Some Research Methods for Quick Design Process (In Bahasa Indonesia)

Sabila S. Sulaiman
kudos to you
Published in
6 min readDec 18, 2019

Suatu saat ketemu klien…

👸 “Kak, minta tolong desain apps buat jualan skincare dong. Yang penting ada fitur Y-nya.”

🐙 “Menarik, bisa diceritakan siapa saja user-nya? Biar saya ada gambaran buat desain apps-nya.”

👸 “User-nya semua orang dong! Desain yang cakep aja. Pasti auto laku. Hehehehee”

🐙 “Wah, keren kak. User-nya dari anak-anak sampai lansia gitu bisa ya?”

👸 “Iya dong! Terus nih, minggu depan kita rilis langsung ya!”

🐙 “….” (ASDFGHJKL.part1)

Suatu hari di kantor…

🐵 “Jadi kita mau buat aplikasi terbaru kayak gini nih, bisa J, bisa K, ada fitur L...”

🐙 “Wow, user-nya beda lagi dengan produk A kah?”

🐵 “Kok beda Kak?”

🐙 “Oh, jadi gimana user-nya Kak? Sorry sok tahu, nih.”

🐵 “Hmm, mungkin kamu bener. Kalo segmen user mah secara general aja kan ya. Ya kan? Btw, minggu ini desainnya kelar semua yah!”

🐙 “….” (ASDGHJKL.part2)

Pernah mengalami tugas desain mendadak-deadline-singkat-tapi-gajelas kayak di atas? Saya pernah–apalagi kalau pas jadi solo designer oho (dan mungkin kamu juga 🎃). Waktu pertama kali mendapat challenge desain seperti itu, otakku yang baru kenal konsep design sprint dkk rasanya berontak. “Lah, jadi saya itu UX designer atau tukang gambar? Desain itu proses bung!” gitulah rasanya hehe.

But, bukan desainer namanya kalau hadapin problem sendiri nggak kreatif kan? (Yah nggak semua problem hidup xixixi). Seiring waktu aku coba berbagai metode untuk tetap melakukan proses riset hingga design yang bisa catch-up sama deadline.

Metode-metode ini kudapat dari hasil mix and match banyak sumber + pengalaman selama jadi researcher dulu. Not much and ga semuanya selalu berhasil. Pada akhirnya metode mana yang cocok balik ke situasi-kondisimu serta orang lain yang berkepentingan. Kalau kamu juga punya cara kreatif lainnya, please feel free to share with me! 💌

Disclaimer: Metode-metode di bawah hanya aku terapkan ketika harus kejar tenggat sebagai solo designer. Jika memungkinkan untuk iterasi proses riset+desain dengan jangka waktu yang lebih lama dan bersama tim UX, sebaiknya manfaatkan untuk lebih mendalami kebutuhan user-mu (mumpung, lo!) 👨‍👩‍👧‍👦

1. Competitor analysis

Tools: Mbah Google dan Google Playstore untuk cari target kompetitor, produk kompetitor yang mau dianalisis (bisa berupa web, apps, ato produk berupa barang), notes untuk dokumentasi (bisa ditulis manual atau online menggunakan Google Sheets /Airtable, I love both).

What to do: Setelah tahu gambaran umum produk apa yang akan kamu buat, kamu bisa observasi produk-produk lain yang ‘sejenis’. Misal, ketika aku akan membuat aplikasi untuk mengajar online maka aku bisa mengobservasi Udemy, Khan Academy, Canva School Design, dan Ruangguru.

How I took notes from my own product vs my competitors :D

Selama mencoba produk-produk kompetitor itu biasanya aku mencatat apa saja persamaan, perbedaan, hal yang menurutku bagus, hingga hal yang tidak kusuka. Dari observasi itu aku akan mendapatkan pola untuk wireframe produk ku: Apa standar yang harus kuterapkan untuk tipe produk tersebut, apa yang sebaiknya aku tambahkan, apa yang jangan kuterapkan, hingga mendapat gambaran user-ku nanti akan seperti apa.

Dari observasi yang sudah tercatat dipetakan (ini pakai SWOT)

Tips: You did the research then assume who your user is. Tapi karena semua itu masih asumsi, maka perlu ada validasi. Lakukan tes ke user (bisa dengan usability test), minimal 1 kali setelah desainmu selesai.

Also, kalau kamu akan menampilkan hasil analisismu ke stakeholders lain, kamu bisa memetakan hasil risetmu dalam affinity diagram, emphaty map, atau SWOT –supaya lebih mudah dipahami.

2. Remote usability test

Tools: Maze Design atau Useberry untuk share prototype dan mendokumentasikan experience user selama testing (keduanya punya fitur heatmap dan gratis, they help me a lot! 😙), Google Hangout dan screen recorder (opsional, kalau kamu dan user bisa online di waktu yang sama).

What to do: Metode ini biasanya kuterapkan ketika sudah ada existing product /design yang bisa diujicoba, namun kesulitan untuk cari user on-site dalam waktu dekat. Ada 2 versi testing yang pernah kucoba,

Pertama jika aku dan user nggak bisa online bareng. Aku cukup mengirim link prototype ke beberapa user sekaligus (at least 5 user). Di sini user bebas melakukan tes kapan pun sebelum deadline. Untuk tes model ini biasanya hanya dapat diterapkan untuk 1 task/fitur yang sederhana supaya user mudah paham dan dapat menyelesaikannya dalam waktu cepat (±5 menit). Tes ini dapat memberi insight kira-kira bagaimana perilaku user jika kita belum punya data kuantitatif (Kamu bisa tahu itu setelah melihat hasil heatmap atau rekaman tes, keduanya merupakan fitur bawaan dari Maze dan Useberry). Walau cara ini belum bisa melakukan observasi secara mendalam, kamu bisa antisipasi dengan bertanya pada user melalui formulir atau secara langsung setelah tes selesai.

Contoh hasil heatmap dari remote usability test di website

Kedua jika aku dan user online bersamaan. Metode-nya hampir mirip dengan usability test pada umumnya. Kelebihannya adalah aku bisa meminta user mengerjakan task yang rumit dan observasi secara mendalam. Namun karena makan waktu lama dari awal ‘janjian’ sampai proses tesnya, biasanya hanya dilakukan pada 1 user (demi mengejar tenggat!).

Tips: Jaga komunikasi dan beri apresiasi ke user-mu! (Trend-nya sekarang kasih user top-up gopay/ovo, pun saya senang kalau dihadiahin itu 😆)

3. Survey

Tools: Google Form atau Typeform (yang free aja udah cukup), Google Sheets dan Excel untuk dokumentasi sekaligus analisis data (Aku belum pakai Airtable karena fitur formulanya berbayar 😣).

What to do: Sebar survey ke user (bisa existing user –bisa disebar melalui apps atau email, bisa juga user baru dan kamu sebar melalui socmed). Metodenya bervariasi apakah user merespons dalam bentuk pilihan ganda atau esai.

Khusus untuk survey yang membutuhkan respon esai, biasanya cukup berikan 1– 2 pertanyaan yang sifatnya agak general. Jika ada insight yang kurang jelas bisa divalidasi ke user terkait secara langsung.

Tips: Usahakan survey nggak takes a lot of time buat user (max. 5 menit) karena bisa jadi belum selesai jawab survey–eh user bosan ato nggak sengaja keluar dari laman survey, effort kan kalau kudu ngisi ulang dari awal 😶.

Kalau kamu meminta respon berupa esai, seringkali user akan memberi respon yang luas cakupannya. Pastikan goal -data apa yang kamu butuhkan sebelum survey dimulai. Fokus pada tanggapan yang menjadi goal-mu saja, karena membaca semua hasil survey sangat memakan waktu dan tenaga (apalagi kalau kamu dapat >1000 respon).

Plus, kalau kamu sedia budget ekstra buat survey, kamu bisa janjikan hadiah untuk beberapa user yang beruntung atau memberi respon terbaik. Dan ingat, jangan ingkar janji ya~

4. Literature exploration

Tools: Mbah Google dan Google Schoolar untuk searching nan browsing~ Untuk opsi lebih lanjut bisa gunakan Google Trends, Google Analytics, atau sumber statistik lain untuk validasi.

What to do: Ini biasanya senjata terakhir ketika aku diharuskan mendesain produk yang belum jelas model bisnisnya 😢. Prosesnya simpel tapi ribet, cari artikel terkait sebanyak-banyaknya, pahami sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan benang merah aku coba padukan apa yang aku pahami dengan Google Trends atau statistik lain yang berkaitan. The least thing yang aku dapatkan dari eksplorasi ini, aku setidaknya bisa tahu apa hal-hal yang mungkin disukai user dan alasannya.

Tips: Cara ini cepat tapi butuh niat untuk baca sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat –which reminds me to those days when I wrote my undergraduate thesis, mbosenin. Untuk mempertahankan mood, biasanya aku print artikel-artikel yang paling bagus terus dicorat-coret pakai highlighter biar makin berwarna. Trik lawas tapi legend hehe.

Supaya makin meyakinkan, kesimpulan dari eksplorasi bisa divalidasi dengan melakukan survey sederhana, apakah tren yang didapat nanti sesuai dengan data yang telah ada.

--

--