Testimoni Saya Terhadap Batik Solo Trans

Maulana Adhi Nugraha
Komunitas Blogger M
4 min readJan 2, 2023

Saya akhirnya mencoba untuk menggunakan transportasi umum untuk menunjang aktivitas saya, terutama untuk pergi ke kampus yang jaraknya 5 kilometer dari rumah. Sebelumnya, saya lebih mengandalkan motor untuk bepergian.

Alasannya sederhana, kendaraan pribadi (entah motor atau mobil) menawarkan fleksibilitas untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Kita bisa bepergian secara bebas tanpa perlu menunggu, suatu hal yang tak bisa diberikan oleh transportasi umum di Indonesia.

Transportasi umum sebagai solusi

Harga BBM yang perlahan tapi pasti naik, polusi udara yang kian tak terelakkan, dan kemacetan yang semakin menjadi-jadi karena volume kendaraan yang terus bertambah sementara daya tampung jalan sudah tidak memadai, membuat transportasi umum seharusnya menjadi solusi yang lebih diutamakan.

Namun, sepertinya pemerintah masih kurang serius terhadap pengembangan transportasi umum. Pemerintah malah asyik dengan kendaraan listrik. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menunjang kehadiran kendaraan listrik. Mulai dari kebijakan mobil listrik sebagai mobil dinas hingga wacana pemberian subsidi bagi pemilik motor dan mobil listrik. Sementara itu, transportasi umum seolah-olah terpinggirkan eksistensinya.

Mengganti kendaraan berbahan bakar minyak dengan kendaraan bertenaga listrik tidak akan menyelesaikan salah satu permasalahan klasik jalan, yaitu kemacetan. Jalanan tetap saja akan macet karena dipenuhi kendaraan listrik dan ini bukan sebuah solusi yang tepat.

Entah mengapa pemerintah terkesan setengah hati dengan keberadaan transportasi umum. Mungkin pemerintah memilih bermain aman dengan para pelaku terkait dengan industri otomotif, seperti bagaimana dengan nasib bengkel, jasa leasing, dan toko-toko penjual suku cadang jika pemerintah “memaksa” masyarakat untuk beralih ke transportasi umum dan membuat kebijakan serta sarana yang mendukung penggunaan transportasi umum.

Lagipula pemerintah juga mendapatkan pemasukan dari para pemilik kendaraan melalui pajak kendaraan yang dibayar tiap tahunnya. Tentu pemerintah tak ingin kehilangan pendapatan dari sektor ini.

Perombakan BST

Kembali lagi ke pembahasan awal. Sejak tahun 2020 operasional BST berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan melalui program Teman Bus. Perubahan mulai dilakukan baik dari segi layanan dan fasilitas.

Kini jumlah koridor bertambah menjadi 12 koridor yang terbagi menjadi 6 koridor yang dilayani oleh bus sementara sisanya dilayani oleh angkutan kota (angkot) yang difungsikan sebagai angkutan pengumpan (feeder) bagi tempat-tempat yang tidak dapat dijangkau oleh bus. Fasilitas angkot juga ditingkatkan dengan menambahkan pendingin ruangan sehingga memberikan kenyamanan bagi penumpang.

Hal serupa juga ditemukan di bus. Beberapa koridor, yaitu: Koridor 1 dengan rute Bandara Adi Sumarmo-Terminal Palur, Koridor 2 dengan rute Terminal Palur-Sub Terminal Kerten, dan Koridor 5 yang melayani rute Terminal Kartosuro-Simpang Sidan, sudah menggunakan bus baru dengan pendingin ruangan yang lebih baik daripada bus lama dan suara announcer yang lebih jelas dalam memberikan informasi halte serta tersedia tempat duduk khusus difabel di dalam bus.

Suasana di dalam BST Koridor 2 (Dokumentasi pribadi)

Sistem pembayaran BST kini menggunakan pembayaran nontunai dengan menggunakan kartu e-money sehingga penumpang tidak perlu repot-repot membawa uang tunai.

Waktu tunggu juga tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman saya, tak ada 10 menit menunggu bus sudah tiba. Cukup cepat untuk sebuah layanan transportasi umum di kota yang sedang berusaha memperbaiki layanan transportasi umumnya.

Masih belum sempurna

Sayangnya BST masih memiliki kekurangan. Masih ada sopir yang mengemudi dengan ugal-ugalan. Kalau beruntung, Anda akan mendapatkan bus dengan sopir yang santai dan tidak ugal-ugalan. Tapi kalau apes, hanya bisa pasrah dan berdoa semoga masih diberikan keselamatan dalam perjalanan.

Beberapa halte juga masih menggunakan halte model lama, halte dengan posisi lantai tinggi. Padahal bus pada Koridor 1, 2, dan 5 adalah bus dengan konsep low deck. Ketidaksesuaian tinggi lantai bus dengan lantai halte membuat penumpang sedikit kesulitan untuk naik-turun bus. Tak terbayang repotnya penumpang lansia, difabel, dan anak-anak harus susah payah naik-turun karena perbedaan ketinggian yang cukup mencolok ini.

Beruntung Dishub Solo tanggap terhadap masalah ini dengan melakukan perombakan pada beberapa halte agar sesuai dengan bus high deck maupun low deck.

Halte Panggung, salah satu halte yang dirombak agar mampu berdaptasi dengan dua jenis bus BST (Dokumentasi pribadi)

Penggunaan e-money sebagai alat pembayaran juga masih belum didukung dengan kesiapan fasilitas penunjang. Pada beberapa kesempatan, saya menemukan alat scan kartu tidak berfungsi. Untungnya BST pada saat itu masih gratis sehingga kerusakan alat scan kartu tidak menjadi masalah yang serius.

Waktu tempuh perjalanan saya rasa juga masih terlalu lama. Saya menghabiskan waktu sekitar 20–30 menit untuk pergi ke kampus. Ini sudah termasuk dengan transit satu kali.

Berbanding terbalik jika saya pergi ke kampus dengan motor. Waktu yang diperlukan hanya sekitar 15 menit untuk sampai ke kampus. Hal ini masih bisa saya maklumi karena BST tidak memiliki jalur khusus bus seperti yang dimiliki oleh Transjakarta. Jalur khusus bus baru dapat ditemui di Jalan Slamet Riyadi yang salah satu lajurnya dipakai sebagai jalur khusus BST.

Selain itu, tarif BST saya rasa juga terlalu mahal. BST resmi berayar per 1 Januari 2023 dengan tarif sebesar Rp3.700 untuk sekali jalan. Ini berarti jika transit saya harus membayar dua kali dalam sekali perjalanan dengan total biaya yang harus saya keluarkan adalah sebesar Rp14.800 untuk perjalanan pulang-pergi. Tak ekonomis untuk wilayah dengan penduduk yang memiliki penghasilan mepet.

Saya khawatir dengan tarif yang tidak ramah di kantong ini akan menurunkan minat masyarakat Solo untuk beralih ke transportasi umum sehingga perombakan fasilitas dan perbaikan kualitas layanan yang dilakukan oleh BST dengan harapan masyarakat Solo mau beralih ke transportasi umum jadi sia-sia.

Evaluasi harga mati

Saya mengapresiasi upaya-upaya perbaikan layanan yang dilakukan oleh BST. Kekurangan-kekurangan yang menyertai BST bisa dijadikan bahan evaluasi oleh pemerintah, khususnya Pemkot Solo, demi terciptanya layanan transportasi umum yang inklusif, murah, aman, dan nyaman sehingga meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum untuk menunjang aktivitas sehari-hari.

--

--

Maulana Adhi Nugraha
Komunitas Blogger M
0 Followers
Writer for

Manusia biasa dengan kehidupan yang biasa-biasa saja