Virtual reality

Elian Daiva
Labtek Indie
Published in
4 min readDec 19, 2017

Virtual reality (VR) bisa diterjemahkan secara bebas sebagai realitas virtual, suatu term teknologi yang baru baru ini sedang naik daun. Definisi umum dari VR adalah teknologi komputer yang mereplikasi suatu lingkungan dan mensimulasikan keberadaan fisik dari penggunanya sehingga pengguna dapat berinteraksi dengan linkungan tersebut. Secara artifisial, VR memberikan rangsangan sensory terhadap indera penglihatan, pendengaran, bau, dan perasa.

Seperti halnya konsep-konsep keilmuan lain, konsep VR dimulai secara naratif melalui cerita science-fiction Stanley G. Weinbaum: The Pygmalion Spectacles di tahun 1935. Dalam cerita tersebut, Profesor Albert Ludwig menciptakan sebuah kacamata yang dapat menampilkan film yang memberikan tidak hanya pengalaman audio dan visual, melainkan juga pengalaman indera perasa, bau, dan sentuhan; menempatkan penggunanya sebagai bagian dari alur cerita dan berinteraksi secara langsung dengan karakter dan objek di dalamnya.

The Pygmalion’s Spectacles by Stanley G. Weinbaum (image credit to: http://www.sffaudio.com/librivox-pygmalions-spectacles-by-stanley-g-weinbaum/)

Konsep saintifik VR sendiri kemudian dikembangkan di tahun 60an. Ivan Sutherland dalam artikelnya “Augmented Reality: The Ultimate Display“ di tahun 1965, mencetuskan ide bagaimana memperkaya kemampuan manusia dalam merasakan apa yang dia masukkan ke dalam komputer. Perlu diingat, komputer di tahun 1965 tidak lebih dari kumpulan baris perintah dengan layar minimal berupa dot matrix. Secara umum, Sutherland menginisiasi ide kinaesthetic display, sebuah ruang yang didalamnya seorang pengguna dengan bantuan komputer dapat mengontrol eksistensi dari suatu objek. Dalam artikel tersebut Sutherland memperluas input, output dan feedback fisikal dari proses menggambar pada komputer, yang ia cetuskan untuk melengkapi penemuannya terhadap Sketchpad di tahun 1963. Sutherland bersama dengan MIT Lincoln Lab kemudian merilis prototipe dari konsep head mounted display (HMD) di tahun 1968.

Prototipe HMD Ivan Sutherland dan MIT Lincoln Lab (image credit to universitat Pompeu Fabra, Barcelona, Spain. https://www.upf.edu/pdi/dcom/xavierberenguer/recursos/ima_dig/_1_/ig/hmdSutherland1968.jpg)

Ivan Sutherland telah menggugah ilmuwan dan engineer di bidang computer graphics untuk mendalami lebih jauh konsep VR ini. Myron Krueger dan Jaron Lanier adalah salah dua ilmuwan yang melanjutkan ide Sutherland untuk mengeksplorasi konsep dan implementasi VR modern yang kita kenal saat ini. Jaron Lanier mengembangkan VR melalui perusahaan miliknya, VPL Research. Prototipe mereka, Eyephones, dirilis pada expo Telecommunications Show San Francisco tahun 1989. Dinilai sukses secara konsep, Eyephones tidak dapat masuk ke pasaran mengingat harganya yang cukup mahal dan teknologi grafis komputer 1980, hanya memungkinkan produksi gambar 6 frame per sekon; berdampak pada ketidak nyamanan pengguna saat mengenakannya.

Adalah Palmer Luckey, seorang mahasiswa California State University, yang mulai mempopulerkan sistem HMD VR yang terjangkau dan kompatibel dengan sistem komputer pada umumnya. Dikenal sebagai “ahli ngoprek”, Palmer membuat sendiri prototipe HMD yang dinamai CR1 di garasinya saat ia berumur 18 tahun (tahun 2011). Di tahun 2013, Palmer memulai kampanye pembuatan kit VR di Kickstarter untuk mendanai pengembangan HMD VR miliknya, Oculus Rift. Oculus Rift mendapatkan banyak dukungan baik dari para VR enthusiast maupun perusahaan game, dan berhasil mengumpulkan hingga 10 juta dollar di Kickstarter. Palmer memulai pembuatan dan memasarkan Oculus Rift Development Kit 1 dan Development Kit 2.

Palmer’s First Prototype of Oculus (Image Credit to: https://arstechnica.com/gaming/2012/09/virtual-realitys-time-to-shine-hands-on-with-the-oculus-rift/)

Melalui Oculus Rift, teknologi dan implementasi VR mencapai akselerasi yang signifikan. Tak ingin ketinggalan, beberapa perusahaan lain juga mencoba mengembangkan teknologi VR, diantaranya adalah Google melalui Google Cardboard, Sony melalui Project Morpheus, Valve dan HTC melalui Steam VR serta puluhan perusahaan lain.

Platform pengembangan game seperti Unity dan Unreal kini telah mengembangkan software development kit (SDK) yang dapat memudahkan para penggiat dunia kreatif untuk berkarya dalam teknologi virtual reality. Kini untuk membuat sebuah pengalaman virtual reality, dapat dilakukan “semudah mengubah point of view (POV)” pada sebuah scene tiga dimensi.

It’s Strange: A meditative VR experience by Labtek Indie. image credit: personal documentation of Elian Daiva

Tak ingin ketinggalan dengan hype teknologi ini, Labtek Indie melakukan research mengenai VR di tahun 2015 melalui It’s Strange, sebuah perjalanan meditasi alam fantasi melalui virtual reality. Its Strange akan membawa pemain untuk meninggalkan sejenak dunia yang fana untuk memerankan sosok makhluk imaginer setengah pohon-setengah alien, menyusuri empat lanskap alam fantasi bergaya Pan’s Labirynth. Diiringi musik latar yang quirky, pemain dapat dengan bebas menikmati pemandangan yang dilaluinya seakan-akan berada dalam dunia fantasi tersebut, berinteraksi dengan objek-objek yang tampak dengan tangannya atau sekadar mengagumi butiran-butiran sel yang mengalir di pembuluh tangan kanan hingga tak sadarkan diri!

It’s Strange dikembangan dengan Unity 3D, yang telah menyediakan SDK untuk HMD Oculus Rift DK2 dan Leap Motion. Secara umum, Oculus Rift akan memberikan hasil render lingkungan artifisial yang dibuat ke dalam 2 layar stereoskopik miliknya. Selain itu, Oculus juga mengambil orientasi kepala pengguna untuk kemudian menentukan posisi serta gerak kepala pengguna, memberikan hasil visual yang sesuai dengan arah kepala penggunanya. Leap Motion sendiri adalah teknologi yang terpisah dari Oculus, mendeteksi kerangka, posisi, dan gesture dari tangan penggunanya dengan teknologi kamera infra merah. Ditambah dengan produksi suara tiga dimensi, kombinasi Oculus Rift dan Leap Motion akan memberikan pengalaman virtual reality yang imersif.

It’s Strange VR Experience

Meskipun awalnya VR digunakan untuk kebutuhan simulasi, aplikasi dari teknologi ini pun mengalami perluasan, mulai dari desain arsitektur dan interior, retail, film, hingga proses pembelajaran dan terapi kesehatan. Kemampuan virtual teknologi dalam merekayasa persepsi indera dan pengalaman manusia, membuat potensi teknologi ini masih belum terbatas. Baik secara filosofis dan teknologi, virtual reality masih akan berkembang. Bukan tidak mungkin, pengalaman virtual yang layaknya diceritakan dalam film The Matrix atau seri jagoan Superhuman Samurai Syber-Squad menjadi realita di masa depan dan kehidupan real kita hanya menjadi alter ego dari apa yang kita lakukan di dunia virtual.

--

--