Parasocial Relationship or: How I Learned to Stop Worrying and Love the Podcast

Menilik lebih dalam tentang hubungan antara podcaster dan para pendengarnya

Dany Akbari
Kultur Ekstensif
4 min readAug 17, 2021

--

Ilustrasi oleh Rainerius Raka

Awal 2020, kala gue sedang menyelesaikan laporan skripsi di lab kampus, karena suntuk maka untuk pertama kalinya gue mencoba mendengarkan podcast BKR Brothers (yang disarankan teman gue). Episode pertama mereka tentang dipalak Jimi Punk berhasil membuat gue tertawa beberapa kali selama mendengarkan, ditambah juga ada sedikit nostalgia jaman SMP gue yang kebetulan tempatnya di Jakarta Selatan dan bersebrangan dengan SMP-nya Bob Ciaw. Setelah sesi skripsian gue kelar malam itu, gak terasa ketika mau mematikan laptop ternyata sudah masuk episode ke 3.

Fast forward ke Agustus 2021, BKR Brothers selalu ada di setiap momen sehari-hari gue. Dari momen isolasi mandiri sendirian di Bali hingga perjalanan pulang interview kerja pertama gue, BKR Brothers menjadi andalan gue untuk ‘menyulap’ tempat asing yang baru saja gua datangi menjadi suatu ruang yang gue kenal. Suara Bobby, Rio, dan Molen ngobrol di podcast BKR itu sekarang familiar sekali di telinga gue, dan hal-hal kecil yang mereka sampaikan di tiap episodenya — Bobby dapet KFC gratis pas demo, Rio kecil dibawa ke kantor polisi, Molen bukain pintu to drunk stranger di Australia, etc — membuat gue merasa kenal dan dekat dengan orang-orang ini.

But, do I really know them?

Sedikit konteks, gue bukanlah orang yang suka mengikuti update terbaru gossip selebriti dan bintang terkenal, tapi kenapa gue bisa merasa bangga sekaligus sedih ketika gue tau Molen pindah untuk kerja di Washington?

Untuk menjelaskan fenomena ini, kita harus mengenal suatu istilah yang disebut parasocial relationship.

Courtesy of Julie Donders

Horton dan Wohl pada tahun 1956 menyebutnya “intimacy at a distance”, yaitu ilusi hubungan tatap muka yang terjadi antara pemirsa dengan pembawa acara di program televisi tertentu pada era itu.

Format program-program ini dibuat sedemikian rupa agar penonton merasa bahwa pertunjukan itu adalah sebuah percakapan dengan seorang teman dekat: frame pengambilan gambar menekankan raut wajah pembawa acara, dan mereka ditempatkan di set yang familiar seperti ruang tamu, dan berbicara langsung kepada penonton, berbagi detail pribadi, sehingga penonton merasa seperti mereka berada di satu ruangan.

Beberapa tahun terakhir, semakin umum bagi orang-orang untuk mengembangkan hubungan parasosial yang intens dengan figur-figur di internet. Tidak hanya podcast, medium lain seperti Twitch bahkan Onlyfans pun menjadi sarana untuk mengembangkan hubungan parasosial.

Menurut sebuah artikel di Real Life Mag, untuk memahami mengapa begitu banyak orang beralih dari teman di kehidupan nyata ke selebriti online, kita perlu melihat sejarah panjang definisi ‘teman’.

Sederhananya, ‘teman’ adalah orang yang memuaskan kebutuhan kita untuk dimiliki. Di masa lalu, rasa dimiliki seperti itu sebagian besar diberikan oleh keluarga inti: pasangan, orang tua, anak-anak, saudara kandung, kakek-nenek. Seiring berjalannya waktu, ‘rasa dimiliki’ ini dimanfaatkan dalam pembuatan konten melalui berbagai medium, dan karena itu definisi ‘teman’ ini dapat melebar ke pembawa acara TV, karakter film, dan bahkan seorang podcaster.

Seperti program televisi dulu, hubungan parasosial melalui medium yang lebih modern saat ini juga dapat terjadi berkat kemampuan untuk menerapkan ‘intimacy’ dalam konten.

Pembuat konten berkomunikasi dengan pendengar atau penonton secara candid, bercerita tentang kehidupan pribadi mereka, mengungkapkan berbagai masalah yang mereka hadapi seperti sedang berbicara dengan teman dekat. Kontennya juga sering kali di lingkungan yang familiar: di kamar tidur (umum bagi Twitch streamer), di suasana makan siang (Thirty Days of Lunch), atau suasana nongkrong (BKR Brothers, Podcast Ancur, dan banyak lainnya).

Berbeda dengan televisi dan radio di tahun 1950-an, media penunjang hubungan parasosial saat ini ada di mana-mana, tersedia kapan pun kita merasa bosan dan kesepian: di tengah kemacetan, di jam istirahat makan siang, atau di bawah selimut. Terlebih lagi, kemudahan membuat konten membuat variasi opsi yang ada semakin banyak.

Media massa di tahun 1950-an harus menarik konsumen massal: agar perhitungan keuangannya masuk akal, ada jumlah audience minimal yang harus dipenuhi. Tetapi hari ini, karena mudahnya membuat dan mempublikasikan konten beserta besarnya potensi konsumsi media tersebut, konten dengan niche yang sangat spesifik juga ikut berkembang.

Kembali lagi ke pertanyaan pertama gue di awal artikel ini, do I really know these guys?

Well I have met them in several p̶a̶r̶t̶i̶e̶s occasions but still the answer is: no, i don’t know these guys, especially in the level of what I perceived.

What I know is, dengan mendengarkan mereka bertiga, gue bisa mendapatkan efek yang sama seperti sedang ngobrol dengan teman-teman dekat gue. Bagi gue yang sedang berada di tanah perantauan jauh dari rumah, it’s a very great way to ease down the homesick and other worries.

Hubungan parasosial yang gue jalin dengan BKR Brothers mungkin masih berlanjut hingga podcast tersebut bubar karena Bobby akhirnya terlalu sibuk jadi host acara mancing. Tapi sebelum hal itu terjadi, gue mau shout out to BKR Brothers and all content creators that keep creating, karena ada orang-orang yang menemukan rumah di dalam karya-karya kalian.

Follow Kultur Ekstensif on:
Instagram | Spotify

--

--