Susahnya Menjadi Politisi

Muhammad Irvan
Komunitas Blogger M
5 min readJan 21, 2024

Tulisan ini penulis angkat setelah melihat dinamisnya pergerakan para politisi seiring dengan semakin dekatnya pertarungan akbar pemilu serentak pada Februari 2024 mendatang. Hiruk pikuk pesta demokrasi semakin terasa. Berbagai atribut kampanye terpasang penuh di berbagai area masyarakat.

Bentuk kegiatan kampanye yang semakin masif terjadi dalam lingkungan warga. Kegiatan debat capres-cawapres yang selalu dinanti masyarakat dan berbagai kegiatan lainnya terus dilakukan oleh para calon baik legislatif maupun eksekutif guna meraup suara sebanyak mungkin yang dapat mengantar mereka ke kursi “panas” DPR dan jabatan eksekutif.

Berbagai pemandangan menarik terjadi seiring dekatnya kontestasi pilpres.

Salah satunya adalah fenomena “kawan menjadi lawan” dan “lawan menjadi kawan” yang dapat kita nikmati saat ini. Jokowi yang sebelumnya merupakan kader terbaik dari PDI-Perjuangan justru merestui langkah putra sulungnya yang juga kader partai yang sama, Gibran Rakabuming Raka untuk menemani sang sahabat, Prabowo Subianto.

Sekaligus memberikan dukungan secara tak lansung kepada lawan politiknya dalam dua edisi pilpres sebelumnya. Hal tersebut menjadi menarik karna pada saat yang sama, PDI-Perjuangan justru mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai jagoannya dalam edisi pilpres kali ini. Tak ayal perang dingin antara Jokowi dan Megawati terjadi sampai saat ini.

Munculnya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai paslon juga turut menjadi sorotan. Surya Paloh selaku ketua umum Partai Nasdem yang mengusung pasangan Anies-Cak Imin sebelumnya memiliki hubungan yang mesra dengan PDI-P dalam dua edisi pilpres sebelumnya karna sama-sama mengusung Jokowi.

Lantas tak bergabungnya Nasdem dalam Koalisi PDI-P kali ini membuat PDI-P serasa ditinggal oleh pendukungnya setelah dua periode pilpres selalu bersama.

Muhaimin Iskandar selaku cawapres nomor urut satu dan ketua umum PKB dulunya “sempat” berkoalisi dengan Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2024 sebelum akhirnya hengkang dan menerima uluran tangan Surya Paloh sebagai pendamping Anies Baswedan.

Terpilihnya Cak Imin membuat Partai Demokrat merasa dikhianati. Sehingga membuat Agus Harimurthi Yudhoyono selaku ketua umum Partai Demokrat yang sebelumnya diisukan akan menemani Anies Baswedan sebagai cawapres memilih hengkang bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju besutan Prabowo Subianto.

Belum lagi kotroversi dari Anies yang turut maju untuk bersaing dengan Prabowo setelah sebelumnya berjanji untuk tidak menghadapi Prabowo dalam kontestasi yang sama.

Rumit? Tentu saja. Karna pada dasarnya partai politik juga memiliki kepentingan tersendiri. Sehingga jika ambisi partai politik tersebut tak terpenuhi maka langkah “penghianatan” tak segan ditempuh. Hal tersebut wajar dan biasa dalam politik. Karna tak ada kawan abadi dalam pentas politik yang ada justru kepentingan yang abadi.

Hal tersebut bisa kita lihat dari PKB dan Demokrat yang memutuskan pindah haluan setelah hasrat politik mereka tak terpenuhi. Berkaca dari situasi tersebut, sepertinya penghianatan dalam politik bukanlah dosa besar jika tujuannya adalah untuk kebaikan bangsa.

Sikap partai berubah, maka anggota partai harus tunduk dan patuh terhadap instruksi partai. Sikap partai merupakan komando mutlak yang wajib ditaati dan diikuti oleh seluruh anggota partai. Namun ada juga anggota partai yang memilih untuk tidak membersamai partai tatkala keputusan partai berbeda dengan hati nuraninya.

Salah satunya Budiman Sujatmiko, Aktivis 98 serta kader senior PDI-Perjuangan memutuskan mendukung Prabowo Subianto dan tidak mengikuti arahan partai untuk mengusung Ganjar-Mahfud. Endingnya pun bisa ditebak, Budiman dipecat oleh partai yang membesarkan namanya dalam belantika politik Indonesia sekaligus memberinya kesempatan untuk hadir sebagai anggota DPR.

Namun pernahkan anda membayangkan sebelumnya bahwa akan terjadi rekonsiliasi setelah melihat panasnya tensi pertarungan Jokowi-Prabowo dalam dua edisi pilpres terakhir? Gerindra yang hadir sebagai oposisi yang begitu kuat dalam pemerintahan Jokowi pada periode pertama dan penantang serius PDI-P dalam dua edisi pilpres mendadak memutar haluan dan menjadi pendukung setia pemerintahan Jokowi pada periode kedua.

Terlebih Prabowo yang mengemban tugas sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet indonesia maju besutan Jokowi di periode kedua semakin menunjukan betapa harmonisnya hubungan kedua tokoh bangsa ini.

Rekonsiliasi tersebut tentu berbuntut pada bergabungnya Gerindra dalam koalisi yang dibesut oleh PDI-Perjuangan. Sikap Partai tentu harus diikuti oleh anggotanya. Dampaknya pun cukup terasa.

Salah satunya adalah Fadli Zon, politisi sekaligus wakil ketua umum Gerindra yang pada periode pertama pemerintahan Jokowi begitu keras memberikan kritikan dan tak jarang memberikan komentar pedas justru menjadi sering memuji Jokowi pada pemerintahan Jokowi pada periode kedua. Sehingga tak ayal Fadli Zon pun dirujak habis-habisan oleh netizen buntut dari ketidakkonsitenan sikapnya.

Para politisi pun dituntut untuk sejalan dengan sikap partai. Meskipun terkadang putusan atau ucapan dari petinggi partai atau pihak yang diusung oleh partai yang bersangkutan. Masih segar dalam ingatan kita blunder yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan yang membuat candaan seputar agama dan mengarahkan candaan tersebut kepada paslon tertentu. Mungkin sebenarnya maksudnya hanya sekedar ice breaking untuk para peserta acara.

Namun candaan yang dilontarkan Pak Zul di tengah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dirasa tidak tepat sehingga menimbulkan amarah dari netizen se-Indonesia. Bayangkan saja betapa ganasnya netizen kita dalam menghujat dan bagaimana usaha keras para politisi dari Partai PAN untuk menerima hujatan serta mengklarifikasi blunder sang ketua umum.

Uraian diatas hanyalah sedikit dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang harus dikerjakan oleh seorang politisi. Belum lagi dengan pandangan masyarakat yang sudah terlanjur negatif dan kecewa dengan dunia politik karna banyak kasus-kasus besar yang merugikan negara yang justru timbulnya akibat adanya oknum-oknum yang memanfaatkan panggung politik untuk hasrat pribadi semata.

Tak jarang kita melihat nama-nama oknum politisi berseliweran di media dengan kasus-kasus kakap yang menjeratnya. Sehingga masyarakat menganggap politik adalah “lingkaran setan” yang bisa menjebak siapa saja yang hinggap didalamnya. Bahkan Mahfud MD pun mengakui dengan statement yang tak kalah menarik “Bahkan malaikat pun kalau masuk ke perpolitikan Indonesia bisa menjadi iblis”. Kalimat yang dapat menggambarkan kejamnya panggung politik negara kita.

Sehingga tak berlebihan jika kita menarik kesimpulan bahwa menjadi seorang politisi ada pekerjaan yang sangat berat. Kemungkinan tidak disukai masyarakat, harus mengkikuti instruksi partai yang terkadang tak sesuai dengan hati nurani, jika sang politisi ikut kontestasi pemilu harus mengeluarkan modal yang besar dengan presentase kemenangan yang kecil merupakan beberapa poin kecil yang harus dilakukan politisi belum lagi dengan resiko yang ditanggungnya.

Namun politik adalah jembatan untuk menuju kekuasaan yang dapat memberikan dampak cukup besar dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Meluncurkan program-program dan kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat, membuat regulasi yang memihak kepada rakyat serta berbagai manfaat lainnya dapat diperoleh melalui dunia politik. Sehingga politik layaknya pisau bermata dua, kalau tak sukses dan dibanggakan masyarakat ya jadi sampah yang tak disukai masyarakat. Hasil “Langit dan bumi” yang mungkin digenggam oleh seorang politisi. Bagaimana pendapat pembaca?.

--

--