Demi Kebahagiaan

Tentang Bagaimana Membuat Genre Cerita

Irsyad Ridho
4 min readOct 18, 2022

Ada jutaan bahkan milyaran cerita di dunia ini. Jika dibiarkan tanpa pengelompokan, kita akan kerepotan memahami kemungkinan persamaan dan perbedaan di antara cerita yang satu dan yang lain. Intinya, kita membutuhkan pengelompokan — penjenisan — agar otak kita tidak bekerja terlampau rumit sehingga kita bisa tidur dengan nyenyak. 😂

Persoalannya, bagaimana penjenisan itu dibuat? Apa kriterianya? Itulah persoalan genre cerita.

1. Rasa dan Cerita

Cerita pada dasarnya tidak hanya berisi rangkaian peristiwa, tetapi juga penuturannya. Melalui proses penuturan itu pula, cerita bisa menjadi wadah dan saluran bagi emosi atau perasaan manusia. Melalui cerita, manusia menyalurkan perasaan, tetapi melalui cerita juga manusia belajar mengalami perasaan. Jadi, perasaan bisa membentuk cerita, tetapi cerita juga bisa membentuk perasaan. Dalam esai ini, saya mencoba memaparkan bagaimana hubungan rasa dan cerita bisa menjadi kriteria yang penting untuk menentukan genre cerita. (Yang tertarik untuk mendalami hal ini, silakan baca-baca di sini.)

Perasaan manusia pada dasarnya dipicu oleh kondisi kehidupan yang melingkunginya. Jika kondisi kehidupan membuatnya nyaman, maka manusia akan merasa bahagia. Tetapi, jika kondisi yang muncul adalah sebaliknya, manusia akan merasa tidak berbahagia. Kebahagiaan adalah perasaan tertinggi yang ingin dialami oleh manusia. Karena itu, manusia akan melakukan segala upaya untuk mendapatkan kebahagiaan.

Pengejaran kebahagiaan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembentukan rangkaian peristiwa dan penuturannya dalam cerita. Di tengah cerita biasanya ditampilkan situasi gawat, misalnya peristiwa tabrakan. Selanjutnya, akhir cerita yang diharapkan tentu saja adalah si korban tabrakan itu berada dalam keadaan selamat. Happy ending. Cerita seperti ini akan menimbulkan perasaan bahagia (senang) di dalam diri pembaca/penontonnya. Apalagi jika awal ceritanya memang memberikan alasan yang sesuai untuk mendukung akhir cerita seperti itu.

Kopi memang bukan kebahagiaan sejati, tapi setidaknya bisa sedikit menahan derita hati. (Foto dicomot tanpa izin dari sini.)

Lantas, kondisi kehidupan apa saja yang membuat manusia merasa bahagia?

Singkatnya, ada tiga macam kondisi, yaitu (1) kondisi yang menimbulkan kebahagiaan fisik, (2) kondisi yang menimbulkan kebahagiaan personal, dan (3) kondisi yang menimbulkan kebahagiaan sosial.

Kebahagiaan fisik ditimbulkan oleh kecukupan/kelebihan makanan dan minuman yang dibutuhkan atau yang diinginkan. Kekurangan makanan/minuman akan menimbulkan penderitaan.

Kebahagiaan personal mengacu pada hubungan pribadi yang menyenangkan dengan pasangan atau orang terdekat. Aspek ini berkaitan dengan sistem kelekatan (attachment system) yang terbentuk melalui relasi awal dalam keluarga dan dalam relasi keintiman dengan pasangan (bisa mengacu pada kemesraan maupun kenyamanan seksual).

Adapun kebahagiaan sosial ditimbulkan oleh adanya kebanggaan, martabat, atau harga diri (pride). Perasaan harga diri itu bisa bersifat in-group (internal kelompok sosial di mana seseorang menjadi anggotanya), bisa juga bersifat out-group (hubungan dengan kelompok lain/eksternal di dalam masyarakat). Jika seseorang dihargai di dalam kelompoknya sendiri, maka dia akan merasa berbahagia. Jika kelompok lain mengancam harga dirinya dan kelompoknya, maka dia akan merasa tersinggung dan marah. Mendapatkan penghargaan, baik secara internal maupun eksternal, akan menimbulkan kebahagiaan sosial yang besar.

2. Tumbal, Roman, dan Heroik

Segala cerita yang dibuat manusia dalam berbagai kebudayaan di dunia pada dasarnya dipengaruhi oleh sistem perasaan yang terkondisi dalam tiga wilayah pengejaran kebahagiaan tersebut. Karena itu, dapat diajukan pula asumsi tentang tiga prototipe cerita, yaitu cerita tumbal (sacrifice), cerita roman (romantic love), dan cerita heroik (heroism).

Prototipe cerita tumbal menceritakan situasi penuh penderitaan karena kekurangan makanan/minuman (mungkin karena bencana alam, gagal panen, kemiskinan, kebangkrutan, dan sebagainya). Dalam cerita semacam ini, tindakan pengorbanan dan penebusan/ganjaran atas pengorbanan itu seringkali menjadi inti ceritanya. Pengorbanan itu akan ditebus dengan ganjaran yang membahagiakan.

Dalam prototipe cerita roman, yang diceritakan adalah upaya sepasang kekasih untuk bisa bersatu dalam cinta. Halangan akan muncul dalam berbagai bentuk, misalnya ketidaksetujuan orang tua, perbedaan status ekonomi, larangan adat/tradisi, kehadiran mantan kekasih, dan sebagainya.

Adapun dalam prototipe cerita heroik, yang diceritakan adalah upaya untuk mengembalikan harga diri yang hancur (misalnya, cerita tentang pangeran yang terbuang yang berusaha mengambil alih haknya kembali atas kerajaan) atau upaya untuk menghancurkan pihak lain (eksternal) yang mengancam harga diri kelompok (misalnya, cerita heroik tentang seorang agen rahasia dari sebuah negara untuk menghancurkan ancaman dari kelompok teroris).

Bagan Hubungan Prototipe Cerita dan Kondisi Kebahagiaan

Ketiga prototipe ini bisa saja saling berpadu. Namun, biasanya salah satunya dibuat menjadi lebih dominan. Karena ini adalah prototipe, maka wujud genrenya akan bisa bermacam-macam dalam cerita tertentu yang dibuat oleh para pengarang. Selain itu, genre-genre yang ada yang selama ini sudah dikenal dapat dikembalikan juga kepada tiga macam prototipe ini.

Kalau melihat kenyataannya, setidaknya dalam cerita di dunia industri film, ketiga prototipe inilah yang memang terus-menerus diproduksi secara besar-besaran. Prototipe tumbal terwujud dalam genre film horor dan thriller, prototipe roman terwujud dalam genre film roman (romance), film drama persahabatan dan drama keluarga, sedangkan prototipe heroik terwujud dalam genre film superhero, film laga (action movie, martial art movie), film perang kemerdekaan (national pride), dan film spionase (spy movie).

Kita memang mengejar kebahagiaan ke mana saja. Dan, untuk itulah dunia industri cerita terus-menerus meminta investasi ekonomi yang besar. Seseorang pernah berkata, jika kebahagiaan itu memang tidak bisa terwujud dalam kenyataan, setidaknya kita dapat merasakannya dalam khayalan.

--

--