Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Edwin Fauqon
Komunitas Blogger M
3 min readJul 10, 2024

Terkadang ketidaktahuan memberikan kita ketenangan.

Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya bisa mengundang rasa gelisah.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa saya tidak tahu apa yang ramai dibicarakan orang-orang?

Bagaimana caranya agar dapat turut serta memberi opini dan nyambung dengan topik di tongkrongan?

Singkat cerita, hadirlah internet yang dapat memberikan akses tanpa batas untuk orang-orang dalam upaya pencarian informasi. Satu kali pencet, dalam sepersekian detik muncul jawaban atas rasa penasaran. Penemuan peramban mengubah dunia dan memengaruhi cara kita berpikir dan berperilaku.

Belum lagi, muncul media sosial yang melengkapi dengan alur penyebaran informasi yang lebih masif. Apa yang terjadi di Manokwari bisa sejekap kita ketahui. Informasi jadi lebih leluasa menyebar menembus ruang dan waktu—yang sebelumnya menjadi kendala buyut-buyut yang hidup di masa lalu.

Setiap membuka media sosial, kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semua informasi itu berguna dan relevan, tapi kita menerimanya tanpa kontrol yang terkendali. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan.

Pagi ini topik peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal tim jagoan yang menjuarai Euro. Lalu, saat belum tahu tim mana yang punya peluang lebih besar untuk pulang dengan piala atau air mata, orang-orang sudah beralih kepada berita bagaimana komika tanpa rekam jejak kepemimpinan yang mumpuni menerima dukungan parpol untuk maju dalam penetapan walikota baru di suatu daerah.

Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out. FOMO.

Kenapa tiba-tiba orang suka bilang “Bjir? Pegi Setiawan ini siapa? Unggah photo dump tiap akhir bulan ini budaya mana?”

Lama-lama, kasihan pikiran kita. Ia harus bekerja keras untuk mengolah semua informasi yang sebetulnya tak begitu penting baginya. Kelebihan muatan. Ia terlalu banyak menampung informasi yang tidak relevan, tapi sulit untuk dicegah, saat berselancar di dunia maya. Ini beberapa kali saya alami.

Scroll, keluar aplikasi, masuk lagi, scroll lagi. Tidak tahu apa yang harus dicari. Makin lama, makin pusing sendiri. Kurang informasi jadi ketinggalan obrolan; kebanyakan informasi jadi biang rasa pening di kepala.

Maka, beberapa kali saya putuskan untuk pergi dulu dari media sosial saat rasanya sudah terlalu membebani pikiran. Paling lama saya berhasil kabur dari Instagram pribadi sebulan lamanya—tapi tetap buka aplikasi tipu-tipu itu untuk kepentingan pekerjaan. Cukup tenang rasanya.

Ternyata saya masih bisa hidup tanpa harus melihat Instastory teman-teman. Saya juga baik-baik saja tidak mengikuti berita dan tren kekinian.

Saya cukup tahu apa yang perlu saya tahu saja. Saya masa bodoh dengan tren yang sedang terjadi—kecuali ada tanggung jawab yang berkaitan dengan pekerjaan. Tidak perlu menonton serial TV baru karena kebanyakan orang menontonnya, tidak usah terlalu pusing dengan perdebatan yang tak berhubungan langsung dengan kehidupan pribadi, dan tidak begitu peduli dengan tren-tren lainnya.

Harusnya—harusnya, ya—misalnya kita sudah waktunya tahu tentang suatu hal, pasti ada saja caranya kita akan diberi tahu. Entah lewat apa dan siapa. Tidak perlu memaksa mencari tahu. Ya, walaupun hal itu tergantung konteksnya dulu. Soalnya, seorang social media specialist jelas menentang semua yang saya katakan di atas.

Jadi, tenang saja. Tak apa ketinggalan berita, kelewatan tren, tidak tahu hal-hal tertentu. Kita sama-sama cukup tahu apa yang perlu kita tahu saja.

Saat ini bisa saja ada tren makan tahu isi kadal di Polandia, lalu warga Bangladesh sibuk mengumpulkan buah mengkudu untuk menjadi orang terkeren di negara itu, atau apa pun, lah. Dan, kita tetap baik-baik saja berkat ketidaktahuan itu.

Kamu tidak ketinggalan apa-apa, kok.

--

--