Gadis Cilik di Jendela; Sebuah Refleksi Participatory Design

Amanda Manggiasih Paramita Chalid
Labtek Indie
Published in
7 min readMay 3, 2024

Apakah kamu pernah mendengar tentang Totto-chan?

Bukan, ini tidak ada hubungannya dengan Totoro ya, apalagi dengan lagu “Africa”.

Totto-chan adalah seorang gadis kecil yang hidup di Jepang dan menceritakan kesehariannya di sekolah di masa Perang Dunia II. Tenang, penceritaan kisahnya tidak se-depresif Grave of the Fireflies, jangan trauma ya, hey, kamu yang mungkin pernah “kejebak” (atau ketipu?) nonton Grave of the Fireflies, hehe.

Totto-chan populer sebagai sebuah buku autobiographical memoir yang sudah terbit sejak tahun 1981 di Jepang, yang laun mulai menyebar berbagai versi bahasa translasinya, termasuk versi Bahasa Indonesia. Pengarangnya (dan tokoh utama dalam buku) bernama Tetsuko Kuroyanagi dan bukunya memiliki judul resmi “Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela”. Saya tau, membaca judulnya, dengan terpaan film-film semacam “Sadako” dan “Ju-On” mungkin yang terlintas dalam pikiranmu adalah kilasan-kilasan horror, apalagi kalau di jaman sekolah, bacaanmu adalah antologi “Cerita Hantu di Sekolah” terbitan Gramedia era 90an yang sungguh populer!

Saya suka sekali dan mengoleksi buku-buku ini semasa saya SD. Ibu saya semangat kalau membelikan saya buku yang minim gambar. Ceritanya horror, tapi asyik sekali. Mayoritas kisah-kisah di sekolah Jepang.

Terlepas dari sangkaan-sangkaannya, saya sendiri tertarik membeli dan membaca buku Totto-chan di tahun 2007 silam karena dua hal; Satu, karena gambar covernya lucu dan bagus, sangat “bersahabat”. Dua, karena setelah dilihat isinya, huruf tulisannya besar-besar dan setiap babak dalam bukunya singkat-singkat. Saat membuka lembaran buku ini untuk menimbang beli-tidaknya saja, saya cukup kaget karena babak satunya hanya 3 halaman, 2 lembar, haha! Judulnya pun sangat menarik: “Stasiun Kereta” yang menceritakan betapa Totto-chan kecil sangat mengagumi karcis kereta sampai-sampai bercita-cita ingin jadi kondektur kereta karena mengumpulkan karcis kereta semua orang! Ya Tuhan, betapa lucu, sederhana, dan benar! Saya jadi ingat ada masanya di masa kecil, saya mengumpulkan dan menyimpan (untuk kemudian dimainkan) dengan apik, karcis kereta api! Sesaat itu juga saya di tahun 2007 langsung memutuskan untuk “Beli!”

Bentuknya kurang lebih seperti ini, karcis kereta api yang saya kumpulkan, simpan, dan mainkan sewaktu saya kecil. Dulu warnanya biru yang saya punya. Ukurannya kecil, bisa masuk dompet mainan yang diberikan Ibu untuk saya, hadiah dari toko Mas (Emas), yang tentu di depan dompet resleting kecil berwarna biru dongker tersebut ada logo dan nama toko Mas-nya. “Toko Mas TAN” tulisannya.

Saya tidak akan mengulas isi dari Buku Totto-chan secara lengkap, karena terlalu asik untuk tidak dibaca sendiri, haha! Saya ingin membagikan kesan-kesan dan pelajaran yang ternyata tanpa sadar sangat melekat dan membentuk pola pikir saya kini, mempengaruhi berbagai aksi, reaksi, dan perilaku. Saya ingin banyak orang membaca buku ini, terutama yang menaruh minat pada dunia anak, kreativitas, dan dunia pendidikan. Atau bahkan calon atau yang bercita-cita jadi orang tua. Totto-chan berhasil membawa saya memahami (kembali) jalan pikir anak-anak yang sederhana dan indah, di saat saya terbuai menjadi orang yang (secara usia, pada waktu itu) sudah dianggap dewasa, tapi jenuh dan bosan.

Hal-hal menarik yang saya maknai dari Totto-chan

Sesuatu dari Gunung dan Sesuatu dari Laut

Cerita Totto-chan sebetulnya banyak pada kekagumannya terhadap sesosok kepala sekolah, Sosaku Kobayashi, dan sekolahnya Tomoe Gakuen, yang dalam pandangan Totto-chan berhasil menghadirkan sekolah yang SERU! Sorang dewasa yang bisa menghayati peran, perilaku dan sudut pandang anak-anak secara natural. Salah satu ciri kebijaksanaan Sang Kepala Sekolah dalam menghayati pendidikan yang sesungguhnya tampak pada aturan-aturan yang Ia buat dengan sangat sederhana, mudah dipahami, tapi maknanya sungguh mendalam. Contohnya, Pak Kobayashi menetapkan aturan bahwa setiap siswa di Tomoe Gakuen harus membawa bekal makan siang “sesuatu dari laut, dan sesuatu dari gunung”. Terjemahan dari aturan ini sangat mudah dipahami oleh anak maupun orang tua murid, padahal maknanya mendalam, menyoal nutrisi dan keberagaman menu makanan anak-anak dalam masa pertumbuhan.

Kegagalan dan Usaha Keras

Pernah mendengar istilah “GRIT”? GRIT adalah istilah yang dipopulerkan oleh seorang psikolog Amerika Serikat, Angela Duckworth dalam bukunya. GRIT adalah personality trait yang mendemonstrasikan kombinasi “passion” atau dorongan minat dan kegigihan. Dalam bukunya, Duckworth membedah bagaimana jika ditelaah dan dikupas, rahasia sukses para pemimpin hebat dunia adalah “sifat” GRIT tersebut. Orang-orang yang memiliki GRIT adalah mereka yang tidak hanya memiliki dorongan minat tinggi (passion) dan pekerja keras, tapi mereka yang gigih. Terkadang terlihat keras kepala, tapi yang membedakan adalah kegigihan ini disertai oleh kepercayaan tinggi terhadap visi cita-cita, kerendahan hati, dan etos kerja yang tinggi. Pertanyaannya, “Bagaimana caranya menumbuhkan GRIT pada diri seseorang?”. Penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki GRIT, mayoritas adalah mereka yang pernah “susah”, pernah “gagal parah”, tapi entah bagaimana masih tetap semangat dan punya cara unik dan positif memaknai realita. Mereka-mereka yang dianugerahi bakat “mudah bersyukur” dan pekerja keras. Para mentor dan orang tua ingin anak-anaknya memiliki personaliti GRIT tersebut, tapi apakah artinya si anak perlu dibuat “susah dulu” secara sengaja? Dari Pak Kobayashi saya belajar untuk tidak jadi ekstrimis harus mendidik dengan menyusahkan anak. Lewat penceritaan Totto-chan, saya percaya Pak Kobayashi mendemonstrasikan cara menumbuhkan GRIT pada anak secara natural, secara jenerik (tidak melebih-lebihkan dan mengada-ada, se-apa-adanya dan se-alamiahnya), dengan cara: memfasilitasi anak-anak bergumul dan melewati kesulitannya sendiri dengan alami.

Memfasilitasi dalam artian memberikan ruang seimbang antara keamanan dan ketidaknyamanan.

Memberikan ruang bagi si anak dalam pengamatan yang berjarak, “membiarkan” si anak untuk merasa merdeka menentukan keputusannya sendiri (independency) dan menerima konsekuensi logis dari setiap keputusannya.

Yasuaki-chan

Contoh-contoh peristiwa bagaimana Pak Kobayashi membersamai proses tumbuh anak-anak Tomoe Gakuen untuk bisa memiliki karakternya masing-masing tersebar di tiap-tiap babak penceritaan Totto-chan. Dan salah satu tokoh yang tidak kalah kunci, dalam buku Totto-chan adalah Yasuaki-chan. Dalam satu babak, Totto-chan yang cenderung menyederhanakan berbagai hal, berusaha membantu Yasuaki-chan, kawan sekelasnya yang memiliki keterbatasan fisik untuk bisa memanjat pohon. Di sana Totto-chan dihadapkan dengan kenyataan bahwa rancangan solusinya ternyata tidak se-ideal dan semudah itu berhasil. Tapi dikalahkan oleh tekad kuat dan keinginan berbagi pengalaman dengan Yasuaki membuatnya pantang menyerah. Juga pada saat Totto-chan harus “membongkar-pasang” tempat penampungan kotoran manusia. Babak ini sungguh lucu menggelitik.

Sebuah contoh penerapan “Participatory Design”

Participatory Design adalah proses perancangan solusi yang melibatkan tidak hanya priyayi akademisi dan industri, tapi justru menitikberatkan pada pelibatan si pemilik masalah. Dilakukan bersama-sama, collaborative design. Melibatkan “si pemilik masalah” dalam tahap yang hakiki ya, bukan hanya untuk mencentang sebuah checklist dari outcome sebuah project, tapi didengarkan dan disimak betul setiap pendapat para partisipan. Untuk kita bisa menerapkan Participatory Design yang bukan abal-abal, diperlukan kesabaran, pemahaman, dan kelegaan hati yang luar biasa. Bagaimana tidak, kadang pemilik design perlu legowo membiarkan konsepnya di-bongkar-pasang, dipertanyakan, dan mungkin akan berevolusi menjadi gagasan yang sama sekali baru (bisa karena realita yang ditemui di lapangan maupun oleh intervensi si pemilik masalah). Singkatnya, perlu bisa jadi Pak Kobayashi, yang saking cintanya dengan dunia anak, demi anak-anak, ia merelakan diri untuk selalu mengkalibrasi ulang pemahaman dan perspektifnya dalam memandang realita (termasuk tidak mudah menghakimi apa yang benar dan salah). Memperagakan proses Participatory Design dan collaborative design harus dimulai dengan kesadaran bahwa dalam mencari solusi bersama, dalam men-design, ada proses saling bertukar “kuasa”. I do something for you, you do something for me. Everyone brings something to the table, everyone is contributing. Every participant matters. Melakukan proses Participatory Design berarti siap dengan konsekuensi bahwa simpulan atau solusi yang dihasilkan harus bermanfaat bagi semua yang terlibat dan terdampak. Semua. Kalau meminjam tagline DILANS (sebuah lembaga swadaya masyarakat yang concern dengan disabilitas dan lansia di Bandung), “No one left behind”. Job-desc-nya designer adalah: “Think, Interrogate, Enquire, Do, Think Again”. Tidak bisa berhenti. Berpikir, pertanyakan, simpulkan, terapkan, kemudian pikir lagi, pertanyakan lagi, simpulkan lagi, terapkan lagi, dan pikir lagi. Terus begitu. Badan dan fisik ada limitasinya, tapi gagasan tidak. Ideas are bulletproof. Itu sebabnya saya tidak terlalu percaya pada “penokohan”, sosok tokoh yang melejit bagus amat. Tokohnya kurang penting, yang penting adalah gagasan, teladan perilaku, dan manfaat atau dampak yang dilahirkannya, tanpa melebih-lebihkan peran “aku”-nya. Lagi-lagi seperti Pak Kobayashi, atau Yasuaki-chan.

Yang penting proses, hasil, manfaat, dan keberlanjutannya, bukan orang-nya.

Bentuk Participatory Design

Kalau merujuk pada paragraf di atas, bentuk Participatory Design itu sangat beragam, bisa cakupannya sangat luas seperti merancang sistem politik, merancang kawasan, merancang gedung, sampai ke cakupan sangat sederhana sekalipun, merancang aturan rumah dalam keluarga. Participatory Parenting mungkin.

Keuntungan dari penerapan Participatory Design adalah peserta/partisipan (semua yang terlibat dalam proses) akan memahami tujuan dari kesepakatan-kesepakatan/rancangan/solusi yang dihasilkan, maka akan punya cukup motivasi untuk menyukseskan.

Semua partisipan yang merasa terlibat secara alami akan berbagi rasa kepemilikan. Rasa kepemilikan bersama akan meningkatkan ketertiban dalam melanggengkan sebuah solusi/sistem. Jadi tidak perlu lagi pemerintah. Pemerintah dalam definisi si tukang-perintah-perintah ya. Tentu threshold besaran skala keberhasilan Participatory Design ini akan berbeda-beda di setiap kasus. Saya tidak tau, tapi saya tertarik sekali melakukan eksperimen dan pengujian-pengujian. Memikirkannya saja, rasanya girang seperti saat saya kecil dihadapkan pada karcis-karcis kereta api jadul yang bisa saya simpan-kumpul-mainkan lengkap dengan dompet “Toko Mas TAN”-nya.

Wah, jadi kemana-mana ya, jadi simpulannya apa saja yang didapat dari Totto-chan?

Lewat kesederhanaannya, Totto-chan mengajarkan saya banyak hal. Banyak sekali. Lewat tokoh-tokoh dalam kesehariannya,

Totto-chan mengajarkan saya bahwa hidup yang “hebat” itu tidak harus selalu “besar” atau berlebih-lebihan. Jadilah “cukup”. Karena dampak besar ternyata diperoleh dari teladan yang sederhana tapi konsisten.

Bahwa “paham” jauh lebih bermakna dari hanya sekedar “tau”, dan orang-orang yang paham cenderung sederhana dalam segala-galanya; dalam berbicara, bersikap, maupun mencontohkan. Mereka dengan pemahaman dalamlah yang paling jago menyederhanakan persoalan pelik. Dan manusia paling keewlll (cool, keren) adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Siapapun itu manusianya, apakah dia warga RT, adik asuhmu, tetanggamu, keponakanmu, anak/adik didikmu, atau anakmu sendiri. Tidak perlu “besar” untuk jadi bermanfaat, tapi Totto-chan mengajarkan saya untuk jadi bermanfaat melalui proses mengenal, menyederhanakan, dan menjadi diri sendiri.

--

--