawanan dengan intuisi awal, nyatanya dalam kondisi atau permasalahan apapun, ada baiknya jika tetap menampilkan (melibatkan) semua elemen yang terkait sebagai upaya yang “objektif”.

Efek dan Contoh “Survivor Bias”

Survivor Bias bisa dikatakan merupakan hasil analisis tertentu yang dievaluasi secara tidak proporsional. Mereka yang “gagal”, atau tidak bertahan, sekalipun terlibat didalamnya secara “sama” atau “start serupa” kemungkinan akan diabaikan. Kebenaran sepenuhnya dianggap hanya berasal dari yang “selamat” atau “berhasil”. Ketidak-terlibatan yang utuh dari semua fakta dapat mengaburkan objektifitas suatu "mata" terhadap pengambilan keputusan maupun kesimpulan.

Permisalan 1:
Bayangkan, satu waktu, kamu menerima berita bahwa 80% dari orang-orang yang memenangkan lotre di dekat rumahmu baru-baru ini telah mengadopsi anjing beberapa hari sebelum mereka menang. Secara impulsif (tanpa pertimbangan), mungkin kamu berpikir bahwa mengadopsi anjing akan meningkatkan peluangmu untuk memenangkan lotre. Kenyataannya, ini adalah suatu kebetulan. Karena secara fakta tidak ada hubungan sebab-akibat antara mengadopsi anjing dan memenangkan lotre.

Permisalan 2:
Bayangkan lagi, ketika sedang sibuk scrolling sosmed, kamu menemukan satu influencer atau pengusaha ternama yang sukses. Dan dengan cepat, kamu ingin mempelajari bagaimana menjadi pengusaha sukses. Menghabiskan waktu dengan membaca banyak cerita tentang orang-orang yang memulai bisnis dan berhasil menjadi miliarder. Lalu kamu menemukan fakta spesifik yang benar-benar membuatmu fokus dan memperhatikan bahwa sebagian besar dari pengusaha sukses tersebut memiliki kebiasaan bangun jam 5 pagi setiap hari. Secara impulsif, lagi, dan lagi, kamu langsung menyimpulkan bahwa bangun jam 5 pagi adalah kunci untuk sukses dalam bisnis.

Namun, kenyataan menampilkan yang sebaliknya, dimana banyak orang yang bangun jam 5 pagi dan tetap tidak sukses dalam bisnis. Kamu hanya melihat cerita sukses (penyintas) dalam “satu sudut”, dan mengabaikan cerita orang-orang yang gagal meskipun mereka juga bangun jam 5 pagi.

Mudahnya, kamu hanya berfokus pada orang-orang yang sukses (penyintas) tanpa mempertimbangkan mereka yang gagal, dan mungkin saja hal tersebut bisa membuatmu salah memperkirakan apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk menjadi seseorang yang sukses secara “utuh”. Kemungkinan juga, yang kamu lihat adalah pola yang tidak benar-benar ada, hingga mengabaikan faktor-faktor penting lainnya yang sebenarnya berperan dalam keberhasilan.

Secara luas, "Survivor Bias" bisa sangat merusak, dan biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Christopher Williams and Jimin Khim, sistem pendidikan dan media cenderung menyoroti orang-orang yang sukses dalam profesi tertentu. Atlet-atlet muda mengagumi dan meneladani nama besar all-star. Meskipun sebenarnya hal ini tidak salah, akan lebih berguna jika kita melihat semua orang yang memiliki potensi, telah mencoba, dan gagal; kemudian bekerja untuk menghindari kesalahan yang menyebabkan kegagalan mereka. Mengagumi selebriti dan kisah sukses adalah hal yang bagus, namun ada banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka yang mencoba dan gagal. Bias bertahan hidup tidak hanya terbatas pada pengidolaan selebriti.

Photo by Jr Korpa on Unsplash

Sisi Lain "Survivor Bias"

Lebih jauh lagi. Bisa saja, fakta akan “data” atau hal lain yang “gagal” dapat memberikan pelajaran atau wawasan berharga. Sehingga pada pemahaman yang ekstrem, mungkin survivor bias menyebabkan kita salah memperkiraan tingkat keberhasilan yang terlalu tinggi, perkiraan risiko yang terlalu rendah, dan pengambilan keputusan yang buruk berdasarkan informasi yang tidak lengkap.

Pengabaian akan kegagalan-kegagalan atau hasil-hasil yang kurang menguntungkan menjauhkan kita dari perolehan pandangan yang lebih seimbang mengenai realitas.

Melalui kolaborasi mekanisme kognitif dan psikologis yang memengaruhi cara kita memandang dan menafsirkan informasi. Kita sebagai manusia secara kognitif (proses merekam, berpikir, dan semacamnya), akan bertemu dengan sisi psikologis (proses secara emosional, dan semacamnya). Terjadi ketika ketika kamu bertemu orang baru, secara otomatis kognitifmu akan merekam visual dan suara manusia yang ada dihadapanmu. Sedangkan psikologismu akan berperan sebagai tangkapan perasaan bahagia atau cemas jika bertemu orang tersebut.

Beberapa Keterkaitan "Survivor Bias" dengan Perilaku dan Alur Proses Berpikir Kita

  • Heuristik Ketersediaan (Availability Heuristic), yang sering diartikan sebagai jalan pintas mental, terjadi ketika manusia cenderung mengandalkan contoh-contoh yang mudah diingat saat mengevaluasi suatu topik atau membuat keputusan. Katakanlah, kamu baru saja mendengar banyak berita tentang kecelakaan pesawat dalam beberapa pekan terakhir. Lalu kamu berhadapan dengan kondisi yang mengharuskanmu melakukan perjalanan dengan pesawat. Ada pertimbangan besar disitu. Kamu mungkin merasa bahwa transportasi terbang itu sangat berbahaya, karena contoh kecelakaan pesawat baru-baru ini mudah diingat dan sering muncul dalam pikiranmu. Padahal, secara statistik yang nyata, kecelakaan pesawat sangat jarang terjadi.

Kaitannya dengan survivor bias, heuristik ketersediaan berperan dalam membuat contoh-contoh yang berhasil atau yang masih bertahan menjadi lebih mudah diingat daripada contoh-contoh yang gagal atau tidak bertahan. Heuristik ketersediaan membuat kita mengingat, dan diperparah dengan survivor bias yang "hanya" berfokus pada satu sisi data saja, bukan keseluruhan. Pemikiran tersebut membuat kita cenderung untuk melebih-lebihkan prevalensi atau keberhasilan dari apa yang mudah kita ingat.

  • Bias Konfirmasi (Confirmation Bias), melibatkan pencarian informasi yang cenderung menginterpretasikan, dan mengingat informasi dengan cara mendukung keyakinan dan asumsi yang sudah ada (atau kita yakini) sebelumnya. Menjadikan kita lebih fokus pada informasi yang mendukung "apa yang kita percaya", sebaliknya, justru "mengabaikan atau meragukan informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita".
  • Kekeliruan Narasi (Narrative Fallacy), menjadi salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam hubungan publik figur dan masyarakat. Manusia kerap kali membangun dan percaya pada cerita atau narasi yang "wah" dan memberi makna pada rangkaian peristiwa yang kompleks. Kekeliruan narasi cenderung menciptakan cerita yang tampak masuk akal untuk dijelaskan, namun mungkin tidak sepenuhnya akurat (tidak mencerminkan realitas yang kompleks).

Daniel Kahneman mengatakan dalam salah satu bukunya,

"Kisah-kisah ini (pebisnis sukses yang memulai dari nol, artis sukses dengan latar belakang yang menyedihkan) mendorong dan mempertahankan ilusi pemahaman, menyampaikan pelajaran yang bernilai abadi kepada pembaca yang terlalu bersemangat untuk mempercayainya".

Hal serupa juga mengungkap realita tentang bahayanya jika percaya akan narasi dan story telling yang tidak didampingi dengan analisis akan realitas yang kompleks dan mendalam.

Salah satu penulis terkenal yakni Nassim Taleb, dengan buku "The Black Swan" nya yang mempromosikan gagasan bahwa pikiran kita cenderung menciptakan lebih banyak hubungan sebab-akibat daripada yang didukung oleh kenyataan. Suatu waktu, Taleb mendapatkan perkataan dari seorang profesor di Roma perihal bukunya yang cenderung melebih-lebihkan kemampuannya seperti sangat mengesankan (terlepas memang itu kebutuhan marketing atau entah apalah). Lalu profesor itu menjelaskan, yang inti-nya,

"Jika kamu ingin melihat dunia yang sebenarnya, maka kamu harus memisahkan antara keberuntungan dan sebab-akibat".

Narasi, membujuk kita, sehingga kita enggan menelusuri realitas yang kompleks akan hubungan satu-dua hal yang terjadi dihadapan kita”. Lebih lanjutnya, baca di Avoiding Falling Victim to The Narrative Fallacy.

Yang sering terjadi dan sulit untuk di-iya-kan adalah; misalkan kamu mengetahui cerita seorang pengusaha sukses. Narasi yang umum mungkin menggambarkan kemudian menggiringmu pada situasi bahwa kesuksesan tersebut hasil dari kerja keras, kecerdikan, dan visi yang jelas.

Sayangnya, narasi itu mungkin mengabaikan faktor-faktor lain yang kurang terlihat, tetapi secara nyata sangat berpengaruh dan signifikan. Seperti keberuntungan, lokasi tinggal, lingkungan bertumbuh, wawasan dan tipe orangtua, koneksi sosial, kondisi ekonomi yang mendukung, hingga banyak sekali hal-hal kecil (detail) yang sering dihiraukan kontribusinya. Kekeliruan naratif menghilangkan informasi penting.

  • Selection and Elimination, kelangsungan hidup manusia secara kompleks diakibatkan adanya seleksi data atau contoh yang bertahan atau berhasil melalui proses tertentu (selection), dan mengabaikan data atau contoh yang tidak berhasil (elimination). Secara sengaja atau tidak sengaja, proses tersebut dapat memengaruhi cara kita memahami dan menafsirkan data atau peristiwa.

Misalnya, kamu adalah seorang jurnalis, yang sedang membuat sebuah laporan berita. Karena pekerjaanmu menyangkut nama baik perusahaan tempat dimana kamu kerja, kemungkinan kamu akan "terkekang" oleh batasan-batasan hingga aturan yang sedikit "menuntut".

Seperti, mungkin kamu hanya memilih untuk melaporkan fakta-fakta yang mendukung sudut pandang tertentu (seleksi) dan mengabaikan fakta-fakta lain yang bertentangan (penghilangan). Ini sangat berdampak buruk pada tafsiran masyarakat, dan memengaruhi mereka untuk percaya pada narasi tertentu.

Secara keseluruhan, Survivor Bias dan beberapa hal tadi, hampir semuanya berputar pada kasus yang sama. Yakni pentingnya analisis yang objektif, untuk proses pengambilan keputusan yang akurat. Menghindarkan kita dari hal-hal yang cenderung irasional dan tidak masuk akal.

Akhirnya

Survivor Bias adalah hal sederhana, tetapi masih sering terjadi pada diri kita, karena ke-enggan-an diri kita terhadap kesadaran realitas. Kita cenderung menampilkan ego-narsistik kita dalam urusan "image" atau "personal branding", yang meskipun, ya, memang itu sah-sah saja. Tetapi dalam batas yang tidak wajar (ekstrem), kita telah terjebak pada "permainan dunia palsu", ketika diri kita dan semua orang saling membodoh-bodohi diri kita atau diri mereka sendiri. Dan jika ditelusuri, apa sebenarnya alasan dasar kita melakukan hal semacam itu? Silahkan cari dan renungkan bersama kepala-mu.

Maka coba terima-lah, akui (jika mungkin saja, kamu termasuk korban Survivor Bias), bahwa tidak semua orang memulai dengan modal yang sama, atau kesempatan yang setara. Objektif dalam mengevaluasi, dan hargai peran berbagai faktor dalam kesuksesan seseorang. Buat alur cerita spesifik-mu, tanpa mengaitkannya dengan hal-hal yang "tidak nyata" itu.

Jangan terima mentah-mentah segalanya tulisan saya. Semua orang punya pilihan, semua orang wajib kritis.

Komen jika ada yang kurang jelas, atau yang pernah merasakan hal seperti diatas. Thank You!

— Best Regards, Ahmad Dzaki Akmal Yuda.

--

--

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
Komunitas Blogger M

Just sharing stories, and perspectives as outlined in writing, or you could say 'typing'. Find me on IG (@akmalyudaa).