Masa Depan Bekerja

Amanda Manggiasih Paramita Chalid
Labtek Indie
Published in
7 min readNov 24, 2021

Perihal “Bekerja”

Semasa kuliah, saya pernah membaca sebuah artikel wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh sebuah majalah dewasa franchise, edisi pertama versi Indonesia. Ya, pada masa itu terasa kontroversial sekali, saya ingat covernya ditimpa filter warna merah dengan opasitas rendah, modelnya seorang artis perempuan cantik yang juga sempat kontroversi pada masanya. Bukan, bukan kontroversi video, if you might ask. Back to my point. Pada masa itu, sebagai seorang mahasiswa komunikasi tingkat awal, saya terobsesi dengan tulisan dan wawancara yang berkualitas, juga dengan penulis-penulis hebat. Iming-iming judul “Wawancara Pramoedya Ananta Toer” membuat saya kontan termotivasi untuk meminjam majalah tersebut pada teman se-kost (membeli majalah dewasa premium dan mahal pula, bukan opsi buat saya). Selepas membaca artikel dan ulasan wawancara tersebut, saya merasakan sebuah semangat menyala dalam diri saya. Sedemikian tergeraknya, saya sampai membuat fotokopi dari artikel wawancara tersebut untuk saya selipkan di binder catatan kuliah saya. Perihal apa dari wawancara tersebut yang sebegitu menggerakkan saya? Diantaranya perihal bekerja dan produktivitas. Ya, soal kerja. Melihat definisi “bekerja” dari sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, dan bagaimana wawancara itu di framing dan dituliskan oleh Soleh Solihun dan Alfred Ginting. Segera setelah kalimat pembuka wawancara itu dituliskan sudah membuat saya terhipnotis,

“Kelahiran 6 Februari 1925 ini amat mengimani kerja. Menganggap kerja sebagai eksistensi abadi bagi manusia. Dan di hati Pramoedya Ananta Toer kerja adalah menulis. Maka menulislah ia. Dalam Rumah Kaca Pram pernah mencatat, ‘…gairah kerja adalah pertanda daya hidup; selama orang tak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut…’”

I was like.. “whaaaaaaatt…

detik itu pula saya mulai bisa melihat semua hal yang saya lakukan sebagai “kerja”. Mengerjakan tugas kuliah yang pada masanya lebih terasa seperti beban dan tidak ada hubungannya dengan “hidup” saya, instan berubah makna menjadi kerja yang akan mendefinisikan siapa saya. Dari sinilah makna “bekerja” bagi saya menjadi kaya, esensial, namun juga sederhana di saat yang bersamaan.

Kerja /ker·ja / 1 n kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat); 2 n sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
Bekerja /be·ker·ja/ 1 v melakukan suatu pekerjaan (perbuatan); berbuat sesuatu.
— KBBI

Kerja: eksistensi abadi bagi manusia; pertanda daya hidup.
— Pramoedya Ananta Toer

Produktivitas dan Kelas Menengah

Ada yang menarik dari cara Pak Pram memaknai produktivitas (dan perempuan, dalam wawancaranya. Ia mencontohkan dengan teladan Ibunya). Pak Pram ingin masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang produktif, yakni aktif “memproduksi” alih-alih hanya mengonsumsi. Dikutip, masih dari artikel wawancara yang sama,

“Saya mengharapkan wanita itu lebih maju daripada sekarang ini. Karena dia yang mendidik bangsa. Waktu saya masih kanak-kanak, ibu-ibu itu memproduksi. Ada yang membatik, ada yang nenun, bikin sabun segala macam. ..waktu saya kecil, ibu saya nenun, bikin batik segala macam, buat kecap, sabun, dijual. Jarang terjadi sekarang ini di rumah tangga. Sehingga jadi bangsa yang konsumtif, tidak produktif. Akibatnya melahirkan benua korupsi.”

Walau contoh yang diutarakan Pak Pram adalah memproduksi batik, sabun, dan kerajinan rumah tangga lain, dengan konteks masa kini, 15 tahun selepas wawancara tersebut terjadi, saya tidak bisa tidak meluaskan definisi “produksi” tadi dengan kelahiran produk-produk yang berkontribusi pada geliat dan esensi “bekerja” itu sendiri dengan relevansi masa kini. Jika bekerja dipandang sebagai apa-apa saja yang dikerjakan manusia untuk menunjukkan tanda daya hidupnya, saya pikir masyarakat kita saat ini cukup produktif dengan letupan-letupan ide produk digital, produk yang memanfaatkan teknologi untuk menyolusikan permasalahan sosial, atau bahkan hasil kreasi hiburan yang dikonsumsi lagi oleh masyarakat sehari-hari, dengan gratis.

Masyarakat Kelas Menengah

Masyarakat yang memproduksi memerlukan konsumen. Logikanya siklus produksi dan konsumsi ini yang akan menggerakkan arus, memiliki daya. Masyarakat ekonomi kelas menengah, atau middle class, sering digadang-gadang sebagai kunci sukses pergerakkan perekonomian negara. Yang berharga dari middle class ini, adalah kemampuan mereka untuk mengonsumsi. Tingkat konsumsi mereka yang tinggi akan mendorong dan melancarkan arus produksi. Jika kita tambahkan satu variabel “administrator” disana, katakanlah peran itu diambil negara, maka dampaknya, perekonomian negara pun ikut terdongkrak. Persoalannya, teknologi kini membuka peluang administrator selain “negara”. Pertanyaannya lantas, “Perekonomian mana sekarang yang ikut terdongkrak dengan pola konsumsi kita?” dan “Apakah dengan naiknya kapital ‘administrator’ lain tadi akan memberi balik manfaat pada kita?” Kita akan membahas pantikkan dari pertanyaan ini di lain tulisan ya, mari kita kembali membahas “masyarakat”.

Menilik data komposisi Masyarakat Indonesia, merujuk pada data World Bank yang dipublikasikan pada Januari 2020, penduduk Indonesia yang berjumlah 267 juta jiwa terbagi ke dalam lima kelas: Poor, Vulnerable, Aspiring Middle Class, Middle Class, dan Upper Class. Mari kita fokus pada kelas Aspiring Middle Class dan Middle Class.

Aspiring Middle Class, adalah kategori masyarakat yang sudah lolos dari kelompok miskin, tetapi belum bisa bertahan berada di atas garis kemiskinan atau bahkan masuk dalam kategori middle class. Jumlah populasi yang ada di kelas ini ada 115 juta jiwa, atau hampir separuh dari populasi Indonesia. Konsumsi masyarakat yang ada di kelas ini rata-rata Rp 2.000.000 — Rp 4.800.000 per bulan-nya.

Middle Class, adalah kategori masyarakat yang memiliki pendapatan di atas rata-rata. Hanya ada 20% dari masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori kelas ini. Konsumsi masyarakat yang ada di kelas ini kurang lebih Rp 15.000.000 per bulan.

Kita bisa lihat ada kesenjangan yang cukup jauh di sana. Tantangan pertama yang bisa kita identifikasi di titik ini adalah, jika memang benar pergerakkan perekonomian bertumpu pada middle clas, data menunjukkan, secara jumlah, masyarakat middle class Indonesia belum bisa diandalkan karena mayoritas masyarakat kita masih ada di tahap aspiring middle class. Bagaimana kita bisa meningkatkan produktivitas aspiring middle class sehingga daya konsumsi kelas ini ikut meningkat? Dengan teknologi yang semakin maju dan canggih, bisakah kita memanfaatkannya untuk menggenjot daya konsumsi masyarakat aspiring middle class? Apakah kemajuan teknologi malah akan menjadi faktor penghambat?

Bicara tentang masyarakat produktif, menilik dari jumlah penduduk berusia produktif, katakanlah generasi millennials di usia 20–39 tahun, dari sekitar 85.000 penduduk, sebagian besar hanya mengenyam pendidikan sampai lulus SMA, bekerja sebagai pekerja kasar atau low service job, dan data dari BPJS tahun 2017 mencatat pendapatan rata-rata millennials Indonesia hanya Rp 2.100.000 per bulan.

What most people think of Millennials

What people think of Millennials
Photo by Austin Distel on Unsplash

What most Indonesian millennials actually do

Photo by Afif Kusuma on Unsplash
Photo by Kseniia Ilinykh on Unsplash
Photo by Vanna Phon on Unsplash

Teknologi, Rupa Masa Depan, dan Keberlanjutan

Dalam bukunya, “Who Owns the Future?”, Jaron Lanier memberikan gambaran tentang tantangan masa depan dengan cerita mengenai lapangan pekerjaan dan teknologi:

“Pada masa kejayaannya, perusahaan bisnis fotografi Kodak mempekerjakan lebih dari 140,000 karyawan dan perusahaannya dinilai seharga 28 miliar dolar. Mereka kemudian menciptakan kamera digital pertama. Hari ini Kodak bangkrut, dan wajah digital fotografi kini adalah Instagram. Saat Instagram dibeli Facebook seharga satu miliar dolar di tahun 2012, pekerjanya hanya sejumlah 13 karyawan.

Kemana larinya peluang dan kesempatan kerja yang ada sebelumnya? Dan apa kabarnya kekayaan dan sumber daya yang tadinya diciptakan dan diserap kembali oleh masyarakat kelas menengah pada masanya?

Instagram tidak bernilai satu miliar dolar atas jasa 13 karyawannya. Alih-alih, nilai tersebut didapatkan dari lalu lintas informasi (network) jutaan penggunanya yang berkontribusi tanpa dibayar. Network memerlukan partisipasi dan kontribusi orang dengan jumlah yang sangat besar, untuk bisa bernilai dan dihargai dengan signifikan. Tetapi saat network meraih “nilai” tadi, hanya sebagian kecil orang yang mendapatkan keuntungannya. Ilustrasi ini adalah dampak dari sentralisasi kekayaan yang pada akhirnya akan berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (dan memperlebar kesenjangan).”

Ada tiga aspek dalam sustainability (keberlanjutan) yang saling berhubungan: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Memusatkan sumber daya tidak akan berkontribusi baik pada sustainability karena memiliki dampak buruk bagi pemerataan sosial. Perihalnya, kemajuan teknologi yang tadinya bebas nilai dan membuka banyak peluang yang baik dan memberdayakan (empowering) bagi siapapun, di saat yang sama ia juga membuka banyak peluang untuk meruncingkan ketimpangan dan kesenjangan.

Utopia and dystopia at the same time, side by side.

Maju ke depan, keadaan tidak akan lebih baik saat dialog dan kritik terhadap pola ini tidak mengemuka. Kita hanya akan hanyut saja dalam arusnya. Jika tidak ingin hanyut saja di masa depan, setidaknya ada empat kategori skillset, menurut World Economic Forum, yang harus kita miliki secara kolektif: Problem Solving, Self Management, Teamwork/Working with People, Technology Use & Development.

Sayangnya, tidak semua skillset ini bisa kita pelajari secara teoritis saja. Justru sebagian besarnya perlu didapatkan dari pengalaman langsung (experiential learning), dan tidak banyak pendidikan sekolah resmi, yang terjangkau, yang memfasilitasi kegiatan untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman tadi. Selain kemampuan, kita juga memerlukan alternatif dunia kerja baru yang menerapkan cara-cara dan pemahaman yang lebih relevan dengan tantangan masa depan.

--

--