Kefanaan Cinta

Mempertanyakan kembali ^Sebuah Pertanyaan untuk Cinta^: seberapa modernis gayanya?

Irsyad Ridho
Estafet
12 min readDec 6, 2021

--

Sejauh yang dapat saya pahami, modernisme merupakan aliran estetis atau gaya seni yang lahir dari rahim modernitas, tetapi terus-menerus mempersoalkan modernitas itu sendiri. Salah satu aspek yang penting dalam bangunan modernitas adalah posisi individu yang dipandang bebas/berdaulat, yang dikenal dengan istilah “individualisme”. Sebelumnya, gaya realis yang mengiringi kemunculan novel sudah menempatkan individualisme sebagai modus utama dalam konstruksi tokoh cerita, tetapi karena masih dipengaruhi oleh romantisisme, tetap ada upaya untuk memuliakan individu tokoh dalam penuturan ceritanya. [Tentang percampuran realisme dan romantisisme ini, terutama dalam genre cerita roman, silakan lihat di sini]. Dalam konteks genre cerita roman, realisme seperti ini beroperasi sebagian melalui pemuliaan pengalaman cinta pada pandangan pertama. Modernitas dalam perspektif idealisasi individualisme inilah yang tampaknya kemudian dipersoalkan oleh modernisme sebagai aliran estetis dalam penulisan cerita fiksi. Dengan kata lain, kedaulatan individu itu sendiri tidak ditolak dalam modernisme, tetapi modus idealisasinyalah yang dipersoalkan.

Saya mencoba menengok kembali kumpulan cerpen lama karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1999) untuk menjajal sejauh mana cerpen-cerpen di dalamnya berupaya mempersoalkan idealisasi asmara dan, dengan begitu, saya bisa menyamankan diri untuk berkesimpulan bahwa kumcer ini merupakan salah satu bentuk cerita bergaya modernisme di Indonesia.

Gambar sampul buku kumcernya.

Saya mulai saja dengan cerpen “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” yang sekaligus menjadi judul kumcer ini. Di sini jelas-jelas teknik ironi digunakan dengan cara yang cukup berlebihan sehingga ada semacam efek komikal yang membuat pengalaman asmara terasa seperti sebuah karikatur yang lucu. Sudah menjadi salah satu gaya khas Seno betapa tabrakan antara yang privat dan publik sering dimainkannya sebagai sebuah ironi atas kota Jakarta. Ini sering disebutnya dengan istilah “metropolitan-kampung” dalam beberapa esainya. Dengan teknik inilah cinta asmara dipersoalkan dalam cerpen ini. Jadi, adegan roman tidak menjadi romantis ketika berada dalam latar Jakarta, yang ada adalah roman yang ironis. Dalam teknik seperti ini, peristiwa pertemuan pertama tidak menjadi penting sehingga idealisasi cinta pada pandangan pertama tidak punya peluang di sini. Cerpen ini lebih menekankan pada momen konflik. Namun, konflik asmara itu sendiri bahkan tidak diidealisasi, tetapi diletakkan dalam suasana humor yang ironis.

Cerpen ini sendiri bercerita tentang seorang joli yang menelepon jola kekasihnya melalui telepon umum. [Joli dan jola adalah istilah yang saya sarankan untuk mengacu pada pasangan kekasih dalam cerita roman; joli mengacu ke yang perempuannya, sedangkan jola ke yang laki-lakinya.] Joli ingin memastikan apakah jolanya memang benar-benar mencintainya. Karena itu, dia terus bertanya di telepon itu. Karena merasa tetap tidak puas dengan jawaban jolanya, joli terus berlama-lama menelepon sehingga orang-orang yang mengantre di telepon umum itu menjadi gelisah menunggu dan kemudian semakin tidak sabar. Plot ceritanya bergerak hanya dari pola ini, yaitu: (1) joli menelepon jola kekasihnya di telepon umum, ingin memastikan apakah kekasihnya benar-benar mencintainya; (2) orang-orang yang mulai mengantre telepon mulai gelisah menunggu; (3) joli tidak puas dengan jawaban kekasihnya, dia terus bertanya dan bersedih untuk mendapatkan kepastian sebab ternyata jolanya masih mencintai istrinya; (4) orang-orang yang mengantre makin tidak sabar; dan (5) koin joli habis, dia terpaksa mencari koin baru dan mengantri dari ujung.

Dari plot yang sederhana ini, dapat dilihat bahwa asmara yang merupakan urusan privat diintervensi oleh yang publik melalui penggunaan latar yang secara sengaja memilih telepon umum. Teknik penumpukan ruang privat-publik seperti ini membuat asmara terbawa ke dalam suasana karikatur. Suasana tersebut dan efek ironisnya menjadi semakin tajam melalui penggunaan teknik hiperbolis yang tampaknya mempermainkan kode romantis yang biasa digunakan dalam cerita roman, yaitu hujan yang mengguyur ketika tokohnya berada dalam kesedihan karena patah hati. Narator cerpen ini menuturkan momen itu dengan cara menjejerkan antara keindahan perempuan karena cinta dengan guyuran hujan di depan telepon umum:

Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh — ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta. (Hlm. 6).

Narator cerpen ini memang memainkan kode yang konvensional dalam cerita roman tentang penggambaran kecantikan/keindahan fisik seorang joli seolah-olah dia merasa ikut prihatin dengan kesedihan joli itu. Namun, cara dia bertanya-tanya dalam deskripsinya sebenarnya memancing efek yang tidak biasa, yaitu sengaja mengajak kita, pembaca, untuk mempersoalkan cinta itu sendiri. Narator pada mulanya seperti percaya pada kemuliaan cinta, tetapi kemudian beranjak seperti meragukan dan mempertanyakannya.

Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita? (Hlm. 5).

Jadi, teknik ironi yang muncul dari penumpukan ruang privat-publik dan sikap narator seperti itu sebenarnya dapat disimpulkan sebagai modus naratif untuk mempersoalkan idealisasi asmara. Jadi, bagi saya, di sinilah letak gaya modernisme cerpen ini.

Metropolitan-kampung (Foto: Mas Day)

Cerpen “Petai” juga menggunakan teknik ironi-komikal dengan mengangkat hubungan yang tidak romantis antara petai, diskusi dengan pacar, dan perselingkuhan dalam perkawinan. Cerpen ini secara sengaja memasukkan petai dalam cerita sehingga keromantisan cerita asmara menjadi terganggu. Petai, kita tahu, sama sekali bukanlah kode kultural bagi keromantisan. Wacana dominan tentang keromantisan sebenarnya sudah terlanjur dikuasai oleh ideologi kelas menengah/atas sehingga simbol-simbol yang dianggap romantis selalu mengacu pada bunga, kalung mutiara, pemandangan alam, landscape kota Paris, candle light dinner, parfum yang lembut, dan hal-hal semacam itu. Petai tentu saja adalah sesuatu yang janggal di sini dan konotasinya yang terlanjur mengacu pada budaya kelas bawah beserta baunya yang menyengat tidak sedap bisa langsung merusak suasana romantis.

Namun, cerpen ini juga menjadi karikatur yang ironis tidak hanya karena keberadaan petai itu, melainkan karena diskusi yang tidak romantis antara sepasang kekasih tentang petai. Jola digambarkan berapi-api berpendapat, seperti seorang pembela rakyat kecil, bahwa petai penting bagi kebahagiaan kelas bawah. Karena itu, dia ingin mendorong pemerintah untuk membuat petai sebagai scent of Indonesia. Kemajuan Indonesia tidak perlu ditandai dengan simbol-simbol kemewahan dan kesuksesan modern, tetapi cukup dengan petai. Tentu saja, jolinya tidak setuju meskipun sebenarnya dia juga tetap makan petai bersama kekasihnya itu.

Di akhir cerita kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sebenarnya si jola itu berselingkuh dari istrinya yang tidak suka dia makan petai. Seharusnya, istrinya sadar bahwa ketika suaminya pulang dengan bau petai, itu artinya dia punya selingkuhan. Petai digunakan dengan cara yang lucu di sini sebagai pelarian dari rumah tangga kelas menengah untuk mendapatkan asmara dalam perselingkuhan berselera kelas bawah. Lagi-lagi ini memang salah satu gaya khas Seno, yaitu memainkan hubungan antar-kelas sosial dengan memperlihatkan secara terus-terang sifat dari kelas menengah urban Indonesia yang tetap menyimpan “kenorakan” kelas bawahnya. Melalui cerpen ini dan cerpen “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” tadi, kita bisa merasakan kritik Seno atas modernitas Indonesia. Persoalan cinta sejati di sini dijadikan bahan humor bagi kritik sosial.

Teknik yang berbeda dalam mempersoalkan asmara itu sendiri sebagai wacana dominan dapat dilihat dalam cerpen yang lain, yaitu “Nocturno”. Di sini dituturkan bahwa cinta itu memang tidak ada, percuma saja dicari atau ditunggu. Peringatan seperti ini terus-menerus diberikan melalui suara angin. Ini adalah sebuah gaya personifikasi. Dalam konvensi genre roman realisme-romantik, alam biasanya ditampilkan mendukung cinta sehingga muncullah pemaknaan tentang pemandangan (landscape) yang romantis. Sebaliknya, dalam cerpen ini alam diposisikan sebagai pihak yang berupaya mengembalikan tokoh utamanya (joli) kepada realitas yang sesungguhnya, yaitu bahwa cinta itu sebenarnya tidak ada.

Halo, masihkah kau cinta padaku? (Foto: bobo.grid.id via ini.)

Dalam cerpen ini diceritakan seorang joli yang terombang-ambing antara pergi dan tetap tinggal. Pergi mencari cinta (yang sejati) atau tetap tinggal (bertahan dengan cinta yang ada). Di tengah dilema itulah alam menyuarakan ketiadaan cinta. Plotnya sendiri sederhana, menangkap momen singkat di suatu senja dalam kehidupan Joli: (1) joli bersiap-siap ingin pergi mengejar mimpinya, tetapi angin mencegahnya pergi; (2) seorang jola meneleponnya, tetapi joli mengatakan bahwa hubungan mereka sudah putus; (3) joli gelisah apakah dia akan pergi atau tidak dan mencoba menenangkan diri ke pantai, tetapi angin makin mencegahnya pergi; (4) joli kembali ke dalam rumah dan di situ seorang jola yang lain sudah menunggunya di kamar; (5) joli memutuskan untuk tinggal dulu bersama jola itu dan tidak tahu apakah dia akan pergi nanti atau tidak meskipun angin tetap meyakinkannya tentang kefanaan.

Dari plot ini, kita bisa menyimpulkan bahwa joli telah menjalin hubungan asmara dengan banyak jola, tetapi hubungan itu selalu tidak bertahan lama. Joli terus saja berusaha pergi dari hubungan itu. Modus naratif seperti ini pada dasarnya merupakan kode kultural yang terkait dengan upaya mempertahankan kedaulatan individual di hadapan hubungan asmara yang tampaknya memberikan semacam ancaman terhadap kedaulatan individual itu. Hubungan intim/dekat dengan orang lain itu selalu menyimpan masalah eksistensial yang akut sehingga individu harus kabur dari hubungan itu dan berusaha membangun hubungan baru. Hanya alam (yaitu angin) yang menyadari bahwa sebenarnya hubungan apapun tidak akan bisa menyelesaikan problem eksistensial itu, cinta asmara sekalipun. Bahkan, asmara hanyalah perasaan yang memperdaya karena pada dasarnya asmara tidak ada, hanya fana.

Teknik naratif seperti ini pada dasarnya merupakan ciri yang khas dalam gaya modernisme yang menekankan pada paradoks kedaulatan individu itu sendiri: hubungan dengan orang lain akan mengancam kedaulatan individu, tetapi kedaulatan individu itu sendiri tidak akan tumbuh tersadari tanpa hubungan dengan orang lain. Karena itu, modernisme sangat suka dengan situasi yang selalu berada di perbatasan, yang memperlihatkan tokohnya selalu bersiap untuk pergi ke tempat baru yang memberikan kemungkinan hubungan yang juga baru dengan orang lain. Dalam gaya seperti ini, cinta pada pandangan pertama tidak lagi punya arti penting, hanya akan dikenang sebagai nostalgia yang hambar. Bahkan, perasaan rindu hanyalah efek dari pemandangan romantis, bukan sesuatu yang substansial ada sebagai perasaan. “Deru angin, hempasan ombak, pekik camar, semua itu memberinya perasaan rindu. Namun, siapakah yang mesti dirindukannya?” (hlm. 17). Dengan demikian, idealisasi asmara tidak lagi berfungsi.

Persoalan paradoks kedaulatan individu di atas digali lebih jauh dalam cerpen “Wanita di Muka Cermin”. Cerpen ini mempertanyakan dikotomi antara kepalsuan dan kesejatian identitas melalui dilema posisi perempuan dalam masyarakat. Posisi perempuan yang utuh dalam wacana roman yang dominan/streotipe dipersoalkan. Di sini refleksi tentang hasrat pribadi dikedepankan dan hal ini bertolak belakang dengan apa yang biasa dianggap romantis dalam genre roman. Dalam cerpen ini, proses refleksi dalam pikiran tokoh utama (joli) memang menjadi teknik yang utama. Karena itu, keberadaan di depan cermin menjadi modusnya dan membangun inti plotnya, yaitu: (1) Joli bersiap-siap untuk datang ke pesta ulang tahunnya yang ke-40; (2) Selama merias wajahnya, joli merenungi hidupnya, siapa dirinya, merenung tentang kepalsuan dan kejujuran dalam hidupnya; (3) Joli memutuskan memilih warna merah untuk secara simbolik menunjukkan gairah hasratnya kepada orang-orang di acara pesta, meskipun dia sudah bersuami; dan (4) Joli berangkat ke pesta.

Persoalan yang diangkat dalam cerpen ini sebenarnya mirip dengan cerpen sebelumnya, yaitu “Nocturno”. Namun, di sini persoalan tersebut dibangun melalui konteks dikotomi antara kehidupan yang penuh gairah hasrat di luar perkawinan dan kehidupan tenang-membosankan di dalam perkawinan. Intinya, sebenarnya bukan pada lembaga perkawinan itu sendiri, tetapi pada sifat hubungan sosial yang dibentuk di dalamnya serta kehidupan sosial yang melingkunginya (publik). Cerpen ini mempersoalkan bahwa ketika hubungan dengan orang lain berada dalam balutan simbol, formalitas, dan instrumentalistik, kedaulatan individu kemudian terancam. Kesejatian diri tidak bisa ditemukan dalam hubungan sosial seperti itu. Tokoh joli dalam cerpen ini lantas menemukan kesejatian itu dalam hasrat. Melalui hasrat, dia merasakan kembali kedaulatan pribadinya yang seringkali hilang dalam kehidupan publik yang artifisial.

Dengan demikian, cerpen ini sebenarnya mengubah asmara menjadi hasrat. Asmara dikeluarkan dari singgasananya yang steril dari hasrat (seksual) untuk kemudian dihadapkan pada wujud aslinya sendiri, yaitu gairah ketubuhan yang realistis yang bukan diidealisasi sebagai “cinta sejati”. Tema seperti ini pada dasarnya merupakan modus stilistik modernisme yang cukup tipikal: meniadakan “cinta sejati” yang polos (naif), mengkritik kepalsuan kehidupan modern (artifisial), dan mempertahankan kedaulatan individu melalui gairah hasrat.

Di buku SGA yang ini, kita bisa membaca ulasannya tentang Jakarta sebagai “kosmopolitan-kampung” itu. (Foto: goodreads)

Cerpen “Rahasia” juga mempertajam dikotomi antara diri di ruang publik (perkawinan) dan diri di dalam ruang privat. Sekuen utamanya mengambil momen singkat pada acara pemakaman seorang pengusaha muda (Jose) yang sukses. Di acara itu ada seorang perempuan yang tidak dikenal menangisi makam. Dewi, istri mendiang itu penasaran dan terus bertanya-tanya siapakah wanita itu. Apakah dia adalah kekasih si suami? Pertanyaan ini dibuat tetap menjadi rahasia sampai cerita berakhir.

Jadi, yang penting dalam sekuen cerpen ini bukanlah kejelasan mengenai jalan cerita cinta itu sendiri seperti halnya sekuen yang konvensional dalam genre asmara. Namun, yang hendak ditekankan oleh cerpen ini adalah bahwa cerita asmara yang dipandang sebagai perselingkuhan dari kehidupan rumah tangga si suami harus tetap menjadi rahasia kehidupannya, bahkan sampai kematian menjemput. Rahasia itu tetap menjadi pertanyaan dalam pikiran si istri sehingga terasa ada semacam kemungkinan bahwa si suami selama ini menjalani dua kehidupan yang berbeda, yaitu kehidupan publik di pintu depan dan kehidupan privat di pintu belakang.

Ini suatu cara untuk mempertanyakan kesetiaan cinta yang seringkali dimuliakan dalam wacana asmara yang dominan. Cerpen ini seakan ingin mengatakan bahwa realitas hidup ini penuh rahasia, selalu menampilkan wajah ganda. Di hadapan rahasia itulah cinta sejati dibuat tidak bisa bertahan. Namun, di dalam kerapuhan cinta itulah narator cerpen ini membawa kita pada pertanyaan tentang diri, tentang identitas pribadi.

Pada kenyataannya Jose tampil begitu sempurna dan Dewi tak bisa mengingkari betapa ia menjadi bahagia karenanya. Itulah sebabnya, 1000 hari setelah kematian Jose ia masih juga bertanya-tanya, benarkah ada sesuatu yang tak diketahuinya dalam kehidupan Jose?

Ketika Jose terbujur dengan wajah seolah-olah tertidur pada hari itu, Dewi memang begitu sedih dan menderita. Tidak selintas pun terpikir olehnya untuk bertanya, “Anda siapa?” (Hlm. 15).

Modus naratif yang menghidupi asmara melalui individualitas pintu belakang ini tampak lebih kuat sekaligus tragis dalam cerpen “Senja di Balik Jendela”. Cerpen ini menggunakan teknik impresionistik dalam mengungkapkan kenangan asmara. Kenangan asmara tidak muncul sebagai analepsis (flashback) dalam bentuk kilasan-kilasan ingatan semata, tetapi justru menjadi kesuluruhan bangunan cerita, yaitu melalui analepsis yang berlapis-lapis.

Cerpen ini dibuka dengan adegan tokoh “Aku” yang sedang termenung memandang senja di balik jendela kamarnya dan senja itu kemudian mengingatkan dia kepada kekasih lamanya yang sudah pergi entah ke mana. Kemudian, analepsisnya mundur lagi ke lapisan memori yang lebih jauh, yaitu ke sebuah peristiwa pertemuan dengan kekasih lamanya itu di sebuah kafe berpayung di tepi jalan. Selanjutnya, analepsis bergerak maju ke ingatan tentang rumah kekasih lamanya beserta perabotan dan benda-benda seni yang ada di sana. Di titik itulah alasan kepergian kekasihnya kita ketahui, yaitu bahwa dia tidak mungkin hidup bersama tokoh “Aku” karena dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya. Analepsis diakhiri pada momen kepergian kekasihnya melalui munculnya ingatan tentang kereta api berwarna perak.

Namun, ironisnya, di titik itu pula analepsis yang lain muncul, yaitu yang menceritakan pertemuan tokoh “Aku” dengan kekasihnya di sebuah rumah yang menghadap lembah-jurang ketika kekasihnya duduk di kursi malas sambil membaca drama Romeo dan Julia. Di dalam momen perpisahan itu, justru yang teringat adalah permintaan kekasihnya, “Ceritakanlah padaku tentang cinta.” Di situlah letak ironinya. Akhir cerpen ini, yang dibuat mendadak, semakin menambah suasana ironis itu karena kenangan asmara tokoh “Aku” dibuat terhempas ke dalam realitas sehari-hari kembali, yaitu bahwa dirinya adalah seorang kakek berusia 88 tahun yang diganggu oleh suara cucu dan kekesalan istrinya.

Simak pidato SGA untuk memahami pandangan dasarnya tentang kebudayaan yang sudah bergeser dari modernisme ke pascamodernisme di sini.

Ironi dalam cerpen “Senja di Balik Jendela” ini merupakan posisi subyektif pencerita dalam melihat pengalaman. Dengan begitu, realitas asmara tidak diperlihatkan dengan cara yang apa adanya (realis), tetapi sudah dibalut dengan gaya ironi. Suasana atau sikap ironis itulah yang lebih penting dalam cerpen Seno ini ketimbang realitas peristiwanya. Kita hanya diperlihatkan pada garis besar peristiwa dalam hubungan tokoh-tokohnya, tetapi rincian deskripsi tempat, pencirian fisik tokoh, dan benda-benda sengaja dikedepankan (foregrounding).

Senja membawaku kepada kabut yang berpendar, memunculkan kafe-kafe berpayung di tepi jalan, dengan kursi-kursi kosong, meja-meja yang basah, sehabis hujan yang juga telah membasahkan jalan, sehingga bila senja tiba genangan air di jalanan mencerminkan sebuah dunia keemasan yang selalu saja bergoyang, bergoyang, dan bergoyang ketika langkah-langkah kaki melewatinya. (hlm. 68).

Teknik pendeskripsian tempat seperti itu adalah teknik yang impresionistis, yaitu bagaimana caranya rincian tempat dapat mengungkapkan suasana, bukan benda-benda yang dirincikan itu sendiri secara obyektif. Artinya, sebuah tempat tidak digambarkan apa adanya, seperti dalam realisme, tetapi dipilih dan ditata dalam pengungkapan yang dapat membangkitkan suasana, yang dalam kasus ini adalah suasana ironis.

Jadi, dari semua cerpen yang sudah saya coba utak-atik ini, saya mau bilang bahwa ada semacam pergerakan dari pertanyaan tentang “apakah kamu cinta padaku” ke pertanyaan “adakah cinta itu sendiri?”. Maksud saya, cerpen-cerpen Seno ini sebenarnya tidak hendak bercerita tentang bagaimana jalannya asmara (seperti yang ada dalam pola cerita roman realis-romantik yang plotnya dibangun dari urutan peristiwa pertemuan pertama, pengakuan cinta, kemudian ada halangan, lantas bergerak ke penyelesaian cerita), tetapi justru hendak mempersoalkan keberadaan asmara itu sendiri. Jika asmara adalah suatu fenomena kultural dari modernitas, maka cerpen-cerpen Seno ini merupakan strategi untuk mempersoalkan modernitas itu sendiri dengan mempertanyakan keberadaan asmara. Namun, strategi seperti ini tetap bersifat modernis dalam arti bahwa asmara ditempatkan sebagai arena pergulatan individu dan masyarakat yang di dalamnya gagasan tentang kedaulatan individu tetap terus dicari dan diperjuangkan. Jadi, meskipun di sini asmara tidak dimuliakan seperti dalam realisme-romantik alias realisme-naif, tetap saja dianggap penting sebagai bagian dari gagasan besar modernitas, yaitu pergulatan kebebasan individu.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.