Asmara Terpendam sebagai Subgenre Cerita Roman

Irsyad Ridho
10 min readJul 5, 2022

--

Dalam pengamatannya terhadap novel percintaan pada era 1920-an sampai 1970-an, Jakob Sumardjo mengemukakan bahwa kehidupan dan konflik yang dialami oleh tokoh perempuan dalam kemunculan novel modern Indonesia sudah menjadi perhatian utama para pengarang kita. Sumardjo memperlihatkan bagaimana kemudian ciri cerita percintaan itu berubah dari era awal itu sampai tahun ’70-an. Beberapa roman atau novel awal Indonesia modern yang terkemuka, seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, dan Layar Terkembang, memiliki konvensi cerita “para perempuan yang berupaya merebut cinta kasihnya yang kebanyakan terhalangi oleh faktor orang tua dan adat daerahnya dan berakhir dengan kekalahan cinta.” Namun, pada masa Revolusi Kemerdekaan, upaya kaum perempuan meraih cinta itu terhalang oleh konflik pribadi mereka sendiri. Pada era ’70-an, konvensinya sudah jauh berbeda, yaitu tampaknya para tokoh perempuan dalam genre percintaan tersebut sudah tidak terlalu mendapat halangan yang berarti dalam meraih cinta mereka dan cerita biasanya berakhir dengan bahagia.¹

Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam pikiran kita adalah mengapa perubahan konvensi dalam genre cerita percintaan ini berubah-ubah seiring dengan perubahan zaman? Para ahli berbeda pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendapat bahwa genre sebenarnya merupakan cerminan dari keadaan sosial-politik pada suatu zaman dalam masyarakatnya sehingga jika keadaan masyarakatnya berubah, genre ceritanya pun berubah. Sebaliknya, ada pula yang berpendapat bahwa perubahan genre tidak semata-mata ditentukan oleh perubahan keadaan masyarakat, melainkan oleh sistem keterkaitan di dalam genre dan antar-genre itu sendiri. Asumsi yang kedua ini merupakan sudut pandang dari teori struktural. Dalam esai ini, dengan mendasarkan diri pada teori struktural, saya berupaya untuk mengangkat persoalan bagaimana sistem keterkaitan dan modifikasi di dalam sebuah genre, yaitu genre cerita roman, berdampak pada perubahan kaidah genre itu sendiri yang memunculkan subgenre tersendiri.

Sampul buku kumpulan cerpen Dwitasari dkk.

Untuk membuktikan hal itu, saya mencoba menganalisis tiga buah cerpen yang berasal dari dua kumpulan cerpen, yaitu Jatuh Cinta Diam-diam jilid I dan II. Tiga cerpen tersebut adalah “Pertemuan” (dari jilid I), “Teman Terbaik”, dan “Kopi” (dari jilid II). Kedua jilid kumcer ini dibuat secara sengaja sebagai cerpen-cerpen yang punya persamaan umum, yaitu tokohnya mencintai seseorang secara diam-diam. Persamaan umum itulah yang kemudian dijadikan judul dari dua kumpulan cerpen tersebut. Jilid I berisi cerpen-cerpen khusus karya Dwitasari, sedangkan jilid II berisi cerpen-cerpen karya Dwitasari dan beberapa penulis lain. Penjelasan di sampul belakang jilid 1-nya sudah menegaskan persamaan umum itu: “Setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai, memilih untuk diam, memperhatikan dari jauh, atau mendoakan diam-diam. Setiap orang punya caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cinta.” Persamaan umum ini akan menjadi patokan awal yang dapat memudahkan penemuan kaidah yang lebih rinci tentang genre roman ini. Saya menyimpulkan bahwa dua kumcer ini mengandung kaidah genre yang lebih spesifik yang berlaku untuk subgenre cerita roman yang di sini akan disebut subgenre “jatuh cinta diam-diam” atau “asmara terpendam”. Subgenre ini sebenarnya tetap terkait dengan kaidah yang lebih umum dalam genre cerita roman. Keterkaitan itu akan coba ditemukan pula dalam analisis ini. Ketiga cerpen yang akan saya kaji di sini diharapkan dapat mewakili keseluruhan cerpen di dalam dua jilid itu. Tentu dibutuhkan kajian selanjutnya terhadap cerpen-cerpen yang lain agar kesimpulan yang diambil dalam esai ini dapat lebih tepat.

Kaidah Umum Genre Roman

Menurut teori struktural, kaidah dapat dipahami sebagai sistem penataan yang tidak sepenuhnya kita sadari, tetapi sudah kita patuhi begitu saja, misalnya kaidah tata bahasa. Ketika kita bercakap-cakap dengan teman dengan bahasa yang sudah kita gunakan sejak kecil, kita tidak menyadari bahwa sebenarnya kita sedang mematuhi tata bahasa dari bahasa yang kita gunakan itu. Rasanya, kita bicara dengan lancar saja. Karena teman kita juga mematuhi tata bahasa yang sama, kitapun bisa saling mengerti. Ketika tata bahasa tidak disadari lagi, kita tidak akan merasakan hambatan tata bahasa. Kita baru merasakan hambatan tata bahasa ketika kita mulai belajar bahasa asing. Pada saat itulah kita mulai bicara terbata-bata karena harus pula memikirkan dengan benar-benar sadar apakah tata bahasanya benar atau salah. Misalnya, ketika kita baru belajar bahasa Inggris, kita mulai ragu apakah kata “eyes” harus diletakkan sebelum ataukah sesudah kata “bird” jika yang ingin kita katakan adalah “mata burung”.

Begitu pula ketika kita membuat cerita, pada dasarnya kita juga mematuhi tata cerita atau kaidah cerita begitu saja tanpa kita menyadarinya lagi. Kita baru menyadari kaidah cerita ketika kita harus membuat sebuah cerita dalam genre yang belum pernah kita kenal. Orang yang hanya terbiasa membaca cerita roman dan jarang sekali atau belum pernah membaca cerita bergenre thriller akan mengalami kesulitan untuk memahami cerita thriller, bahkan mungkin saja dia akan salah paham dalam memahami arah jalannya cerita dan makna peristiwa tertentu. Karena itu, kesadaran tentang kaidah cerita menjadi sangat penting dalam upaya memahami dan menafsirkan sebuah cerita dalam genre tertentu.

Dalam hal genre roman, Janice Radway telah berupaya mendeskripsikan kaidahnya. Dia meneliti novel-novel roman yang paling disukai oleh para pembaca di Amerika pada tahun 1980-an. Dengan menggunakan konsep fungsi dari Vladimir Propp yang sudah sangat klasik dan baku dalam teori struktural, dia menemukan 13 fungsi yang terus berulang dan merupakan kaidah genre cerita roman yang dia teliti. Tiga belas fungsi tersebut adalah sebagai berikut.²

  1. Tokoh perempuan mengalami kehancuran identitas sosial.
  2. Tokoh perempuan memberikan reaksi negatif terhadap tokoh lelaki dari kalangan bangsawan.
  3. Tokoh lelaki bangsawan itu bersikap ambigu terhadap tokoh perempuan.
  4. Tokoh perempuan menafsirkan sikap tokoh lelaki itu sebagai bukti adanya kepentingan seksual si lelaki terhadap dirinya.
  5. Tokoh perempuan marah dan dingin terhadap si lelaki.
  6. Tokoh lelaki memberikan tanggapan yang menghukum tokoh perempuan.
  7. Tokoh perempuan dan lelaki berpisah secara fisik dan/atau secara emosional.
  8. Tokoh lelaki berbalik memperlakukan tokoh perempuan dengan lembut.
  9. Tokoh perempuan membalas dengan hangat atas kelembutan si lelaki.
  10. Tokoh perempuan menafsir ulang sikap ambigu si lelaki sebagai akibat dari sakit hatinya di masa lalu.
  11. Tokoh lelaki secara terbuka menyatakan cintanya untuk menunjukkan komitmennya yang kuat kepada si perempuan melalui kelembutannya.
  12. Tokoh perempuan menanggapinya secara seksual dan penuh perasaan.
  13. Identitas tokoh perempuan dimantapkan kembali.

Itulah kaidah sekuen dari cerita roman yang dianggap ideal oleh para pembaca Amerika. Kaidah tersebut terus-menerus muncul dalam banyak novel roman di Amerika. Radway memberikan beberapa contohnya berikut ini:

Seperti tertera pada fungsi yang pertama, cerita roman yang ideal dimulai dengan tercerabutnya si tokoh perempuan dari lingkungan awalnya yang nyaman dan akrab yang biasanya merupakan bagian dari masa kecilnya dan keluarganya. Contohnya, tokoh Heather Simmons dipisahkan dari pelindungnya oleh pamannya yang jahat yang berniat menjualnya ke rumah bordil; Julie Dever menderita sakit karena kecelakaan mobil di jalanan pegunungan yang terpencil ketika dia pulang dari liburan; Charlotte Hungerford meninggalkan kehidupan pribadinya yang nyaman untuk pindah ke Brighton, yang di sana status lajangnya dijadikan bahan gosip yang tidak menyenangkan. Alaina McGaren dipaksa melarikan diri dari lahan pertanian keluarganya yang hancur selama Perang Saudara; dan Deanna Abbott minggat ke peternakan Arizona untuk melarikan diri dari orang tuanya yang selalu memaksakan kehendak mereka. Rincian peristiwanya memang berbeda-beda, tetapi semuanya membua si tokoh perempuan tidak nyaman karena peristiwa tersebut memisahkannya dari dukungan lingkungan yang selama ini ada dan membuatnya tercerabut dari tempat dan identitasnya semula. Jadi, suasana permulaan cerita-cerita roman tersebut hampir selalu memperlihatkan perasaan terpencil dan rasa kehilangan yang dialami oleh si tokoh perempuan.

Jika kita perhatikan, salah satu ciri penting dari kaidah roman tersebut adalah akhir cerita yang happy-ending. Hal itu dirumuskan oleh Radway pada fungsi nomor 13, yaitu identitas tokoh perempuannya dimantapkan kembali. Apakah salah satu ciri kaidah semacam ini berlaku pula untuk cerita roman di tempat lain, di Indonesia misalnya? Dari penelitian Jakob Soemardjo yang saya kemukakan pada awal esai ini, kita sudah mengetahui bahwa novel roman pada masa awal kemunculan sastra modern Indonesia mempunyai kaidah bahwa akhir ceritanya cenderung bukan happy-ending. Jadi, kaidah tersebut berbeda dengan yang berlaku pada novel roman di Amerika yang diteliti oleh Radway di atas yang cenderung happy-ending.

Namun, terlepas dari perbedaan ending itu, satu peristiwa penentu yang harus selalu ada dalam cerita roman adalah peristiwa jatuh cinta itu sendiri. Seluruh persoalan dalam cerita roman berkisar pada peristiwa penentu itu: mengapa dan bagaimana asmara muncul, apakah asmara akan tetap bersemi ataukah layu, apakah asmara akan terhalang ataukah menyatu, sampai kapan asmara akan terus terpendam, akankah asmara bertepuk sebelah tangan, bagaimana sebaiknya asmara diungkapkan, dan seterusnya. Dalam 13 fungsi yang ditemukan Radway di atas, kita dapat melihat betapa peristiwa nomor 11 dan 12 baru dapat tercapai setelah kedua pasangan calon kekasih itu sadar bahwa mereka sudah melakukan usaha pendekatan yang keliru yang justru menimbulkan kesalah-pahaman. Jadi, tampaknya kita bisa mengatakan bahwa akhir ceritanya happy atau sad sebenarnya bukanlah ciri umum dalam kaidah genre roman. Lebih baik variasi ending tersebut kita perlakukan sebagai subgenre saja dalam genre roman.

Dalam konteks itulah saya hendak berargumen tentang kumcer Jatuh Cinta Diam-diam yang saya kaji di sini. Dalam kajian ini saya lebih memilih untuk menyederhanakan metode analisis Radway, yaitu bukan dengan mengacu pada konsep Vladimir Propp, tetapi konsep Tzvetan Todorov tentang struktur lima kalimat naratif dalam penentuan pola urutan peristiwa (sekuen atau plot). Menurut Todorov, cerita pada umumnya akan dimulai dengan peristiwa yang menunjukkan keadaan statis (seimbang), semuanya berjalan normal, sudah sedemikian adanya sejak lama. Jika tidak ada perubahan apa- apa terhadap keadaan statis ini, maka cerita tidak terjadi. Maka, diperlukan peristiwa yang menunjukkan perubahan atas keadaan statis ini agar cerita bergerak. Dengan adanya perubahan itu, keadaan statis (seimbang) berubah menjadi tidak statis (tidak seimbang) lagi, keadaan normal berubah menjadi keos, berantakan. Cerita bisa saja diakhiri pada titik keos ini karena kaidah “perubahan atas keadaan” pada dasarnya sudah terpenuhi. Namun, biasanya cerita semacam ini tidak membuat pembaca/penonton menjadi tenang atau lega. Karena itu, keadaan tidak seimbang itu harus diubah lagi untuk menuju keadaan seimbang yang baru. Begitulah teori Todorov tentang kaidah sekuen.³

Logika/kaidah sekuen cerita yang dibayangkan oleh Zvetan Todorov. Logika ini diasumsikan mendasari semua cerita.

Kaidah Subgenre Roman: Kasus Tiga Cerpen

Jika konsep Todorov itu diterapkan untuk menganalisis tiga cerpen yang dibahas di sini, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel di lampiran. Terlihat di sana bahwa peristiwa utama cerpen “Teman Terbaik” tampak mirip sekali dengan peristiwa utama cerpen “Kopi”. Keadaan seimbang awalnya sama-sama berisi peristiwa utama “jatuh cinta kepada orang yang belum dikenal”. Cerpen “Pertemuan” ternyata juga mengandung peristiwa utama seperti ini, tetapi terletak di keadaan tidak seimbang. Perbedaan letak sekuen ini dapat kita abaikan saja, yang penting adalah kita sudah menemukan ciri peristiwa utama yang menyamakan ketiga cerpen ini, yaitu “jatuh cinta kepada orang yang belum dikenal”. Dalam tradisi cerita roman, ciri seperti ini seringkali disebut sebagai “cinta pada pandangan pertama”. Tampaknya inilah kaidah yang spesifik dalam subgenre ini.

Dalam situasi seperti itu, tentu saja cukup masuk akal jika langkah selanjutnya adalah perkenalan dan pendekatan. Ketiga cerpen ini juga mengandung peristiwa perkenalan dan pendekatan itu, yaitu sebagai langkah perubahan terhadap keadaan sebelumnya. Dalam proses pendekatan itulah kemudian terjadi situasi kemesraan yang ambigu karena pada saat yang sama terungkap pula tanda atau informasi yang dapat ditafsirkan sebagai petunjuk (clue) tentang kecilnya kemungkinan terbalasnya perasaan jatuh cinta itu. Tahap ini seringkali merupakan situasi yang penuh emosi yang bercampur-aduk antara harapan dan kekecewaan, antara kerelaan dan kemarahan, antara pengertian dan penyangkalan, antara cinta dan benci. Dalam kaidah sekuen, tahap ini merupakan keadaan tidak seimbang. Tanda atau clue itu memang muncul secara berbeda dalam ketiga cerpen tersebut, tetapi kaidah dasarnya tetap sama, yaitu keadaan tidak seimbang yang disebabkan oleh ketidakpastian tentang balasan cinta.

Dalam ketiga cerpen tersebut, ketidakpastian itu akhirnya diselesaikan melalui pengakuan tokoh yang ditaksir bahwa dia sudah mencintai orang lain. Dalam cerpen “Pertemuan”, Raditya mengaku bahwa dia sudah punya pacar. Dalam cerpen “Teman Terbaik”, Devin mengakui bahwa dia sudah jatuh cinta pada gadis lain yang meskipun tidak kesampaian, dia masih belum bisa melupakannya. Dalam cerpen “Kopi”, pengakuannya terwujud secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan undangan pernikahan.

Maka, jelas sudah keadaannya. Cinta tidak terbalas dan si tokoh kembali pada keadaan awal, yaitu hanya bisa memendam perasaan cintanya. Meskipun kini terasa lebih menyakitkan, kelegaan juga dapat dirasakan karena kejelasan sudah terungkap. Ketiga cerpen tersebut memang memberikan keadaan seimbang baru ini, tetapi tampaknya cerpen “Pertemuan” dan “Teman Terbaik” masih memperlihatkan semacam clue yang memberikan harapan kepada pembaca bahwa mungkin saja nanti cintanya akan terbalas, sedangkan cerpen “Kopi” sama sekali menutup kemungkinan itu.

Dengan analisis di atas, kini kita bisa merumuskan kaidah untuk subgenre asmara terpendam, yaitu:

(1) Tokoh A memendam asmara pada tokoh B yang tidak dikenalnya.
(2) Tokoh A dan tokoh B mulai saling mengenal dan menjadi dekat.
(3) Tokoh A merasakan kemesraan yang ambigu.
(4) Tokoh B mengakui bahwa dia mencintai orang lain.
(5) Tokoh A kembali memendam asmaranya kepada tokoh B.

Itulah kaidah dasar dari subgenre cerita asmara terpendam. Lebih sederhana daripada temuan Radway. Dengan hanya membandingkan tiga cerpen, kita sudah bisa menentukan kaidahnya. Selanjutnya, kita bisa menguji temuan kaidah ini dengan menerapkannya pada cerpen-cerpen yang lain. Seberapa banyak cerpen yang dapat dimasukkan dalam kategori kaidah ini, sebanyak itulah anggota kelompok genre asmara terpendam.

Kaidah sederhana ini berisi lima peristiwa utama yang seharusnya ada dalam subgenre asmara terpendam. Perhatikan di sana bahwa nama-nama tokoh yang spesifik yang mengacu pada cerpen tertentu sudah diganti dengan tokoh yang lebih umum (tokoh A, tokoh B). Perhatikan juga bahwa kelima peristiwa dalam kaidah itu sesuai dengan kaidah sekuen general yang dikemukakan Todorov. Bukan berarti bahwa kaidahnya harus berisi lima peristiwa utama saja, tetapi bisa juga lebih, tetapi tetap dapat disesuaikan dengan kaidah sekuen Todorov. Misalnya, Janice Radway merumuskan kaidahnya menjadi 13 peristiwa utama, tetapi sebenarnya tetap bisa dikelompokkan ke dalam kaidah sekuen Todorov.

Jika dibandingkan dengan temuan kaidah Janice Radway, kaidah subgenre asmara terpendam ini memang lebih sedikit dan sederhana. Tapi, ada satu peristiwa utama yang tampaknya sama-sama penting di dalam kedua kaidah tersebut, yaitu tindakan/keadaan yang ambigu. Dalam subgenre asmara terpendam, itu merupakan kaidah nomor 3, sedangkan pada temuan Janice Radway merupakan kaidah nomor 3 dan 10. Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa dalam genre roman, kaidah ambiguitas itu memang merupakan kaidah umum yang sangat penting dan menjadi tumpuan bagi bergeraknya cerita. Pada titik itu pula para pengarang berkutat untuk menemukan teknik ambiguitas yang tidak klise yang bisa melahirkan cara-cara baru atau gaya (style) yang baru tentang bagaimana kemesraan dan cinta asmara disembunyikan, diungkapkan, dan disalahtafsirkan. Perpaduan antara kaidah dan inovasi gaya itulah yang turut memunculkan subgenre baru dan membuat para pembaca atau penonton tetap bertahan menikmati genre roman.

Daftar Rujukan

¹ Jakob Sumardjo, “Rumah yang Damai, Wanita dalam Sastra Indonesia” dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Pilihan Artikel Prisma, disunting oleh Liza Hadiz (Jakarta: LP3ES, 1981/2004).

² Janice A. Radway, Reading the Romance: Women, Patriarchy, and Popular Literature (North Carolina: University of North Carolina Press, 1991) hlm. 134.

³ Tzvetan Todorov, Tata Sastra (Jakarta: Djambatan, 1985), hlm. 47–50.

Lampiran

Tabel Analisis Kaidah Sekuen untuk Mendapatkan Kaidah Genre

--

--

Irsyad Ridho

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.