Tidak Mungkin Ada Manusia dengan Tinggi 60 Hasta

Rifqi Firdausi Arafadh
Komunitas Blogger M
6 min readJun 27, 2024
Photo by visuals on Unsplash

Pernahkah Anda mendengar bahwa manusia dahulu memiliki tinggi 60 hasta atau 30 meter? Klaim ini berasal dari agama. Saya menulis artikel ini karena sering merasa kesal ketika ada orang yang mengetahui bahwa saya seorang evolusionis lalu bertanya, “Berarti kamu tidak percaya Nabi Adam ?” Sebagai seorang Muslim dan juga seorang evolusionis, saya menempatkan kedua hal tersebut dalam dimensi yang berbeda. Mengapa saya tidak mencoba mencampurkannya? Karena menurut saya, terlalu berbahaya mencampurkan kedua hal tersebut.

Mungkin di artikel yang akan datang, saya akan membahas pandangan saya mengapa klaim agama dan sains sebaiknya ditempatkan dalam dimensi yang berbeda, meskipun ada klaim agama yang bisa dibuktikan dengan sains. Namun, di artikel ini, saya mencoba menjelaskan sedikit mengapa ranah agama dan ranah sains sebaiknya ditempatkan dalam dimensi yang berbeda. Saya akan memberikan alasan saya dengan cara menjawab klaim agama yaitu manusia pertama memiliki tinggi 60 hasta (30 meter) dengan argumen saintifik, dan semoga pembaca artikel ini memahami maksud saya mengapa klaim agama sebaiknya dipercaya saja dan tidak perlu dibuktikan secara ilmiah.

Seleksi Alam dan Adaptasi Manusia

Menurut teori seleksi alam, manusia yang memiliki badan setinggi 30 meter akan menghadapi banyak kesulitan, terutama dalam hal gerakan. Ukuran tubuh yang besar akan mengakibatkan peningkatan massa tubuh yang luar biasa, yang akan memperlambat kemampuan bergerak dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Di alam liar, kecepatan dan kelincahan adalah kunci utama untuk bertahan hidup, terutama bagi pemburu.

Seorang manusia dengan tinggi 30 meter akan membutuhkan sumber daya makanan yang sangat besar untuk bertahan hidup. Pertanyaannya adalah, berapa banyak hewan buruan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kalori harian manusia setinggi itu? Selain itu, manusia setinggi 30 meter akan kesulitan untuk bergerak cepat dalam mengejar hewan buruan. Sebagai gambaran, seekor singa yang merupakan salah satu predator puncak di alam liar, harus berburu secara efektif dan cepat untuk bisa memenuhi kebutuhan kalorinya. Singa bergantung pada kecepatan dan ketangkasan untuk menangkap mangsa, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia setinggi 30 meter.

Studi tentang Predasi dan Adaptasi

Penelitian terbaru mengenai Tyrannosaurus rex (T. rex) memberikan contoh yang relevan. T. rex, yang sering dianggap sebagai predator puncak, ternyata juga memakan bangkai sisa makanan dari predator lain yang lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh ukuran tubuh mereka yang terlalu besar, sehingga mereka kewalahan saat mengejar mangsa yang lebih kecil. Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society B menemukan bahwa T. rex memiliki keterbatasan biomekanik yang membuat mereka tidak bisa berlari cepat dan harus mengandalkan strategi makan bangkai untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Studi ini menunjukkan bahwa ada batasan fisiologis bagi hewan dengan ukuran tubuh besar untuk menjadi pemburu aktif termasuk manusia.

Ketiadaan Fosil Manusia dengan Tinggi 30 Meter

Sampai saat ini, tidak pernah ditemukan fosil manusia yang memiliki tinggi 30 meter atau setidaknya fosil manusia yang menunjukkan penyusutan dari tinggi tersebut ke tinggi manusia saat ini. Fosil-fosil yang ditemukan sejauh ini menunjukkan ukuran tubuh manusia yang relatif konsisten dengan tinggi manusia modern. Misalnya, fosil-fosil Homo erectus, Homo neanderthalensis, dan Homo sapiens yang ditemukan dari berbagai situs arkeologi di seluruh dunia menunjukkan tinggi badan yang tidak jauh berbeda dengan manusia saat ini, berkisar antara 1,5 hingga 1,8 meter.

Jika fosil manusia setinggi 30 meter ditemukan, ini akan menjadi bukti yang signifikan yang bisa membantah teori seleksi alam Darwinian. Namun, bukti semacam itu tidak pernah ditemukan. Sebaliknya, fosil manusia yang ditemukan menunjukkan pola evolusi yang sesuai dengan prinsip seleksi alam, di mana adaptasi terhadap lingkungan sekitar sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies.

Batasan Fisika dan Biomekanika

Selain faktor evolusi dan seleksi alam, ada alasan fisika yang kuat mengapa manusia tidak mungkin memiliki tinggi 30 meter. Hukum fisika dan biomekanika menunjukkan bahwa struktur tubuh manusia tidak dapat mendukung ukuran sebesar itu. Semakin besar suatu organisme, semakin besar pula tekanan yang diterima oleh tulang dan jaringan tubuhnya. Tubuh manusia dengan tinggi 30 meter akan memerlukan tulang dan otot yang jauh lebih kuat daripada yang dimiliki manusia saat ini. Ini tidak hanya akan membuat pergerakan menjadi sulit, tetapi juga akan menambah beban yang berlebihan pada sistem kardiovaskular dan pernapasan.

Untuk memberi gambaran, mari kita bandingkan dengan gajah, hewan darat terbesar yang hidup saat ini. Gajah memiliki adaptasi khusus seperti tulang tebal dan kaki yang besar untuk mendukung berat tubuhnya. Meski demikian, gajah masih menghadapi banyak batasan dalam hal kecepatan dan kelincahan. Gajah hanya mampu berlari dengan kecepatan maksimum sekitar 25 km/jam dan tidak dapat melompat karena keterbatasan biomekanik. Manusia setinggi 30 meter akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Sistem tulang, otot, dan pernapasan manusia tidak dirancang untuk mendukung tubuh sebesar itu, sehingga pergerakan menjadi sangat terbatas dan sulit.

Selain itu, ada faktor gravitasi yang harus dipertimbangkan. Semakin besar suatu organisme, semakin besar pula gaya gravitasi yang bekerja pada tubuhnya. Gaya gravitasi yang lebih besar berarti tekanan yang lebih besar pada tulang dan sendi. Ini bisa menyebabkan kerusakan struktural yang serius dan menghambat kemampuan organisme untuk bergerak secara efektif. Manusia setinggi 30 meter akan menghadapi tekanan gravitasi yang sangat besar, yang akan menyebabkan masalah kesehatan yang serius dan membatasi kemampuan untuk bertahan hidup.

Implikasi Metabolisme dan Energi

Ukuran tubuh yang besar tidak hanya berdampak pada struktur fisik, tetapi juga pada metabolisme dan kebutuhan energi. Manusia dengan tinggi 30 meter akan memerlukan jumlah kalori yang sangat besar untuk mempertahankan fungsi tubuhnya. Berdasarkan hukum skala metabolik, organisme yang lebih besar memerlukan lebih banyak energi untuk mendukung jaringan tubuh yang lebih besar. Sebagai contoh, seekor paus biru, yang merupakan hewan terbesar yang pernah ada, harus mengkonsumsi sejumlah besar plankton setiap hari untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Jika manusia memiliki tinggi 30 meter, kebutuhan kalori harian mereka akan jauh melampaui kapasitas lingkungan untuk menyediakan makanan yang cukup. Pertanian modern saja mungkin tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi manusia sebesar itu, apalagi dalam konteks manusia purba yang hidup sebagai pemburu-pengumpul. Ini menunjukkan bahwa dari perspektif energi dan metabolisme, tidak mungkin bagi manusia setinggi itu untuk bertahan hidup.

Selain tantangan fisik dan metabolik, ada juga keterbatasan ekologi dan sosial yang harus dipertimbangkan. Manusia adalah makhluk sosial yang bergantung pada interaksi kelompok dan kerja sama untuk bertahan hidup. Manusia setinggi 30 meter akan menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Ukuran tubuh yang besar akan memerlukan ruang yang lebih besar untuk bergerak dan berinteraksi, yang mungkin tidak tersedia dalam lingkungan alami.

Ekosistem alami juga tidak dirancang untuk mendukung organisme sebesar itu. Sebagian besar ekosistem memiliki kapasitas tertentu dalam hal jumlah dan ukuran organisme yang bisa didukung. Manusia setinggi 30 meter akan melebihi kapasitas ini, menyebabkan gangguan ekologi yang signifikan. Mereka akan membutuhkan ruang yang sangat besar untuk hidup dan mencari makanan, yang mungkin akan mengganggu habitat spesies lain dan menyebabkan ketidakseimbangan ekologi.

Selain itu, dari perspektif sosial, ukuran tubuh yang besar akan menghambat kemampuan untuk membangun komunitas yang erat dan efektif. Manusia purba hidup dalam kelompok kecil yang bekerja sama untuk berburu, mengumpulkan makanan, dan melindungi satu sama lain. Manusia setinggi 30 meter akan sulit untuk membentuk kelompok sosial yang efektif, karena keterbatasan ruang dan kebutuhan yang besar akan sumber daya.

Bukti dari Evolusi Manusia

Teori evolusi manusia memberikan bukti yang kuat mengapa manusia tidak mungkin memiliki tinggi 30 meter. Proses evolusi melibatkan seleksi alam yang memastikan bahwa hanya organisme yang paling cocok dengan lingkungan yang bertahan dan berkembang biak. Manusia modern adalah hasil dari jutaan tahun evolusi yang disesuaikan dengan berbagai faktor lingkungan, termasuk ukuran tubuh yang optimal untuk kelangsungan hidup.

Fosil manusia menunjukkan bahwa ukuran tubuh manusia telah bervariasi dalam batas yang relatif kecil sepanjang sejarah evolusi. Misalnya, Homo habilis, yang hidup sekitar 2 juta tahun yang lalu, memiliki tinggi sekitar 1,3 meter. Homo erectus, yang muncul sekitar 1,9 juta tahun yang lalu, memiliki tinggi sekitar 1,7 meter. Homo neanderthalensis, yang hidup sekitar 400.000 hingga 40.000 tahun yang lalu, memiliki tinggi sekitar 1,6 hingga 1,7 meter. Homo sapiens, spesies kita saat ini, memiliki tinggi yang berkisar antara 1,5 hingga 1,8 meter.

Perubahan ukuran tubuh manusia dari waktu ke waktu mencerminkan adaptasi terhadap berbagai tekanan lingkungan, seperti iklim, ketersediaan makanan, dan kebutuhan energi. Tidak ada bukti dalam catatan fosil yang menunjukkan bahwa manusia pernah memiliki tinggi 30 meter. Sebaliknya, ukuran tubuh manusia tetap berada dalam kisaran yang memungkinkan untuk bergerak efektif, mencari makanan, dan bertahan hidup dalam lingkungan alami.

Kesimpulan

Dari sudut pandang saintifik, tidak mungkin manusia memiliki tinggi 60 hasta atau sekitar 30 meter. Alasan-alasan evolusi, seleksi alam, ketiadaan bukti fosil, batasan fisika dan biomekanika, serta keterbatasan metabolik dan ekologi semuanya mendukung argumen ini. Penting untuk diingat bahwa klaim-klaim agama seringkali berada di luar ranah pembuktian ilmiah dan sebaiknya diterima sebagai bagian dari kepercayaan dan iman, bukan sebagai fakta yang harus dibuktikan secara ilmiah. Menggabungkan kepercayaan agama dengan klaim sains bisa berbahaya dan menimbulkan kebingungan, dan saya akan membahas hal ini lebih lanjut di artikel lain.

Pemahaman tentang perbedaan antara dimensi agama dan sains dapat membantu kita untuk menghargai kedua bidang tersebut tanpa menciptakan konflik yang tidak perlu. Kepercayaan agama adalah soal iman, sedangkan sains adalah soal pembuktian dan penjelasan yang rasional. Mari kita hargai masing-masing ranah sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, kita bisa menghindari kesalahpahaman dan konflik yang tidak perlu antara kepercayaan agama dan pengetahuan ilmiah. Hanya dengan cara ini kita bisa maju sebagai masyarakat yang menghargai baik ilmu pengetahuan maupun kepercayaan agama.

--

--