Permulaan

Irsyad Ridho
5 min readDec 28, 2021

--

Kemarin saya menyaksikan dua sobat sedang berkelekar tentang bagaimana para pengarang cerita membuat kalimat-kalimat permulaan dari cerita mereka. Keduanya tampak sangat menikmati guyonan mereka sendiri. Memang. Kenikmatan apalagi yang paling asyik bagi kita yang “tak masuk hitungan”, kalau bukan punya kesempatan mengolok-olok betapa teknik menulis yang digunakan oleh para pengarang yang terhormat itu ternyata norak juga. 😂 Wah, mungkin cara saya memulai esai ini juga bakal tidak luput dari olok-olok mereka. 🙈

Apa pun yang akan mereka lakukan nanti, yang jelas kelakuan mereka berdua membuat saya teringat pada tulisan lama saya tentang bagaimana kalimat-kalimat permulaan dari sebuah cerita seringkali menjadi pertaruhan yang krusial bagi keindahan cerita itu sendiri (apa pun konsepmu tentang “keindahan”). Jadi, tulisan lama itu saya sebar lagi di sini dengan sedikit perubahan.

Oke, saya mau mulai dengan sebuah esai Faruk HT tentang novel Saman karya Ayu Utami. Seperti sudah diketahui banyak orang, novel ini pernah menjadi pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Sebagai salah satu juri dalam sayembara tersebut, tampaknya Faruk perlu memberikan alasan kepada khalayak mengapa dia memilih novel tersebut sebagai pemenang. Maka, Faruk memberikan alasannya dalam esai tersebut. Judulnya: “Saman dan Keindahan”.

Nah, Faruk ternyata memulai esainya dengan menjelaskan beberapa kemungkinan mengapa paragraf pembuka dalam halaman pertama novel Saman memukau baginya. Untuk itu, saya kutipkan secara langsung paragraf yang dimaksud oleh Faruk itu. Mungkin kutipan ini bisa menjadi bahan olok-olokan berikutnya dari kedua sobat itu.😁

Di taman ini saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya.

Faruk mengakui pada mulanya sulit untuk menjelaskan mengapa paragraf tersebut memukaunya. Namun, kemudian dia memberikan dua kemungkinan alasan, yaitu (1) adanya aliran aliterasi bunyi konsonan bilabial dan nada sengau yang beruntun yang menimbulkan kesan pergerakan yang lancar-dinamis dan (2) adanya metafora pendek yang hadir menyentak pada kalimat pertama yang kemudian diikuti dengan kalimat panjang yang menghasilkan kelembutan yang mengalir pada kalimat kedua. Di sini Faruk sebenarnya mengidentifikasi tiga aspek kebahasaan yang mengandung fungsi estetis yang penting dalam novel Saman, setidaknya dalam paragraf awalnya itu, yaitu aspek bunyi bahasa (fonologis) dalam bentuk aliterasi, aspek metafora, dan variasi kalimat pendek-panjang.

Namun, bagaimana menjelaskan bahwa tiga aspek kebahasaan tersebut mengandung fungsi estetis dalam novel tersebut? Faruk hanya menjelaskannya secara singkat dengan mengacu pada dinamika irama yang memang menjadi salah satu unsur penting dalam estetika, yaitu bahwa ketiga aspek kebahasaan itu mengandung fungsi estetis dari segi irama (“tuturan yang lancar-dinamis” dan “sentakan yang keras, yang diikuti kelembutan yang mengalir”). Meskipun demikian, Sang Profesor kemudian lanjut menjelaskan hubungan irama tersebut dengan aspek lain yang sangat mendasar dalam keseluruhan novel tersebut, yaitu persoalan keindahan sebagai pengalaman yang partikular yang menyangkut ketubuhan, terutama pengalaman seksual.

Sampai di sini, beliau sebenarnya mencoba menghubungkan aspek kebahasaan yang membangun irama tersebut dengan aspek tematik yang merupakan konteks keseluruhan yang mengikat pelbagai kemungkinan gaya dalam novel tersebut. Tantangan yang harus dihadapi Faruk dalam analisisnya adalah sejauh mana beliau dapat membuktikan bahwa gaya dalam novel Saman ini memang terus-menerus dibangun — tidak hanya dalam paragraf awalnya, melainkan dalam bagian-bagian lainnya pula — dengan menggunakan peralatan kebahasaan yang punya efek irama estetis yang koheren dengan tema pengalaman ketubuhan partikular yang ditawarkannya.

Esai Faruk HT ada di dalam buku ini. Mau baca? Silakan datang ke perpustakaan Atelir Ceremai.

Nah, untuk itu, silakan baca sendiri deh esai beliau. Saya sendiri lebih tertarik untuk membandingkan paragraf yang dianalisis oleh Faruk itu dengan paragraf pertama dari novel Tabula Rasa karya Ratih Kumala ini.

Kamu seperti menara. Selalu dapat kulihat walau jauh dan di kerumunan orang. Ada sinergi di dalamnya, karisma yang dulu sempat kunikmati dari dekat dan dalam jarak. Adalah pesona yang membuat pria bertekuk dan mencium ujung-ujung jarimu. Hanya sanggup menunduk memandang kukumu yang tidak berkuteks, mungkin juga hidungnya mencari odor tubuhmu yang akan selalu dikenang dan dikenalnya di kemudian hari pada setiap orang yang menyemprotkan parfum berbau sama denganmu ke tubuh-tubuh mereka. Dan saat tak mampu menggapaimu lagi, mungkin aku atau orang lain yang pernah mengagumimu akan bertanya pada orang itu, Kumohon katakan, parfum apa yang kau pakai? walau mungkin akan dianggap gila. Lalu, kucari mereknya dan kusemprotkan pada kacukuku agar senantiasa dapat kuhirup lembutnya bersamaan dengan kubayangkan adamu.

Teknik estetis yang digunakan dalam paragraf ini sebenarnya mirip dengan paragraf novel Saman di atas, yaitu metafora di kalimat pertama yang pendek yang kemudian disusul dengan enam buah kalimat berikutnya yang tampaknya semakin lama semakin panjang dan ditutup dengan kalimat yang tidak terlalu panjang. Memang tidak terasa adanya aspek aliterasi, seperti dalam paragraf novel Saman, namun paragraf ini tetap terasa berirama dengan adanya teknik klimaks dalam pilihan pendek-panjang kalimat.

Namun, ada satu aspek kebahasaan yang tampaknya penting dalam paragraf tersebut, yaitu perpindahan dari kosakata yang mengandung citraan visual (penglihatan) ke citraan nasal (penciuman), yaitu mulai dari memandang obyek (jauh-dekat, karisma, pesona) sampai berpindah mencium objek (odor tubuh, parfum). Sebenarnya aspek perubahan citraan ini juga ada dalam paragraf novel Saman, tetapi rupanya itu tidak menjadi perhatian Faruk atau bisa juga memang tidak secara khusus menonjol (foregrounding) sehingga fungsi estetiknya tidak cukup relevan, setidaknya pada paragraf pertama itu saja. Sebaliknya, dalam paragraf Tabula Rasa ini perpindahan citraan itu terasa menonjol karena dipengaruhi oleh adanya teknik klimaks dalam pendek-panjang kalimat.

Kedua kutipan paragraf di atas sebenarnya berasal dari novel yang sama-sama bergenre cerita roman meskipun mungkin pengarang dan para penggemar novel tersebut tidak setuju dengan kategori saya ini, tapi itu soal nanti saja. Yang jelas, jika aspek genre itu kita perhitungkan pula dalam kajian gaya terhadap kedua novel tersebut, maka muncul pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah teknik memulai cerita seperti yang dilakukan dalam kedua novel tersebut memang sudah menjadi kaidah atau kode yang umum dalam penulisan cerita roman? Ataukah, teknik kedua novel ini menyimpang dari kaidah umum itu? Mana yang merupakan kaidah umum: memulai novel roman dengan gambaran suasana yang romantis (misalnya, gambaran tentang seseorang yang menunggu kekasih dengan perasaan berdebar di suatu kota yang asing setelah sekian lama berpisah, seperti dalam novel Saman; gambaran tentang seseorang yang tanpa disangka bertemu dengan orang yang mirip sekali dengan kekasihnya yang sudah lama tiada, seperti dalam Tabula Rasa) ataukah memulai dengan gambaran keseharian yang biasa saja, tanpa suasana romantis sedikitpun, seperti dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono?

Jika kita dapat menentukan hal ini, maka fungsi estetis dari teknik pembukaan kedua novel ini dapat ditentukan dengan lebih mantap. Tentu saja, untuk itu diperlukan data yang lebih banyak dari cerita-cerita roman yang lain sebagai bahan perbandingan. Tanpa itu, kita tidak bisa menafsirkan fungsi estetisnya dari segi teknik penyimpangan terhadap kaidah. Mungkin ada yang mau meneliti persoalan yang saya angkat di sini lebih lanjut? Semoga saja. Namun, sebelumnya, kita perlu berterima kasih dulu kepada dua sobat yang saya sebut di permulaan esai ini (siapa pun mereka) sebab mereka sudah duluan memberi ilham.

--

--