Tradisi “No Free Lunch” Dalam Dunia Politik Indonesia

Muhammad Irvan
Komunitas Blogger M
4 min readMay 19, 2024
Sumber : nofreelunch.co.uk

No free lunch”, sebuah kutipan yang diambil dari novel fiksi ilmiah tahun 1966 karya Robert. A Heinlein dengan judul The Moon is a Harsh Mitress. Awalnya idiom tersebut populer di Amerika pada tahun 1800-an merujuk dari New York Times. Hal tersebut awalnya muncul dari Kebiasaan bar-bar Amerika pada saat itu menawarkan makanan mereka secara gratis demi menarik pengunjung. Tetapi sayangnya meskipun makanannya gratis tidak berati minumannya ikut gratis, Harga minuman pun dinaikkan untuk mengakomodasi harga dari makanan yang digratiskan tadi.

Namun bagaimana jika pengunjung tidak memesan minum?. Beberapa sumber mengatakan bahwa bar-bar di Amerika pada saat itu menyajikan makanan dengan kadar garam yang tinggi. Tingginya garam membuat seseorang cepat merasa haus sehingga mau tak mau mereka pasti akan memesan minum. Sebuah pesan menarik yang memberi pesan kepada kita bahwa jika mengincar hal gratis pun harus ada hal yang dibayarkan.

Sedikit Intermezzo. Mungkin kalau sistem tersebut diberlakukan kepada rakyat Indonesia yang umumnya jenaka dan ada saja akal liciknya, Maka tentu solusinya sudah disiapkan bahkan sebelum sampai ke tempat makan. Bisa bawa minum dari luar, atau tidak pesan minum dan tahan rasa haus sampai ke rumah, atau yang paling ekstrim minum air keran selama itu bersih dan tak berbau. Sehingga seandainya sistem itu pertama kali ditemukan di Indonesia, maka pasti kita tidak akan mengenali idiom “No free lunch”.

Kembali ke topik pembahasan, Istilah ini dikemukakan untuk menunjukkan bahwa apapun yang kita inginkan pasti ada nominal yang harus ditebus untuk mendapatkannya dan tentunya tak harus melalui uang. Bisa jasa, perjanjian dan sebagainya. Istilah umum yang dipakai di mana saja baik ekonomi, sosial sampai kepada politik. Ya, anda tidak salah membaca. Kata politik yang konotasinya terus mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat dikarenakan oknum tertentu. Untuk hal sederhana saja seperti minta tolong kepada adik untuk ambilkan air minum yang terkadang dia minta imbalan apalagi politik yang bisa memberikan tiket kekuasaan.

Mari kita kaitkan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Pada umumnya baik itu pilpres, pileg dan lain sebagainya pasti ada “mahar politik” yang diajukan untuk memuluskan langkahnya. Contoh seperti perseorangan yang ingin maju sebagai caleg maka diharuskan untuk menyetor sejumlah uang ke partai sebagai “syarat dukungan”. Kemudian partai mau bergabung dalam koalisi tertentu apabila hasrat politiknya dapat disalurkan oleh koalisi yang bersangkutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tak ada dukungan parpol yang gratis.

Tradisi “No free lunch” dalam perpolitikan Indonesia seakan menjadi hal yang biasa. Biaya politik yang terlampau tinggi cenderung meningkatkan keinginan keinginan koruptif bagi sang calon setelah terpilih nanti. Munculnya kemungkinan terburuk jika sang oknum memilih upaya untuk mengembalikan “modal” yang ia keluarkan saat perebutan kursi dengan cara korupsi sungguh tidak baik dan berpotensi besar merugikan negara.

Kemudian “No free lunch” juga bisa kita lihat dari kontestasi pilpres. Partai pendukung pasangan pemenang tentunya mengincar jatah menteri. Posisi menteri strategis yang diincar partai politik dalam pemerintahan dapat diasumsikan sebagai eksistensi partai dalam rangka membentuk citra dihadapan publik. Jika kebijakan yang dihasilkan mampu berdampak positif kepada rakyat tentu akan menaikkan nilai dari partai yang secara tidak lansung merupakan bentuk “curi start” untuk pemilu edisi selanjutnya.

Apabila dikaji lebih lanjut sebenarnya tidak masalah jika para politisi memutuskan untuk “bagi-bagi kue” dalam pemerintahan. Tentu selama hasil kerja pemerintahan berdampak positif terhadap rakyat dan pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas memiliki kemampuan dan pengentahuan yang sesuai dengan bidang yang ditunjuk.

Namun menjadi masalah besar apabila pihak yang ditunjuk hanya sekedar untuk memenuhi janji politik antar partai pengusung sebagai bentuk terima kasih tetapi tidak memiliki kemampuan yang sesuai. Penunjukan dengan hasrat politik semata memungkinkan terjadinya kebijakan yang tidak sesuai dengan pro rakyat malah justru hanya menguntungkan kelompok pribadi tertentu.

Poin negatif lainnya yang kemungkinan terjadi adalah jika seandainya paslon terpilih tidak mampu untuk mengelola serta mengakomodasi hasrat politik seluruh partai pendukung. Bisa jadi jalan yang ditempuh menjadi beban serta mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Salah satunya adalah beredarnya isu hangat di tengah masyarakat bahwa Prabowo-Gibran selaku paslon terpilih akan membentuk 40 kementerian dalam upaya membantu pemerintahan.

Isu yang muncul tersebut banjir kritikan oleh pengamat politik yang dianggap tidak efektif, hanya menjadi beban bagi APBN serta dianggap hanya sebagai akomodasi bagi partai politik pendukung. Bahkan mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (7/5/2024) menilai bahwa wacana tersebut apabila terealisasi adalah bentuk kabinet politis.

Sebagai penutup, Istilah “No Free Lunch” sudah cukup lama dipraktikkan dalam dunia perpolitikan Indonesia. Tetapi selama kebijakan yang dilahirkan pro kepada rakyat dan secara garis besar membuat kondisi negara Indonesia lebih baik dalam semua sektor penting seperti ekonomi, pendidikan, sosial, industri dan sebagainya tentu tidaklah menjadi masalah besar.

Namun jika hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan rakyat tentunya akan menjadi masalah besar. Belum lagi dengan masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus dikerjakan paslon terpilih untuk menuju Indonesia Emas 2045.

Bagaimana menurut para pembaca?.

--

--