Refleksi Roda Ekonomi dan Koperasi Sekolah

Amanda Manggiasih Paramita Chalid
Labtek Indie
Published in
5 min readNov 26, 2023

Semasa sekolah, sejauh ingatan, saya sempat mengalami tiga bentuk koperasi sekolah. Sewaktu SD, SMP, dan SMA. Saat SD, ruangan koperasi sekolah saya berada di dekat kantin dan menjual aneka kebutuhan pembelajaran dan aksesoris sekolah. Biasanya saya ke koperasi kalau perlu membeli batik sekolah, bahan rok, dasi, topi, dan juga kebutuhan untuk pembelajaran seperti disket (iya disket, haha), jangka, busur derajat, buku tulis, pensil dan pena, penggaris, manik-manik, dan lain sebagainya. Tapi diluar itu, saya juga ingat mereka menjual aneka bahan pangan, di rak yang lain dan terpisah, dengan jumlah yang tidak banyak, tidak seperti di warung. Tapi yang paling saya ingat mereka menjual jelly kelapa, kesukaan saya. Waktu itu tidak paham kenapa ada juga minyak dan bahan-bahan makanan lainnya dijual di koperasi sekolah. Saya juga ingat ruangan koperasi sekolah di SD saya jarang rapi. Hmm..rapi sih, tapi tidak rapi estetik seperti di ilustrasi-ilustrasi buku pelajaran wawasan lingkungan pada masa itu. Selalu saja ada tumpukan-tumpukan barang dan tidak jarang berdebu, walau mereka hanya berada di sudut-sudut atau tepi-tepi ruangan. Ingatan kedua adalah koperasi sekolah di gedung SMP. Letaknya sama-sama di sebelah kantin sekolah, tapi saya lebih jarang lagi mengunjungi koperasi di jenjang pendidikan ini. Saat pindah sekolah ke jenjang SMA, koperasinya punya nuansa yang sedikit berbeda. Letaknya dekat dengan Mushola, dan justru yang dominan dijual adalah jajanan panganan; dari mulai risol, lemper, bolu kukus, juga makanan kemasan kecil-kecil. Mungkin hal ini menyesuaikan kebutuhan siswa-siswa dalam masa pertumbuhan-yang-laper-terus-jadi-di-tengah-pelajaran-bisa-curi-curi-nyemil. Ingat juga saya akan buku-buku folio hard-cover yang sering dibawa dan ditekuni Ibu, karena ada masanya Ibu berperan menjadi bendahara koperasi di kantornya. Saya ingat bersama buku yang sering ditekuni dan ditulisi Ibu, ada juga penggaris, kalkulator, dan raut wajah kusut di wajahnya, hehe.

Menahun kemudian, bahkan saat ingatan-ingatan tersebut hampir masuk ruang archive di otak saya, dalam perjumpaan nasib, saya kembali berjumpa dengan “koperasi” sebagai sebuah konsep sistem ekonomi. Saat itu tahun 2013, saya sudah selesai kuliah, dan sedang mencari-tau sistem kepemilikan (dan pembagian keuntungan) apa yang terbaik untuk menaungi para pelaku ekonomi dalam bidang transportasi di Bandung. Gojek belum ada, jalanan di Bandung sering macet, transportasi massal yang mudah diakses tidak bisa diandalkan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, cukup painful jika ingin bepergian terutama bagi yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Lewat sebuah project eksperimen sosial, Angkot Day, kami di Riset Indie menemukan bahwa Angkot (moda transportasi massal yang paling mudah diakses pada masa itu walau sulit diandalkan) ternyata memiliki sistem kerja dan kepemilikan yang sangat kompleks. Hampir mustahil merombaknya jika tanpa bantuan kekuatan yang punya otoritas lebih. Saat-saat inilah saya bertemu kembali dengan koperasi sebagai sebuah konsep dan sebuah harapan.

Konsep Model Bisnis Pasca Angkot Day

Dampak Teknologi Pada Sistem Ekonomi

Sisi positif dari kemajuan teknologi informasi adalah terbukanya informasi-informasi dengan cepat dan luar biasa mudah diakses siapa saja. Terlepas dari pihak mana saja yang diuntungkan tren ini (dan juga kerugian yang datang bersamanya), beberapa keuntungan yang kemudian melahirkan gerakan baru dalam “bertransaksi” adalah soal transparansi informasi dan kemudahan membagikan informasi. Jika tren sistem ekonomi yang berlaku di dekade-dekade lalu adalah Kapitalisme yang me-materilkan segala bentuk transaksi dan motivasi, maka kemajuan teknologi komunikasi membawa tren baru yaitu sharing economy. Sharing Economy bukan antitesis langsung dari Kapitalisme. Apa yang ditangkap dan disarikan dalam Sharing Economy adalah gejala-gejala dan reaksi dari akibat yang ditimbulkan sistem Kapitalisme di masa-masa sebelumnya. Termasuk reaksi dampak jenuh dan dampak buruk yang ditimbulkan Kapitalisme. Kemajuan teknologi informasi lah yang memfasilitasi lahirnya tren Sharing Economy. Tren Sharing Economy juga lahir bersama kesadaran tentang dampak lingkungan yang merusak bumi seperti sampah, kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan lain sebagainya. Contoh praktek Sharing Economy diantaranya adalah memperpanjang usia terpakainya sebuah barang (kemasan sekali pakai, barang-barang “lungsuran” yang masih layak guna, jasa penyewaan berbagai barang) dan produksi konten hiburan maupun informasi yang bisa dikonsumsi hampir tanpa biaya. Lebih lanjut tentang ini bisa disimak lebih lengkapnya di sesi kuliah Jeremy Rifkin di youtube Vice.

source: Vice Youtube

Gagasan yang juga menarik dibawa Who Owns the Future oleh Jaron Lanier dan Hacker Manifesto oleh McKenzie Wark yang, terima kasih internet dan kemajuan teknologi, bisa kita dapatkan dan cerna. Lanier dalam bukunya menerangkan pihak-pihak siapa saja yang diuntungkan dari sistem yang memampukan informasi didapatkan secara “gratis”, dan apa dampaknya bagi kita, si “penerima manfaat”, juga teorinya yang mungkin bisa membantu kita terhindar dari dampak buruk yang mungkin bisa terjadi. Wark, dalam manifesto-nya mengenalkan dua kelas sosial baru di era teknologi ini: Hacker dan Vectoralist. Hacker adalah orang-orang yang “ngulik” bagaimana teknologi bisa membawa manfaat dan dampak baik bagi orang banyak, dan Vectoralist adalah mereka yang membuat sistem-sistem yang sudah dikembangkan tersebut menjadi sebuah bisnis yang menghasilkan kapital bagi mereka. Jadi, kemajuan teknologi ini melahirkan dampak dua sisi koin. Sambil kita terus mencari-tau dan menyadari satu sisinya, tak ada salahnya kita juga berjuang memupuk tumbuh harapan pada dampak baik yang bisa lahir di sisi koin lainnya; tren baru ini membawa konsep “Koperasi” yang mungkin di tahun 2013 terasa jauh dari realisasi, sekarang seperti mendekat. Teknologi bisa memudahkan dan memfasilitasi proses transparansi, dan memudahkan transaksi ekonomi sebagai faktor yang wajib ada dalam sebuah koperasi agar mereka lestari.

Koperasi dan Demokrasi Ekonomi

Koperasi di Indonesia punya sejarah yang panjang dan hampir tidak bisa dipisahkan dari tokoh luar biasa yang sederhana, berdedikasi, dan berintegritas lewat teladan perilakunya, Bung Hatta (Mohammad Hatta). Banyak cerita tentang Bung Hatta yang membawa kagum dan haru bisa ditemukan dengan mudah. Salah satunya dalam tulisan di situs Good News From Indonesia ini. Bung Hatta yang dalam surat wasiatnya dengan tegas meminta untuk tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata, tetapi ingin dikuburkan bersama rakyat yang “nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya”. Membaca tulisan tangannya sungguh menggerakkan hati nurani.

Bung Hatta yang belajar soal ilmu dagang (Ekonomi) dan praktek koperasi di masa perjuangan merasa prinsip-prinsip koperasi sungguh cocok dengan sistem sosial asli dan karakteristik budaya orang-orang Indonesia yang “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, semangat kolektivisme. Untung diusahakan bersama, rugi ditanggung bersama. Bung Hatta mengatakan,

“Koperasi akan mendidik semangat percaya pada kekuatan sendiri (self-help). Setidaknya, semangat self-help ini dibutuhkan untuk memberantas penyakit “inferiority complex” warisan kolonialisme.”

Ada 7 prinsip operasional koperasi Indonesia secara internal dan eksternal yang dikembangkan Bung Hatta, yaitu:

  1. Keanggotaan sukarela dan terbuka
  2. Pengendalian oleh anggota secara demokratis
  3. Partisipasi ekonomis anggota
  4. Otonomi kebebasan
  5. Pendidikan
  6. Pelatihan dan informasi
  7. Kerjasama antar operasi serta kepedulian terhadap komunitas

Pada prakteknya, akan ada banyak hal yang bisa dan perlu disesuaikan. Dengan perkembangan jaman dan kebutuhan serta tantangannya, juga dengan perkembangan teknologi yang bisa mempermudah prinsip-prinsip koperasi terealisasi (mungkin sistem block-chain untuk transparansi? Jika tidak overkill). Sudah ada contoh-contoh berhasil bagaimana sistem ekonomi koperasi (cooperation) ini membebaskan dan sungguh menyejahterakan anggotanya. Tapi memang praktek koperasi ini, karena sangat menyesuaikan latar belakang budaya anggota dan geografis anggotanya, pasti akan sangat beragam. Uniknya, sistem yang terdengar sederhana dan sangat “user-centered” pada prakteknya tidak sekedar, bahkan kadang jauh dari sederhana. Tapi saya rasa kita bisa mulai menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Meminjam lirik Barisan Nisan dari Homicide,

“Kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan, pada ruang ketidak-mungkinan, sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satu pun sudut kemungkinan untuk berkata ‘Tidak mungkin’.”

--

--