Hal yang Membuat Produk Mudah Digunakan

Adityo Pratomo
Labtek Indie
Published in
4 min readNov 9, 2020
Photo by Adam Grabek on Unsplash

“Saya ingin produk ini mudah untuk digunakan para user kita”

Angkat tanganmu kalau kamu pernah mendengar kalimat tersebut. Atau mungkin kamu pernah mendengar variasi lain seperti

“Kelebihan produk yang kita buat ini, adalah kemudahan penggunaannya. User kita tidak perlu menggunakan waktu lebih lama untuk…”

Setiap mendengar kalimat tersebut, hati saya selalu berdebar, karena untuk mencapai fase mudah, bukanlah pekerjaan yang selalu straightforward. Mudah, bukanlah hal yang sederhana untuk didefinisikan, lebih-lebih lagi jika harus diterjemahkan ke dalam bentuk produk. Betul, ada acuan seperti jumlah klik ataupun durasi untuk melakukan sebuah task, tapi rasanya, ada hal-hal yang lebih fundamental lagi yang perlu dijawab.

Untuk mengatasi hal tersebut, dan belajar dari pengalaman pribadi, ada beberapa poin yang menurut saya mampu membuat produk mudah untuk digunakan. Semoga ini bisa menolong teman-teman pembaca saat menghadapi dilema serupa.

1. Kesesuaian produk dengan mental model pengguna

mental model yang klop dengan produk

Kemudahan, secara fundamental, perlu bisa disasar, saat produk pun belum dibuat. Bisa dibilang, poin ini adalah fondasi yang bagus untuk diteruskan di poin-poin selanjutnya. Mental model secara singkat, adalah bayangan di kepala seseorang, tentang cara kerja sebuah produk. Menariknya, mental model ini sudah ada bahkan sebelum seorang pengguna menggunakan sebuah produk. Ini dikarenakan, pengguna sudah memiliki asumsi dasar, berdasarkan pengalamannya sebelum ini. Apabila produk yang kita buat bisa selaras (tidak perlu sama 100%, apalagi jika kita ingin berinovasi) dengan mental model pengguna, maka bisa dikatakan, produk kita sudah punya awal yang bagus. Untuk bisa memetakan mental model ini, metode seperti customer journey map, akan sangat membantu, karena kita bisa melihat, langkah-langkah yang biasa ditempuh oleh seorang pengguna, saat ia akan melakukan sebuah task dalam rangka mencapai sebuah tujuan.

2. Kesesuaian produk dengan konteks penggunaan

Penggunaan sebuah produk akan dilakukan di tempat, waktu dan kondisi sekeliling tertentu. Dengan mempertimbangkan ketiga faktor ini, maka kita bisa lebih menjamin produk akan mudah untuk digunakan, karena pengguna tidak perlu banyak menyesuaikan dirinya dengan sekeliling, hanya untuk menggunakan sebuah fitur. Sebagai contoh, aplikasi ojek online bisa digunakan hanya dengan 1 jari dan 1 tangan. Tentu ini akan berguna bagi mereka yang harus menggunakan aplikasi tersebut di kondisi ekstrim seperti dalam kereta ataupun di pinggir jalan yang ramai. Sebaliknya, aplikasi mobile banking selalu meminta autentikasi sebelum penggunaan. Meskipun menambah langkah, namun karena konteksnya adalah keamanan, hal ini jadi trade off yang bisa diterima, atas dasar keamanan.

3. Ruang untuk belajar

Bayangkan saat pertama kali produkmu digunakan, tentu pengguna perlu menggunakan waktunya untuk mempelajari bagaimana cara menggunakan produk tersebut demi mencapai tujuannya. Di titik ini, kita perlu bisa memberikan ruang untuk belajar, memberikan pilihan untuk dipandu sehingga task pertama yang ingin dia lakukan, bisa berlangsung dengan sukses. Di fase ini, strategi dalam menyusun aspek UI akan sangat membantu. Apa saja yang bisa dilihat oleh seorang pengguna, adakah hal-hal yang akan mendorong dia untuk mencoba, dan balasan apakah yang akan mendorong dia untuk berinteraksi terus, sampai tujuannya terpenuhi.

4. Ruang untuk mengingat kembali produk setelah lama tidak digunakan

Akan tiba masa di mana seorang pengguna akan berhenti menggunakan produkmu untuk sementara. Pertanyaannya, saat ia kembali lagi, apakah ia masih bisa mengingat cara menggunakannya? Apakah kita bisa membantu dia produktif di produk kita, setelah ia absen untuk beberapa waktu? Pengalaman saya menggunakan Photoshop beberapa bulan lalu adalah sesuatu hal yang mengingatkan saya untuk tidak menggunakan aplikasi tersebut dalam waktu dekat. Setelah lama tidak menggunakan Photoshop, kembali ke aplikasi ini ternyata cukup menyakitkan. Hal-hal yang biasa saya lakukan di versi sebelumnya, jadi sulit untuk bisa dieksekusi dengan cepat. Rasanya Photoshop benar-benar mengakomodir pengguna baru, namun agak galak terhadap pengguna lama :(

5. Ruang untuk mengakomodir kesalahan

Error, atau kesalahan, adalah sesuatu yang pasti akan terjadi di produk kita, baik dikarenakan kesalahan pengguna, maupun disebabkan oleh sistem sendiri. Namun, seringkali, kesalahan ini tidak bisa dikomunikasikan dengan baik ke pengguna, hingga ia pun merasa frustrasi. Oleh karena itu, kita perlu bisa mengakomodir kesalahan yang terjadi, beri peluang bagi pengguna untuk membatalkan (undo) hal yang ia lakukan, sehingga kesalahan tidak bisa langsung memberikan dampak kepadanya. Jika ada pilihan, terangkan konsekuensi dari setiap pilihan, dan konfirmasikan ulang, untuk mencegah kesalahan terjadi. Sistem yang lebih ramah seperti ini, akan terasa kooperatif di mata pengguna, sehingga akhirnya kemudahan bisa lahir.

6. Feedback yang jelas

Hal terakhir yang bisa menolong melahirkan produk yang mudah digunakan adalah feedback yang jelas. Saat seorang pengguna melakukan sebuah hal, berikan feedback visual secara jelas, sehingga ia bisa menganalisa akibat dari aksi yang ia lakukan. Ini akan membantu dia dalam mengulas apa yang ia dapatkan setelah melakukan sebuah task. Dari situ, ia bisa belajar, tanpa perlu menebak-nebak, karena produk sudah menuntun dengan ramah.

Dengan demikian, itulah 6 hal yang bisa membantu dalam merancang produk agar mudah digunakan. Tentu ini bukanlah hal yang ditulis sebagai standar, tapi saya yakin, ia cukup bisa untuk dijadikan acuan saat teman-teman akan merancang produk baru, ataupun meningkatkan kemudahan penggunaan produk yang sudah ada.

Selamat merancang!

--

--

Adityo Pratomo
Labtek Indie

Currently working as product manager for cloud infra product. Cyclist + Gamer + Metalhead. Also, proud dad and husband.