Titik balik

Bagaimana saya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pekerja kantoran demi mengejar cita-cita untuk kuliah ke luar negeri

Mirsya Mulyani
Komunitas Blogger M
5 min readJul 2, 2024

--

Sebuah keputusan nekat yang mengubah hidup. Photo by Gaelle Marcel on Unsplash

Ketika saya membaca memoar tentang perjalanan hidup orang lain, seringkali saya menemukan bahwa titik balik di kehidupan mereka diawali dengan kejadian yang traumatis seperti kehilangan orang-orang terdekat, dipecat dari pekerjaan, putus cinta atau mungkin sedang bergelut dengan depresi.

Kemudian, tiba-tiba mereka memutuskan untuk meninggalkan kehidupan lama mereka, mengemas pakaian mereka, dan pergi ke negara antah berantah untuk memulai hidup baru. Saya selalu takjub dengan kisah-kisah inspiratif seperti itu, membuat kehidupan saya yang biasa-biasa saja tak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan mereka.

Lalu ada pula cerita-cerita hampir mustahil macam anak orang miskin yang hidup susah tetapi pintarnya minta ampun yang berusaha untuk mengubah takdirnya dengan menjadi pejuang beasiswa. Perjuangannya pun membuahkan hasil, dia kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Saya, yang tumbuh di keluarga berkecukupan, tidak pernah merasakan kerasnya hidup seperti mereka. Saya selalu cukup makan, punya baju-baju yang pantas walau bukan merek mahal, dan bisa lulus sarjana dengan biaya dari orang tua. Hidup saya selalu berada di jalur aman.

Titik balik bagi saya tidaklah diawali dari kemiskinan atau kejadian traumatis. Titik balik di dalam hidup saya adalah ketika saya sedang bekerja seperti biasa, mengetik di depan komputer, mengerjakan hal yang sama selama empat tahun lamanya. Kemudian, di suatu hari yang membosankan, ketika saya sedang menunggu jam makan siang sambil membaca-baca surel, tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di dalam benak saya.

Kira-kira, bisa tidak ya saya lanjut kuliah magister ke luar negeri?

Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah datang tiba-tiba.Dahulu, ketika saya masih kuliah sarjana, ketika wajah saya masih penuh jerawat karena puber yang terlambat, teman saya sering bercerita mengenai beasiswa-beasiswa bergengsi yang katanya sulit untuk didapatkan.

Ada beasiswa dari pemerintah Australia, Selandia Baru, Britania Raya, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Saya mendengarkan cerita teman saya dengan begitu antusias, sambil membayangkan apabila saya bisa dapat beasiswa ke luar negeri, pasti menyenangkan karena bisa sambil jalan-jalan gratis.

Dan ketika teman saya menyebutkan soal beasiswa Erasmus dari Uni Eropa, saya merasa bahwa beasiswa bergengsi seperti itu pasti susah untuk didapatkan. Saya, yang secara akademik dan non-akademik biasa-biasa saja, tidak akan mungkin bisa. Keinginan untuk mendapat beasiswa ke luar negeri pun saya kubur begitu saja, tanpa ada usaha.

Saya pun lulus kuliah dan bekerja. Hingga empat tahun kemudian, keinginan yang terkubur, kini bangkit lagi. Setelah empat tahun bekerja, saya punya cukup tabungan untuk mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam mendaftar beasiswa, seperti ujian bahasa Inggris dan jasa penerjemahan dokumen.

Bagian ini akan terdengar seperti cerita-cerita inspiratif para pejuang beasiswa. Sulitnya mendaftar beasiswa dan ketatnya persaingan sering membuat saya merasa rendah diri.

Pertama, saya sudah lama lulus sarjana dan pekerjaan saya sebagai pengontrol stok petikemas tidaklah sejalur dengan gelar sarjana kimia yang saya peroleh di bangku kuliah.

Kedua, jurusan magister yang akan saya ambil tidaklah sama dengan jurusan saya ketika sarjana.

Ketiga, saya sudah tidak muda lagi jika dibandingkan dengan para sarjana idealis yang punya mimpi besar untuk mengharumkan nama bangsa. Saya sudah tercemar dengan dunia korporasi yang penuh dengan intrik politik. Saya hanya ingin bertahan hidup. Itu saja.

Beasiswa pertama yang saya daftar tentu saja beasiswa pemerintah Indonesia, walau hati kecil saya agak kurang cocok apabila harus bersekolah dengan dibiayai oleh rakyat Indonesia. Saya melalui tahap seleksi berkas dan seleksi daring dengan mulus. Tiba saatnya wawancara.

“Kamu dulu S1 jurusan kimia. Ini S2 mau ambil apa? Oseanografi?” Tanya salah seorang pewawancara.

“Iya, Pak,” jawab saya mantap.

Bapak pewawancara hanya melihat saya dengan ekspresi penuh selidik. Kedua alisnya menyatu, seolah bingung dengan jurusan sarjana dan tujuan magister saya yang tidak sama.

“Apa hubungannya kimia dan oseanografi?” Tanyanya kemudian.

Saya lalu menjawab dengan penuh percaya diri mengenai hubungan antara kimia dan oseanografi. Si bapak tetap nampak tak puas dengan jawaban saya. Detik itu juga saya yakin bahwa saya tidak akan lolos seleksi. Satu hal yang menurut saya aneh adalah proses wawancara yang hampir tidak menggunakan bahasa Inggris sama sekali, padahal saya mendaftar beasiswa untuk universitas luar negeri yang letaknya di Inggris.

Firasat saya memang benar, saya tidak lolos seleksi beasiswa. Saya cukup kecewa, namun saya juga lega karena artinya saya tidak perlu membebani rakyat Indonesia untuk membiayai saya sekolah ke luar negeri. Pernyataan pewawancara yang mengatakan bahwa kimia dan oseanografi tidak ada hubunganya akan selalu saya ingat sampai kapan pun. Saya yakin bahwa kimia dan oseanografi berhubungan erat. Saya akan buktikan.

Sejak kegagalan saya yang pertama, hari-hari saya selanjutnya diisi dengan bekerja seperti biasa sambil melengkapi berkas-berkas untuk mendaftar beasiswa. Saya bahkan sering bolak-balik ke kampus saya yang lama demi mendapatkan referensi dari dosen-dosen saya ketika kuliah. Saya sampai membuat tabel Excel demi mengetahui jadwal pendaftaran masing-masing beasiswa.

Satu demi satu surel dari penyelenggara beasiswa menyatakan bahwa saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi penerima beasiswa. Saya kecewa, dan saya mengadu kepada ibu saya.

“Kenapa kamu ndak nyoba daftar kuliah dalam negeri aja lho, Nduk. Kenapa kok harus jauh-jauh ke luar negeri?” Tanya ibu. Saya bisa melihat bahwa beliau ikut sedih melihat saya mengalami kegagalan berkali-kali.

“Kalau di luar negeri itu beda, Buk. Lebih banyak koneksi nanti. Aku juga bisa dapat banyak pengalaman baru yang ndak ada di Indonesia,” jawab saya meyakinkan ibu. Dan ekspresi itu muncul lagi. Keraguan yang sama ketika saya pertama kali mengutarakan keinginan saya untuk melanjutkan sekolah di luar negeri.

Saya masih mencoba untuk mendaftar beasiswa lain. Saya sampai membuka peta dunia dan mencari negara-negara yang memiliki laut, mencari jurusan yang berhubungan dengan laut di negara itu dan mencari beasiswa yang bisa didaftar oleh orang Indonesia seperti saya. Lalu saya berusaha mengumpulkan semua berkas yang dibutuhkan dan mendaftar.

Penolakan demi penolakan saya terima. Tidak ada satu pun pemberi beasiswa yang menyatakan bahwa saya setidaknya layak untuk lolos ke tahap wawancara. Saya pun hampir menyerah.

Namun, bukan hanya saya saja yang pernah mengalami banyak kegagalan dalam mendapatkan beasiswa. Beberapa teman saya yang telah mendapatkan beasiswa di luar negeri pun selalu bercerita kepada saya bahwa mereka juga berkali-kali gagal sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa. Saya malu jika harus menyerah sekarang. Maka saya berusaha untuk tetap optimis dan tidak menyerah.

Setiap kali saya mengadu kepada ibu soal kegagalan yang saya alami, selalu saja beliau menyarankan agar saya melanjutkan magister di Indonesia saja. Saya mulai paham apa yang sedang terjadi. Ibu saya sepertinya berat untuk melepaskan saya tinggal di luar negeri seorang diri.

“Buk, kalau Ibuk ndak memberi restu, aku ndak akan pernah bisa berangkat.”

Ibu saya hanya menghela napas, menunjukkan bahwa prediksi saya memang benar.

“Baiklah, Nduk, kalau itu memang keinginanmu. Ibuk merestui,” kata ibu dengan pasrah.

Pada hari berikutnya, saya mendapatkan pengumuman bahwa saya lolos seleksi beasiswa Erasmus Mundus Joint Master Degree dan saya akan berkuliah jurusan lingkungan kelautan di tiga negara Eropa, yaitu Prancis, Spanyol, dan Inggris.

Memang benar, kalau sudah rezeki memang tidak akan kemana. Walaupun ketika saya masih kuliah sarjana saya menganggap bahwa mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa adalah mimpi di siang bolong, tetapi jika memang benar-benar diusahakan serta memang sudah berjodoh, maka beasiswa akan didapatkan juga. Saya juga bisa buktikan, bahwa kimia dan oseanografi atau ilmu kelautan memiliki hubungan yang erat.

Vigo, 24 Maret 2020

--

--