Semua Memang Akan Berakhir

Irsyad Ridho
11 min readDec 31, 2021

--

Jika hasrat (desire) adalah sesuatu yang kultural, yang berbeda dengan drive (dorongan) yang instingtual, maka hasrat akan berusaha melepaskan diri dari ikatan atau keterbatasan tubuh yang alamiah. Namun, hal itu tidak mungkin sebab hasrat tetap membutuhkan tubuh untuk beroperasi. Itulah mengapa hasrat perlahan-lahan berkurang dan seolah-olah hilang setelah mengalami pemenuhan badaniahnya. Itulah dilema hasrat: ingin tetap hidup abadi, tetapi terkurung dalam tubuh yang fana.

Karena itu, hasrat tidak selalu bisa dikekang melalui moralitas. Bahkan, moralitas bisa dibajak oleh hasrat untuk menjadi samarannya yang paling efektif. Tidak sulit mencari contohnya. Masih ingat ‘kan kasus guru pesantren yang memerkosa murid-muridnya itu? Maka, yang bisa dilakukan hanyalah terus-menerus bernegosiasi dengan hasrat. Hasrat diberi kesempatan untuk hidup, tetapi tali kendali tetap juga disangkutkan padanya. Tarik-ulur antara kesempatan dan pengendalian itulah yang membentuk kebudayaan. Dan, masyarakat tiada lain adalah arena tarik-ulur itu.

Photo by Mikel Parera on Unsplash

Dalam esai ini, saya ingin menawarkan argumentasi bahwa fiksi, khususnya cerita, adalah tempat persembunyian hasrat dari arena tarik-ulur itu. Setidaknya untuk sementara. Maksud saya begini. Jika tubuh tidak dapat diandalkan untuk menghidupkan hasrat terus-menerus, maka memori adalah mekanisme pengganti yang pas. Otot-otot yang lunglai sehabis hubungan badan, perut yang kenyang sesudah santapan lezat, napas yang berdengus seusai pembalasan dendam, dan pekik garang setelah pengambil-alihan kekuasaan; semuanya adalah wujud matinya hasrat melalui mekanisme tubuh yang fana. Hasrat itu akan hidup lagi seiring dengan tubuh yang kembali segar. Keterikatan pada tubuh inilah yang merepotkan. Maka, hasrat mencari metode lain untuk mencapai keabadian. Kemungkinannya ada pada memori.

Lantas, bagaimana kemungkinan itu dapat diberikan oleh fiksi? Ke sanalah arah argumentasi saya. Untuk itu, saya akan kembali menggunakan komik jadul favorit saya, yaitu karya-karya Zaldy Armendaris, untuk menjajal kemungkinan tersebut. (Komik-komik yang dibahas dalam esai ini dapat dilihat sinopsisnya di menu Katalog. Jika ingin membaca langsung komiknya, silakan kunjungi perpustakaan Atelir Ceremai).

Cerita dalam komik-komik roman karya Zaldy punya ciri yang terus berpola, yaitu ending-nya yang sad alias akhir-derita. Plotnya tidak rumit, hanya tentang asmara yang kandas. Namun, menariknya, strategi pengakhiran ceritanya selalu merupakan upaya penolakan untuk melupakan kehilangan asmara itu sendiri. Dengan kata lain, pengalaman kehilangan itu dihidupkan terus-menerus di dalam memori, menjadi kenangan. Saya ingin menyebut cara mengenang seperti ini sebagai “melankoli”.

Jadi, dalam komik-komik Zaldy, melankoli bukan semata-mata suasana yang kita rasakan ketika membaca ceritanya. Ia punya fungsi yang lebih dari itu, yaitu untuk mengunci hasrat ke dalam suatu area di dalam memori agar tetap dapat bertahan hidup. Dalam proses pembacaan, modus penguncian ini memberi efek “terasa ada yang tetap tersisa” — yaitu sebagai efek melankoli — meskipun komik sudah selesai dibaca. Karena itu, panel-panel pada akhir cerita akan menjadi data yang penting untuk dianalisis.

Jendela ke Mana?

Puing-puing Kenangan (1970) dapat dipilih di sini sebagai model yang cukup ideal tentang efek melankoli. Judulnya saja sudah memperlihatkan acuan ke persoalan tersebut, yaitu bahwa pengalaman kehilangan cinta asmara membuat diri/ego hancur, seperti puing-puing, dan kehancuran itu, batapapun, tetap akan dikenang. Dalam komik ini, paradoksnya, pengenangan justru membuat kehancuran diri/ego itu dapat diatasi dan diutuhkan kembali, yaitu dengan cara mengidentifikasikan diri ke dalam objek hasrat yang telah hilang. Hal ini adalah mekanisme khas melankoli ketika ego menyerap objek hasrat yang telah hilang itu ke dalam dirinya sendiri sehingga objek-hasrat seolah tak pernah hilang, tetapi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ego.

Dalam Puing-puing Kenangan (1970) diceritakan betapa Dino sangat mencintai Carla. Sebaliknya, Carla merasa bahwa dirinya tidak pantas bagi Dino karena dia adalah perempuan simpanan dari banyak lelaki. Meskipun Carla sebenarnya juga mencintai Dino, dia berusaha menjauhi Dino. Apalagi, Ayah Dino juga tidak menyetujui hubungan mereka. Di tengah kekecewaannya, Dino mendapat kabar bahwa Carla kecelakaan dan jiwanya tak bisa diselamatkan lagi. Sebelum meninggal, Carla menyatakan bahwa apapun yang telah terjadi cintanya pada Dino tetap tulus dan dia berpesan agar Dino melanjutkan rencana studinya ke luar negeri dengan baik. Di akhir cerita, digambarkan Dino pergi ke luar negeri melanjutkan studi sebagai pemenuhan janjinya kepada Carla.

Melankoli melalui modus visual jendela pesawat dalam komik Puing-puing Kenangan (1970).

Dalam konteks ini, dua panel terakhirnya merupakan panel yang relevan. Di penel akhir ini digambarkan Dino memandang dengan sendu ke luar jendela pesawat yang sedang membawanya dari Jakarta ke Munchen untuk melanjutkan studi. Dalam caption- nya tertulis monolog interior Dino yang memperlihatkan penyerapan ego ke dalam obyek hasrat, yaitu Carla, yang telah hilang itu: “Kini aku dapat berangkat dengan hati lega dan lapang karena tiada hal lagi yang dapat mempengaruhi pelajaranku. Aku akan membina masa depanku baik-baik karena ini adalah pesannya yang terakhir.” Di sini pesan Carla sebelum meninggal dijadikan tumpuan hasrat baru bagi Dino dan dengan cara itulah dia menghidupkan Carla dalam memorinya.

Caption terakhir bahkan mempertegas tumpuan pemindahan hasrat itu, “Aku akan mewujudkan segala harapannya. Dengan demikian berarti aku telah memperoleh segala-galanya.” Jelas di sini bahwa hasrat Dino menyatu dengan hasrat Carla, yaitu bahwa Dino menghasrati hasrat (pesan) Carla. Ego yang retak karena kehilangan obyek hasrat kini menjadi utuh kembali. Namun, keutuhan ini tentu tetap berada dalam paradoks karena memori bekerja sekaligus sebagai tempat penyatuan hasrat dan tempat mengenang kehilangan itu sendiri. Gambar pada dua panel terakhir itu memperlihatkan paradoksnya dengan tepat, yaitu pesawat yang terbang menuju harapan cerah di masa depan, di satu sisi, dan Dino yang melihat ke luar jendela pesawat dengan pandangan sendu, di sisi lain. Dalam paradoks itulah hasrat melankoli tetap dapat dipertahankan dan dikunci dalam memori.

Panel akhir yang memperlihatkan tokohnya sedang memandang sendu ke luar jendela adalah modus visual yang seringkali berulang dalam komik-komik Zaldy. Dengan modus seperti itu, komik Zaldy tetap memposisikan pembacanya dalam tegangan paradoks antara visi ke masa depan dan ke masa lalu yang terus berlangsung dalam memori subjek melankoli. Dalam konteks hasrat melankoli, gambar jendela dalam panel akhir komik Zaldy dapat dilihat sebagai wilayah perbatasan atau wilayah-antara tempat hasrat tercetus dan tetap hidup.

Panel akhir bermodus jendela itu terwujud dalam beberapa variasi. Kadang-kadang berupa jendela kendaraan (seperti pesawat, mobil, atau kapal), kadang-kadang berupa jendela rumah. Pada kasus lain, wilayah antara itu tidak berupa jendela, tetapi dapat juga berupa trotoar yang memperantarai wilayah rumah dan jalanan, pantai yang memperantarai lautan dan daratan, dan makam yang memperantarai wilayah dunia dan akhirat. Apapun wujudnya, semua wilayah antara itu merupakan tempat bertahannya hasrat melankoli yang terbentuk melalui tegangan antara pengutuhan ego dan pengenangan kehilangan.

Mari kita cek komik-komik yang lain. Panel terakhir komik berjudul Mega (1969) memperlihatkan seorang perempuan yang menangis di dalam mobil sedan memandangi gelang pemberian kekasihnya. Terlihat jendela mobil dan daerah pegunungan di latar belakangnya. Mobil tampak melaju meninggalkan pegunungan itu menuju kota dan untuk selanjutnya dia akan ikut suaminya ke luar negeri. Caption-nya berbunyi, “Dengan air mata berlinang-linang ia menatap jauh ke puncak gunung yang diselubungi mega putih, di mana mereka pernah memadu kasih. Kenang- kenangan indah di masa lampau terus berkesan dalam benaknya.” Seperti halnya Puing-puing Kenangan (1970), komik ini juga membuat luar negeri sebagai harapan masa depan, namun hasrat tetap terikat ke masa lalu, yaitu “ke puncak gunung yang diselubungi mega putih”, tempat yang mengingatkan pada cinta asmara yang kini telah hilang. Dengan hadirnya kendaraan (mobil atau pesawat), panel akhir itu seperti memperlihatkan gerakan menuju ke depan, namun dilawan oleh gerakan yang berlawanan, yaitu gerakan memori ke belakang, ke masa lalu.

Hal serupa terlihat pula pada tiga panel terakhir Awan Kelabu (1971) yang memperlihatkan pasangan suami-istri sedang duduk di pesawat yang sedang terbang menuju Makassar, meninggalkan Jakarta. Kota Makassar di komik ini disebut sebagai “dunia baru”, harapan masa depan bagi pasangan suami-istri tersebut. Namun, akhir komik ini juga memperlihatkan dengan cara yang ironis bahwa kenangan akan putusnya cinta tetap membekas di benak si istri. Dialog di panel kedua terakhir memperlihatkan ironi itu ketika si suami bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Letty?”, si istri menjawab, “Masa depan kita, Dar.” Kita, pembaca, tahu bahwa si istri tidaklah sedang memikirkan masa depan, tetapi sedang mengenang cinta asmaranya yang telah hilang.

Makam dan Ilusi Gerak Maju: Tempat Rehat Terakhir?

Selain jendela kendaraan, makam juga menjadi wilayah-antara yang penting dalam komik Zaldy. Panel terakhir Esok yang Jauh (1974), misalnya, memperlihatkan seorang lelaki yang berdiri termenung di hadapan sebuah makam yang batu nisannya bertuliskan nama seorang perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Berbeda dengan gambar kendaraan yang menyiratkan ilusi tentang gerak maju, makam memperlihatkan posisi tidak bergerak. Panel akhir bergambar makam ini berfungsi menumpukkan (superimpose) masa depan (akhirat) dan masa lalu (ziarah sebagai upaya mengenang) sekaligus dalam tempat yang sama. Hal ini dipertegas dengan adanya gambar superimpose bayangan (roh) wajah sang kekasih yang sedang tersenyum memandang si lelaki dari “atas sana”. Hasrat melankoli tertahan dalam modus penumpukan tersebut.

Melankoli melalui modus visual makam dalam komik Esok yang Jauh (1974).

Pada kasus lain, seperti Tragedi Musim Bunga (1970) dan Setitik Airmata Buat Peter (1971), makam hadir bersamaan dengan ilusi gerak maju. Dua panel akhir Tragedi Musim Bunga (1970) memperlihatkan seorang gadis yang beranjak pergi dari makam sahabat perempuannya yang dulu pernah merebut kekasihnya, kemudian dia memandang lurus ke depan menyatakan sebuah harapan masa depan yang terungkap dalam teks caption-nya: “Dalam hati aku selalu berharap, berharap pada suatu hari dapat berjumpa kembali dengan Adnan beserta putrinya yang mungil.” Di sini si gadis berharap dapat memberikan cintanya kepada Adnan yang kini telah kehilangan kekasihnya, yaitu sahabat si gadis itu sendiri. Dengan demikian, dalam konteks melankoli, si gadis mengidentifikasikan dirinya kepada sahabatnya yang telah meninggal untuk menggantikan posisinya bagi Adnan.

Dalam dua panel terakhir komik Setitik Airmata Buat Peter (1971), makam juga hadir bersamaan dengan ilusi gerak melalui gambar kereta api di stasiun. Tetapi, kehadiran makam tidak secara langsung tergambar di dalam panel, melainkan harus disimpulkan dari bunyi surat Peter untuk Natalia. Dari jalan cerita sebelumnya, kita tahu bahwa Peter mengidap penyakit leukemia yang tak tersembuhkan, kematiannya sudah makin dekat. Gambar stasiun kereta api di panel terakhir yang pertama memperlihatkan ilusi gerak tentang kepergian Peter, sedangkan panel terakhir yang kedua memperlihatkan isi surat Peter yang berisi ucapan perpisahan, sebuah acuan ke arah kematian. Berbeda dengan beberapa komik yang telah dibahas di atas, ilusi gerak di sini, yaitu kereta api, tidak menandakan sebuah harapan di masa depan, tetapi kepergian yang tak diketahui arahnya. Dalam kasus ini, hasrat melankoli tertahan dalam memori dengan cara yang bertentangan dengan permintaan Peter di suratnya, yaitu agar Natalia melupakannya. Tentu saja, kita tahu bahwa Natalia tak akan bisa melupakan Peter karena penyesalan telah menghantuinya; pada awal komik, di bagian halaman pembuka, penyesalan itu telah diungkapkan: “Jika aku tahu hal ini sejak dulu, aku rela memberi apa saja yang menjadi milikku, demi melengkapi cinta kita.”

Dalam beberapa komik Zaldy yang lain, bahkan ketiadaan harapan masa depan dan penyesalan muncul lebih lugas dalam modus wilayah-antara makam di panel terakhirnya sehingga melankoli kehilangan paradoksnya. Dengan kata lain, ego benar-benar terserap ke dalam kenangan akan masa lalu. Melankolinya terasa lebih gelap. Dalam panel terakhir Konflik (1971), misalnya, terlihat seorang lelaki merunduk lunglai di makam kakak kandungnya yang telah meninggal dalam penyesalan, sedangkan di latar belakangnya terlihat, dengan teknik superimpose, seorang perempuan gila tertawa-tertawa, perempuan yang selama ini menjadi kekasih dalam cinta segitiga dari dua kakak-beradik itu. Tidak ada tanda harapan di sini, yang ada hanya penyesalan. Melankoli hadir dalam modus penyalahan diri yang akut. Hal serupa tampak pula dalam komik berjudul Bersemi di Angin Lalu (1968) yang panel terakhirnya memperlihatkan seorang perempuan buta sedang menangis dan memeluk nisan salib di makam kekasihnya. Meski matanya akan dapat melihat kembali karena donor mata dari kekasihnya, harapan masa depan itu sama sekali tidak dipandang penting. Caption-nya mempertegas hal itu: “Ia hanya dapat menangisi batu nisan Saldian. Ia sesalkan belum pernah melihat wajah yang telah memberinya terang itu. Yang ia dapat lihat sekarang sebuah dunia yang kosong dan hampa belaka.”

Berbeda dengan dua komik di atas, komik Air Mata Rembulan (1973) memperlihatkan ambiguitas tentang tegangan masa lalu dan masa depan dalam panel terakhir bermodus makam. Dalam kasus ini, kehilangan cinta asmara berujung pada tewasnya sejoli lelaki di tangan sejoli perempuan yang pada gilirannya menanggung penyesalan yang dalam sehingga bunuh diri. Panel terakhirnya memperlihatkan dua buah nisan salib yang di latar belakangnya, secara superimpose, tampak wajah dua sejoli itu sedang tersenyum bahagia di alam akhirat. Dari segi visual, akhir seperti ini memang menandakan acuan ke harapan masa depan, namun ambiguitas muncul melalui teks dalam caption-nya yang justru meragukan harapan masa depan itu, “Berakhirlah riwayat hidup Eva dengan cara yang amat tragis! Apakah dengan kematiannya itu ia dapat menyusul Albert dan bertemu kembali di alam yang lebih kekal?! Entahlah….” Ambiguitas ini memposisikan pembaca secara langsung sebagai subjek melankoli, yaitu sebagai pihak yang melihat atau “mendatangi” makam kedua sejoli itu, karena tidak ada tokoh lain yang diperlihatkan bersimpuh di makam itu.

Rumah: Persemayaman Kenangan?

Variasi lain wilayah-antara sebagai tempat mempertahankan hasrat melankoli dalam memori muncul dalam bentuk tegangan antara bagian dalam rumah dan luar rumah dengan jendela atau teras sebagai wilayah perbatasannya. Dalam kasus ini, dalam rumah merupakan representasi dari kenangan atas kehilangan cinta asmara (masa lalu), sedangkan luar rumah merupakan harapan masa depan. Gerimis dalam Kemarau (1972) memperlihatkan hal ini dengan jelas. Dua sejoli yang sebelumnya terpisah jauh kini dapat bertemu kembali dan bersatu dalam perkawinan. Namun, pada detik-detik terakhir, dia merasa dirinya tidak pantas karena masa lalunya sebagai wanita simpanan sehingga dalam kekalutannya dia berlari ke jalan raya dan tewas tertabrak mobil. Panel akhir komik ini memperlihatkan si suami berdiri sambil menangis di depan jendela rumahnya dan memandang ke luar rumah yang memperlihatkan matahari pagi yang sedang terbit di awal tahun baru.

Melankoli melalui modus visual rumah/villa dalam komik Soneta di Malam Sunyi (1978).

Rumah sebagai tempat kenangan tentang hilangnya cinta asmara tergambar dengan lebih berganda dalam Soneta di Malam Sunyi (1978) yang memperlihatkan empat panel sekaligus yang menggambarkan bagian-bagian yang berbeda dari sebuah rumah peristirahatan (Villa Blue Moon), yaitu bangunan villa dari tampak depan, teras di lantai dua, taman di pekarangan, dan jendela yang terbuka di paviliun. Keempatnya merepresentasikan rumah sebagai masa lalu yang harus tetap didiami meskipun itu adalah masa lalu yang pahit. Keempat tokoh yang digambarkan dalam masing-masing bagian rumah tersebut tidak bisa melepaskan diri dari kenangan kehilangan itu. Masa depan bahkan tidak terlihat, kecuali di panel terakhir yang keempat, yaitu seorang perempuan tua yang memandang ke luar jendela dengan sendu, tetapi juga mengucap syukur akan harapan masa depan anak gadisnya yang telah pergi meninggalkan villa itu.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas mengenai panel-panel akhir dalam komik Zaldy sebagai representasi dari wilayah-antara yang berfungsi mengunci hasrat melankoli dalam tegangan antara kenangan masa lalu dan harapan masa depan, dapat dikemukakan bahwa akhir cerita dalam komik Zaldy bukanlah semata-mata merupakan akhir derita atau sad ending, tetapi lebih tepat untuk disebut sebagai akhir melankolis. Dalam akhir semacam ini, yang penting bukan apakah kedua sejoli dapat menikah atau tidak di akhir cerita, melainkan apakah kenangan akan kehilangan cinta asmara di masa lalu berada dalam tegangan dengan harapan kebahagiaan di masa depan. Kasus Awan Kelabu (1971) yang telah dibahas di atas memperlihatkan bahwa meskipun perkawinan terjadi di akhir cerita, penderitaan akan kehilangan cinta asmara justru tetap bertahan dalam kenangan.

Melankoli melalui modus visual jendela mata dalam komik Selembar Kisah Kasih (1974).

Dalam Selembar Kisah Kasih (1974), misalnya, panel terakhirnya memperlihatkan pasangan muda suami-istri yang berpelukan saling menatap. Gambar seperti itu jelas menandakan penyatuan cinta asmara. Namun, caption-nya tetap mengandung gangguan atas kebahagiaan penyatuan cinta asmara mereka, yaitu berupa penyembunyian rahasia tentang masa lalu si istri oleh si suami. Apakah jika rahasia tersebut terbuka, si istri akan menanggung kehilangan identitas dan hal itu akan merusak penyatuan cinta mereka? Kita tidak tahu karena panel sudah berakhir, tetapi justru di sanalah terletak tegangan melankolis dari panel terakhir komik ini. 👌

___________________________

Esai ini diambil sebagian dari disertasi saya.

--

--