Bagaimana Sastra Modern Indonesia Dilahirkan? [Bagian I]

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
15 min readJan 13, 2022

Mungkin esai ini terasa panjang, tetapi saya ingin bicara tentang asmara. Semoga Anda cukup betah. ✌️

Setidaknya menurut pandangan para ahli sosiologi asmara, perasaan cinta asmara yang tampaknya sudah dianggap natural dan universal itu ternyata merupakan suatu perasaan yang baru-baru saja berkembang sekitar kurang lebih tiga abad yang lalu, yaitu pada masa munculnya Zaman Modern. Tentu saja, manusia di sepanjang sejarahnya sudah mengembangkan berbagai macam perasaan cinta, namun cinta asmara dalam penghayatan baru seperti yang kita kenal sekarang — yaitu yang kita kenal dalam bentuk lembaga sosial “pacaran” — pada dasarnya baru tumbuh seiring dengan berkembangnya kebudayaan modern itu sendiri.

Dengan asumsi teoretis seperti itu, dalam esai ini saya ingin memperbincangankan salah satu momen sejarah makro yang sangat penting dalam masyarakat kita selama ini, yaitu modernitas dan nasionalisme Indonesia. Lantas, saya akan menghubungkannya dengan proses kemunculan sastra Indonesia modern. Setelah berlalu 100 tahun lebih, wajar saja jika orang mulai tidak menyadari lagi bahwa apa yang terjadi dengan dunia sastra kita saat ini pada dasarnya terkondisi melalui proses yang sudah berlangsung lama dalam sejarah modernitas. Maka, tampaknya kita perlu membicarakan lagi hubungan kelahiran sastra Indonesia dengan modernitas.

Untuk mulai memahami keterkaitan ini semua, kita perlu mundur dulu jauh ke belakang untuk memahami suatu fenomena kebudayaan yang sangat penting yang disebut modernitas. Pembahasan sejarah ini akan terasa sangat makro pada awalnya, tetapi kemudian saya akan coba membuatnya terhubung dengan persoalan sejarah mikro di akhir esai ini.

Modernitas: Kemajuan atau Kehancuran?

Karena modernitas itu berkembang makin matang di Eropa pada sekitar abad ke-18 dan pengaruhnya kemudian menjalar juga ke Nusantara (Hindia Belanda) pada abad ke-19 melalui pendidikan, media massa cetak, dan pergaulan budaya, kita perlu mempelajari apa sebenarnya yang terjadi di Eropa dalam proses perkembangan modernitas itu.

Buku Stuart Hall dkk. ini mudah dipahami sekaligus sangat komprehensif dalam menguraikan proses pembentukan modernitas di Eropa dan pengaruhnya terhadap belahan dunia yang lain.

Pada abad ke-18, Eropa sedang berada dalam konflik kebudayaan yang sangat besar. Di era itulah lahir revolusi-revolusi penting yang selanjutnya mengubah wajah Eropa untuk selamanya. Setidaknya terjadi tiga perubahan mendasar pada saat itu, yaitu (1) memuncaknya kepercayaan pada rasionalitas dan sains yang menggeser dominasi agama, (2) berubahnya kehidupan ekonomi agraris ke industri melalui Revolusi Industri di Inggris, dan (3) runtuhnya dominasi politik monarki/kerajaan melalui Revolusi Perancis. Perubahan pada masa itulah yang kemudian disebut oleh para ahli sejarah sebagai “Kebudayaan Modern” atau “Zaman Modern” atau “modernitas”.

Kita mulai dengan perubahan yang pertama, yaitu memuncaknya kepercayaan pada rasionalitas dan sains yang menggeser dominasi pandangan keagamaan. Sebenarnya berabad-abad sebelum abad ke-18, kehidupan masyarakat Eropa sangat dipengaruhi oleh pandangan keagamaan, yakni Katholik. Akan tetapi, dominasi pandangan keagamaan ini mulai digugat sejak munculnya perubahan mendasar dalam ilmu astronomi tentang gerak alam semesta yang diajukan oleh Nicolaus Copernicus (1473–1543). Copernicus dapat membuktikan bahwa bumilah yang mengitari matahari, bukan sebaliknya. Pendapatnya ini bertentangan dengan pandangan yang dianut para pemuka Katholik pada saat itu yang sebenarnya memanfaatkan pandangan lama dari Aristoteles (384–322 SM) bahwa bumi itu tak bergerak dan menjadi pusat alam semesta, sedangkan matahari dan benda-benda langit lain berkeliling mengitari bumi. Karena masih kuatnya dominasi pandangan Aristoteles yang dilegitimasi oleh pandangan agama, maka pendapat Copernicus itu tetap diragukan kebenarannya dan cepat dilupakan orang. Dalam proses penemuannya, Copernicus sangat dipengaruhi oleh teori-teori astronomi yang sudah dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Arab Islam pada abad-abad sebelumnya, seperti Nasirudin Tusi, Muayadin Urdi, dan Ibnu Shatir yang lebih dulu memperbaiki teori astronomi yang diajukan oleh para ilmuwan Yunani Kuno, seperti Aristoteles dan Ptolomeus.

Jalur pengaruh ilmuwan Timur Tengah terhadap Copernicus dijabarkan dalam buku George Saliba ini.

Pada perkembangan selanjutnya para ahli astronomi yang lain, seperti Johannes Kepler dan Galileo Galilei, yang hidup puluhan tahun setelah Copernicus justru semakin membuktikan dan memperkuat kebenaran pendapat Copernicus itu. Meskipun demikian, pendapat mereka tetap tak mampu mengubah pandangan yang dominan tentang gerak semesta itu. Baru setelah satu setengah abad sejak Copernicus, pandangan ilmiah mulai dapat menggeser pandangan para agamawan tentang benda-benda angkasa, yakni sejak munculnya teori tentang gaya tarik benda-benda langit dari Isac Newton (1642–1727). Apalagi dengan menguatnya kebutuhan akan keakuratan navigasi dalam pelayaran untuk kepentingan kolonialisme Eropa di Asia pada saat itu, perhitungan ilmiah yang tepat dalam astronomi menjadi sangat penting dan semakin dimanfaatkan. Maka, perlahan tapi pasti, pandangan yang berasal dari pengetahuan ilmiah semakin mempengaruhi kehidupan Eropa dan mulai menggeser pandangan keagamaan yang dianut oleh para agamawan yang masih didukung oleh penguasa kerajaan-kerajaan pada masa itu.

Pada abad ke-18 pandangan ilmiah semakin dominan di Eropa, terutama di kalangan masyarakat kelas menengahnya. Era inilah yang kemudian disebut oleh para ahli sejarah sebagai Abad Pencerahan. Pandangan mendasar dalam Pencerahan adalah bahwa metode ilmiah seharusnya digunakan untuk memahami semua aspek kehidupan karena metode ilmiahlah yang dipandang mampu menemukan hukum yang bekerja di alam semesta dan dalam masyarakat manusia. Pandangan ini terus menguat dengan adanya inovasi-inovasi ilmiah yang dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan hidup manusia seperti yang terlihat dalam Revolusi Industri di Inggris pada akhir abad ke-18. Di samping itu, pandangan Pencerahan yang mengutamakan kedaulatan individu manusia rupanya mampu pula mendorong Revolusi Perancis yang akhirnya meruntuhkan kekuasaan monarki otoriter pada tahun 1789.

Akan tetapi, harapan akan perubahan yang lebih baik yang dibawa oleh Revolusi Industri dan Revolusi Perancis ternyata tidak bertahan lama. Meskipun Revolusi Industri memang mampu mencegah kekurangan pangan akibat pertambahan penduduk yang tinggi dan mampu meningkatkan kehidupan ekonomi Inggris pada saat itu, tetap saja industrialisasi ternyata juga membawa dampak-dampak buruk yang tak terduga sebelumnya, seperti kerusakan lingkungan, eksploitasi yang berlebihan terhadap para buruh, dan berkembangnya kehidupan kota (urban) yang keras. Adapun Revolusi Perancis yang tadinya penuh dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan manusia ternyata berujung pada kekerasan, teror, dan peperangan yang berlangsung lebih dari 20 tahun yang melibatkan hampir seluruh wilayah Eropa. Alhasil, masa perpindahan dari abad ke-18 menuju abad ke-19 benar-benar merupakan masa krisis yang luar biasa bagi Eropa. Dalam suasana demikian, pandangan Pencerahan masih dianggap dapat memberi harapan, namun akibat-akibat nyatanya mau tidak mau menimbulkan rasa putus asa. Di tengah kekalutan antara harapan dan keputusasaan itulah muncul pandangan baru, yaitu Romantisisme, yang perlahan-lahan dianggap sebagai alternatif pemecahan budaya, terutama oleh generasi mudanya.

Romantisisme: Sikap Paradoks terhadap Modernitas

Sebagai gerakan pemikiran kebudayaan yang lahir dalam suasana penuh konflik, Romantisisme berupaya untuk keluar dari kontradiksi-kontradiksi tajam yang muncul pada saat itu, seperti kontradiksi antara agama dan sains, antara individu dan masyarakat, antara kebudayaan baru (modern) dan kebudayaan lama (tradisi/feodalisme). Namun, generasi Romantik itu sendiri sudah tidak bisa memilih salah satu dari kutub kontradiksi itu sekaligus tidak juga dapat mengabaikannya. Di satu sisi, agama sudah bisa digugat oleh rasionalitas ilmiah, sementara rasionalitas ilmiah itu sendiri ternyata tak kunjung menghasilkan keadaan masyarakat yang lebih baik. Di sisi lain, berpaling pada kedaulatan individu rupanya malah menghasilkan teror dan kekerasan sosial, sedangkan kembali pada tatanan masyarakat monarki tradisional juga sudah tidak mungkin lagi.

Salah satu buku yang penting yang menjelaskan perkembangan Romantisisme sejak awal kemunculannya sampai pengaruhnya bagi pemikiran sosial dan seni saat ini.

Karena lahir dalam situasi yang dilematis, generasi Romantik Eropa terus-menerus mengalami perasaan yang paradoks. Di satu sisi bersemangat, tapi di sisi lain murung. Di satu sisi optimis, di sisi lain pesimis. Mereka memang dirasuki oleh kegairahan mencipta kebudayaan, tetapi mereka juga menyadari bahwa keharmonisan dengan alam sudah hancur berantakan. Perasaan paradoks itu terus menggelisahkan mereka dan membentuk suatu penghayatan diri yang khas sebagai bagian dari kebudayaan modern. Setidaknya generasi ini dapat dipahami melalui empat sikap hidup mereka.

Pertama, Romantisisme memandang bahwa kebudayaan itu merupakan proses kreasi, yaitu sebuah proses penciptaan yang tidak dapat dilepaskan dari proses penciptaan yang terjadi di alam semesta. Keterkaitan ini sangat penting karena Romantisisme memandang bahwa alam semesta ini bukanlah sesuatu yang telah jadi utuh, melainkan sesuatu yang terus bergerak, berubah, atau terus-menerus berada dalam proses penciptaan. Dalam konteks ini, tindakan kreatif manusia dipandang sebagai upaya untuk berpartisipasi di dalam proses penciptaan besar yang berlangsung di alam semesta. Sebagai suatu kreasi, maka aspek kebaruan dan orisinalitas menjadi sangat dihargai oleh generasi Romantik ini. Akan tetapi, mereka juga memandang bahwa kreativitas itu bukanlah sesuatu yang dapat direncanakan atau diperhitungkan secara rasional. Bagi generasi Romantik, penciptaan itu terjadi secara spontan, mendadak, didorong oleh ilham, dan perasaan yang bergejolak. Semua inilah yang terkandung dalam istilah imajinasi. Jadi, kreativitas (misalnya, kreativitas dalam seni) dipandang sebagai kreasi imajinasi, bukan hasil rancangan rasio. Inilah perlawanan mereka terhadap pandangan generasi tua Pencerahan Eropa yang lebih mengutamakan rasio ilmiah.

Kedua, Romantisisme memandang alam (nature) sebagai sesuatu yang selalu penuh rahasia, misterius, agung, dan menakjubkan sehingga alam juga dipandang memiliki kualitas supernatural. Karena itu, Alam dan Tuhan tidak dipahami oleh mereka sebagai dua hal yang terpisah. Dalam pandangan kaum Pencerahan Eropa, Tuhan beristirahat setelah menciptakan alam dan kemudian alam ini bekerja sendiri sesuai dengan hukum alam, seperti halnya sebuah arloji yang berjalan sendiri setelah selesai dibuat. Romantisisme menolak pandangan ini dan menyatakan bahwa alam itu suci karena Tuhan hadir setiap saat di alam untuk melakukan proses penciptaan terus-menerus. Maka, tidak heran jika kaum Romantik sangat prihatin dan marah terhadap kerusakan alam yang ditimbulkan oleh industrialisasi yang terus menyebar di seluruh Eropa sejak Revolusi Industri di Inggris. Karena itu, mereka kemudian mengungkapkan perasaan prihatin dan marah itu — dan juga perasaan rindu pada alam yang indah dan misterius itu — melalui berbagai karya seni yang di dalamnya terungkap kekaguman pada kehidupan alam pedesaan dan kebencian pada kehidupan kota industri (urban) yang keras dan semrawut.

Ketiga, generasi Romantik memandang manusia bukan semata-mata sebagai makhluk yang rasional, melainkan lebih sebagai makhluk yang irasional dan seringkali dikendalikan oleh ketaksadarannya. Karena itulah para kreator Romantik biasanya menggambarkan proses kreatif mereka sebagai proses yang spontan, tak terencana, atau di luar kehendak sadar, seolah-olah mereka berada dalam sergapan ilham yang tak terkendali. Dengan mengakui adanya aspek irasionalitas dalam diri manusia, Romantisisme sebenarnya mengkritik pandangan kaum Pencerahan yang memperlakukan manusia seperti robot, yaitu sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan diarahkan secara rasional untuk kepentingan tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Kritik ini pulalah yang membuat Romantisisme sangat mengistimewakan kedaulatan individu, yaitu individu yang kebebasanya tidak boleh direnggut oleh penguasa negara, raja, ataupun penguasa agama. Akan tetapi, pada sisi lain, Romantisisme juga mengakui bahwa irasionalitas atau ketaksadaran manusia itu tidak hanya dapat membawa manusia ke kondisi yang lebih sempurna, melainkan juga dapat menjerumuskan manusia ke kondisi yang lebih buruk. Dalam konteks inilah kaum Romantik tidak melulu optimis, tapi seringkali pesimis dan muram dalam memandang tindakan manusia.

Keempat, Romantisisme sebenarnya merindukan suatu tatanan sosial atau masyarakat yang damai dan hangat, yang bukan dihasilkan oleh rekayasa rasional belaka, melainkan masyarakat yang terbentuk karena rasa cinta, kesetaraan, dan welas asih yang tulus. Sayangnya, tatanan sosial semacam ini tidak kunjung terwujud dalam suasana peperangan berkepanjangan setelah Revolusi Perancis dan dalam suasana ekploitasi kelas buruh selama Revolusi Industri saat itu. Generasi Romantik lantas melakukan semacam pelarian ke dunia imajinasi untuk mewujudkan kerinduannya itu. Oleh karena itu, mereka sangat suka pada gagasan tentang kreativitas (seni) yang otonom, yaitu sebagai sesuatu yang dihasilkan dari kreasi imajinasi dalam diri individu yang bebas.

Modernitas dan Kelahiran “Indonesia” sebagai Gagasan Masyarakat Baru

Jadi, intinya apa itu modernitas? Ringkasnya, modernitas adalah suatu bentuk kebudayaan yang memiliki setidaknya tiga ciri utama, yaitu (1) sikap berpikirnya ilmiah, (2) secara ekonomi bersifat industrial, dan (3) secara politik bersifat demokrasi yang menganggap penting kedaulatan individu (individualisme). Pada bagian ini, saya ingin melanjutkan pembahasan tentang pengaruh modernitas Eropa terhadap munculnya gagasan tentang sebuah masyarakat yang kemudian menamakan dirinya “Indonesia”.

Ini sebenarnya perkara yang rumit. Maka, saya mau membuat penyederhanaan saja untuk mempermudah perbincangan kita. Mari kita bayangkan bahwa dalam suatu masyarakat desa yang kecil dan sederhana di zaman dahulu kala, masing-masing keluarga menempati tanah yang luasnya kurang-lebih sama untuk keperluan tempat tinggal dan memelihara sumber makanan sehari-hari, baik berupa kebun maupun ternak. Dengan demikian, pembagian benda-benda kebutuhan dasar bagi setiap warga desa ditata dengan cara yang kurang-lebih setara. Karena itu, mereka tidak punya kesadaran atau wacana tentang kekayaan dan kemiskinan, yang ada hanyalah kecukupan yang wajar dan seimbang. Mereka juga tidak punya kesadaran tentang makna keuntungan atau laba karena perdagangan belum ada, mereka masing-masing memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil kebun dan ternak yang seringkali dikerjakan secara alamiah. Jadi, makna kekayaan, kemiskinan, dan laba tidak terserap ke dalam kesadaran dan pengetahuan mereka dan dengan sendirinya mereka juga tidak akan punya kepercayaan tentang makna-makna tersebut. Mereka justru percaya pada wacana keseimbangan, kecukupan, dan kesetaraan.

Pada intinya, dengan ilustrasi tersebut, saya mau bilang bahwa ketika kita ingin memahami suatu masyarakat yang historisitasnya berbeda dengan masyarakat kita sendiri, kita harus benar-benar mawas diri untuk tidak menggunakan atau memaksakan makna-makna yang kita serap dan kita percayai pada saat ini ke dalam situasi kehidupan mereka yang jauh berbeda dari segi struktur sosial-ekonomi, wacana, dan historisitas. Kita harus punya imajinasi yang jeli untuk bisa menangkap dan mengerti kehidupan suatu masyarakat dalam historisitas yang berbeda. Dengan sikap mawas diri seperti itu, sekarang mari kita masuk ke sebuah masyarakat perkotaan pada awal abad ke-20 di pulau Jawa yang menjadi bagian dari apa yang disebut negara koloni Hindia Belanda. Di situlah kisah rumit tentang kelahiran “Indonesia” itu dimulai.

Bagan di bawah ini memperlihatkan gambaran umum tentang struktur masyarakat yang dimaksud di sini.

Jauh berbeda dengan gambaran masyarakat desa dalam ilustrasi di atas, masyarakat yang diperlihatkan dalam bagan tersebut sudah mengalami perubahan struktur pembagian barang kebutuhan secara sangat drastis sehingga muncul lapisan-lapisan sosial yang hierakis (ibarat sebuah tangga) yang menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan akses yang sangat tajam terhadap barang kebutuhan dalam masyarakat. Kesetaraan pembagian barang kebutuhan seperti yang terjadi di dalam masyarakat desa awal itu sudah tidak ada lagi. Bisa dilihat di dalam bagan itu betapa orang-orang Eropa (Belanda) yang di dalam bagan diwakili oleh posisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda menempati posisi yang paling tinggi. Artinya, merekalah yang mendapatkan akses yang paling banyak atas barang kebutuhan hidup yang tersedia di dalam masyarakat. Selanjutnya, posisi kedua dan ketiga ditempati oleh raja-raja Jawa beserta kaum ningrat yang menjadi bagian dari penguasa sistem feodal Kerajaan Jawa pada saat itu yang tunduk di bawah Kerajaan Nederland di Belanda. Posisi selanjutnya ditempati oleh para pedagang yang biasanya merupakan kelompok masyarakat Arab, Tionghoa (China), dan Melayu yang sudah lama menjadi pendatang di Kerajaan Jawa. Posisi paling bawah ditempati oleh para petani, buruh, dan orang-orang yang benar-benar kehilangan akses material, seperti para gelandangan dan pengemis.

Buku ini berasal dari disertasi Takashi Shiraishi, seorang Indonesianis dari Negeri Sakura, sudah menjadi acuan yang sangat klasik dan representatif mengenai sejarah munculnya gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Jawa.

Dalam struktur masyarakat seperti itu, nilai-nilai keseimbangan, kecukupan, dan kesetaraan seperti yang dipercayai oleh masyarakat desa awal itu kini tidak lagi dihargai sebagai makna kultural yang penting. Dalam masyarakat hierarkis yang feodal dan kolonial itu, makna yang dihargai dan dipercayai adalah bahwa manusia memang terlahir tidak setara sehingga kekayaan dan kemiskinan adalah nasib yang harus diterima dengan lapang dada karena sudah dipercaya sebagai takdir dari Tuhan. Karena itu, jika seorang petani ingin hidupnya aman dan cukup makan, maka dia harus mengabdi kepada salah satu ningrat dari penguasa kerajaan yang merupakan pemilik tanah pertanian di wilayah Jawa.

Karena perdagangan juga tumbuh pesat dan dikerjakan dengan sistem yang baru, yaitu kapitalisme-industrial, yang dikuasai oleh penguasa Hindia Belanda, muncullah suatu makna baru yang dipercayai sebagai makna yang sangat berharga, yaitu kepemilikan pribadi atas laba dari perdagangan yang dapat diinvestasikan kembali untuk memperbanyak laba sampai tak berhingga. Sistem keningratan pada mulanya tidak mengenal kepemilikan pribadi ini. Kaum ningrat hanya mengenal dan mempercayai pentingnya pengabdian kepada raja sehingga, sebagai balasannya, raja memberikan hadiah sejumlah wilayah pertanian beserta para petaninya kepada kaum ningrat itu, yang dalam kondisi tertentu bisa diambil kembali oleh sang raja. Dengan kata lain, “pengabdian” dan “kepemilikan pribadi” merupakan dua makna kultural yang sangat berbeda yang lahir dari perbedaan struktur masyarakat karena munculnya sistem ekonomi yang baru, yaitu kapitalisme-industrial.

Paku Buwono X (Susuhunan Solo) dan Willem de Vogel (Residen Solo), 1897. Di balik kemesraan hubungan politik yang tergambar dalam foto ini, tersimpan konflik kekuasaan yang rumit antara raja-raja Jawa dan kolonialisme Belanda di era perpindahan milenial dari abad ke-19 menuju abad ke-20 di tanah Jawa. (Sumber foto: di sini)

Ketika kedua makna itu bertumpang-tindih dan bersaing di dalam suatu masyarakat, pada saat itulah terjadi apa yang disebut sebagai momen perubahan sosial. Orang-orang, terutama kaum ningrat, mulai berada dalam kebingungan budaya (culture shock) dan bertanya-tanya: mana yang lebih penting, pengabdian ataukah kepemilikan pribadi? Maka, muncullah dua kelompok dalam masyarakat pada saat itu, yaitu kelompok yang tetap percaya pada nilai-nilai pengabdian keningratan dan kelompok yang berpindah untuk mempercayai nilai-nilai kepemilikan pribadi. Pada momen inilah terbentuklah dua ideologi atau wacana yang bersaing dalam masyarakat, yaitu feodalisme dan kapitalisme.

Sebelumnya kaum ningrat tidak pernah bertanya-tanya seperti itu karena wacana pengabdian keningratan merupakan wacana yang diterima begitu saja, rasanya seperti sudah berlangsung sepanjang masa sehingga dipandang sebagai kebenaran yang natural. Dengan munculnya wacana baru, yaitu kapitalisme, kaum ningrat Jawa pada masa itu dihadapkan pada situasi baru yang membawa ketidakpastian bagi masa depan mereka.

Sampai di sini, saya kira, kita bisa menggunakan konsep ideologi dan wacana dengan lebih sering dalam pembicaraan ini. Jadi, dalam uraian di atas, setidaknya terdapat dua macam ideologi/wacana yang relevan, yaitu feodalisme dan kapitalisme. Feodalisme sebagai sebuah ideologi dapat dipahami sebagai seperangkat makna/wacana yang dimiliki atau dipercayai oleh kaum ningrat tentang nilai pengabdian dalam kehidupan keningratan, sedangkan kapitalisme sebagai ideologi berisi seperangkat makna/wacana tentang nilai kepemilikan pribadi. Dalam ideologi kapitalisme, yang akan dianggap penting adalah seberapa besar kekuatan modal finansial seseorang, bukan lagi seberapa tinggi status keningratannya. Jadi, di sini jelas terlihat bahwa ideologi/wacana pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan historisnya, yaitu kelompok mana dalam masyarakat yang berkepentingan dengan seperangkat wacana itu dan dalam situasi historis seperti apa wacana itu menjadi relavan.

Dalam momen perubahan sosial di masa itu, kedua ideologi ini bersaing untuk memperebutkan pengaruh atau kekuasaan di dalam masyarakat. Masing-masing ideologi berupaya mempertahankan posisinya dan memandang negatif terhadap ideologi saingannya. Misalnya, menurut kelompok kapitalis, para ningrat yang feodalistik itu dinilai sebagai orang yang tidak rasional, percaya pada mitos-mitos kosong tentang kemuliaan raja, suka berfoya-foya menghabiskan harta dengan cara yang tidak efisien, munafik, dan suka mengagung-agungkan kejayaan masa lalu yang sebenarnya sudah lenyap ditelan kemajuan zaman modern. Namun, kelompok feodalis tentu saja tidak mau kalah, mereka juga menuduh para kapitalis itu sebagai perampok tanah raja, tamak, menghalalkan segala cara demi mengeruk keuntungan ekonomi, suka menyiksa para petani dan buruh, tidak beradab, dan sebagainya.

Apapun yang masing-masing pihak katakan tentang pihak saingannya, ternyata ada satu hal yang menyamakan kedua ideologi itu, yaitu mereka sama-sama tidak percaya pada gagasan kesetaraan dalam masyarakat. Karena itu, kedua kelompok ini tetap menginginkan struktur sosial yang hierarkis seperti yang digambarkan dalam bagan di atas. Mereka hanya bersaing dan bertikai tentang pihak mana yang seharusnya berhak berkuasa dan menempati posisi tertinggi di dalam struktur masyarakat itu, sedangkan strukturnya itu sendiri tidak mereka utak-utik, tidak hendak mereka ubah.

Meski berbeda pendekatan dengan buku Takashi Shiraishi, buku Robert van Niel ini juga memberikan informasi penting tentang munculnya kelompok priyayi baru yang berperan dalam nasionalisme Indonesia.

Dalam momen persaingan itulah kemudian muncul kelompok sosial yang baru, yaitu para ningrat yang berpandangan baru, seringkali disebut juga dengan istilah “priyayi baru”. Mereka ini mulai menyasar pondasi struktur masyarakat itu sendiri. Kelompok ini percaya pada nilai-nilai kesetaraan atau egalitarianisme sehingga mereka mulai mempertanyakan kebenaran dari struktur hierarki masyarakat yang ada pada saat itu. Menurut para priyayi baru ini, struktur masyarakat hierarkis itu memang sengaja dipelihara oleh sistem feodalisme Jawa, pada satu sisi, dan kolonialisme Belanda, pada sisi lain. Penguasa feodal dan kolonial itu terus-menerus bersaing memperebutkan kekuasaan meskipun pada momen itu tampaknya penguasa kolonial masih berada di atas angin, apalagi dengan diterapkannya ideologi ekonomi yang baru, yaitu kapitalisme.

Bagaimana kelompok ketiga ini bisa muncul? Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satu faktor yang penting adalah akses terhadap pengetahuan modern pada era itu. Sekolah modern mulai dibuka oleh penguasa kolonial Hindia Belanda untuk anak-anak ningrat Jawa. Kebanyakan dari para priyayi baru ini sebenarnya adalah anak-anak ningrat yang mengenyam pendidikan modern di sekolah Hindia Belanda tersebut. Di sekolah itulah mereka mempelajari bahasa-bahasa Eropa dan pengetahuan modern yang mengasah kemampuan berpikir ilmiah (rasional-empiris). Dengan kemampuan bahasa dan pikiran ilmiah itu, mereka kemudian bisa mengakses dan memahami khazanah pengetahuan dunia melalui buku-buku sejarah, filsafat, sastra, seni, sosiologi, psikologi, ilmu alam, dan sebagainya yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Karena itu, muncullah kesadaran baru di dalam diri anak-anak muda priyayi baru ini. Mereka mulai jeli mengamati struktur masyarakat, budaya, dan interaksi sosial sehari-hari. Mereka juga mulai tajam mengkritik ideologi feodalisme dan kolonialisme yang dominan di dalam masyarakat mereka pada masa itu.

Kepercayaan mereka pada pengetahuan, makna, dan nilai-nilai kesetaraan atau egalitarianisme membuat mereka berpikir dan merasa dengan cara yang baru. Perlahan-lahan mereka membentuk suatu gaya hidup yang baru yang merupakan ciri khas anak muda egaliter pada masa itu. Misalnya, mereka lebih terbuka dalam pergaulan antar-suku, antar-agama, dan antar-kelas sosial. Mereka mulai mendobrak sekat-sekat rasialisme yang dibangun oleh kolonialisme Belanda pada saat itu. Bahkan, mereka mulai berupaya menentukan pasangan hidup mereka sendiri yang bertentangan dengan aturan perjodohan dalam budaya feodal.

Semua sikap hidup dan kepercayaan baru mereka tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibangun, mereka ungkapkan secara tertulis melalui sarana/media komunikasi massal yang baru pada saat itu, yaitu surat kabar dan majalah yang dicetak. Selain itu, mereka juga mengungkapkannya melalui karya sastra, baik puisi, drama, cerpen, maupun novel. Pada tahap selanjutnya, anak-anak muda ini membangun perkumpulan atau organisasi modern untuk mengubah masyarakat dengan menghancurkan struktur masyarakat feodal dan kolonial. Semua upaya ini nantinya mengerucut ke dalam suatu ideologi baru yang kini dikenal dengan istilah “nasionalisme”. Para priyayi baru atau intelektual baru itulah yang kemudian disebut sebagai para pendiri bangsa (founding fathers dan founding mothers). Bahkan, konsep “Indonesia” itu sendiri pada dasarnya memang dibentuk dalam ideologi nasionalisme itu.

Sampai di sini, sebaiknya saya tutup dulu bagian pertama esai ini dengan menyimpulkan bahwa dalam konteks Indonesia, nasionalisme dapat dipahami sebagai suatu kesadaran kultural dari sekelompok generasi dalam masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20 yang mencoba memberi alternatif pada sistem feodalisme dan kolonialisme. Karena menolak kebudayaan feodal, nasionalisme itu dekat dengan modernitas melalui beberapa prinsipnya, seperti kedaulatan individu (individualisme), demokrasi, dan cara berpikir ilmiah. Namun, karena juga menolak kolonialisme, nasionalisme itu bersikap kritis terhadap kesenjangan ras/etnis dan gender yang dibangun oleh politik kolonial dan kesenjangan kelas yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalisme kolonial. Karena itu, dengan ciri-ciri tersebut, generasi nasionalis Indonesia yang awal sebenarnya lebih dekat kepada semangat gerakan kebudayaan Romantisisme yang berkembang sebelumnya di Eropa.

Lantas, apa hubungannya semua ini dengan sastra Indonesia? Silakan lanjut ke esai bagian II di sini:

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.