Ganas

Rijal Muammar H
Langkah-Langkah Jalan
3 min readOct 28, 2017

Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, tempat dimana saya menghabiskan beberapa tahun hidup, dan tadi siang sempat saya hitung, semuanya sudah enam tahun lebih sampai sekarang. Tentu akan ada cerita – di manapun waktu dihabiskan – yang muncul dengan bersendiri atau bersama teman. Di bawah ini ada sedikit cerita ganas mengenai ‘hidup’ di Fakultas Sastra, bukan cerita tentang keadaan malam hari yang mencekam; karena ketakutan akan senior-senior yang sedang mabuk-mabukan, bukan juga cerita tentang bentrokan mahasiswa; yang kala itu diramaikan oleh Fakultas Teknik, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ekonomi, Hukum, dan tentunya Sastra, dan bukan juga tentang ganasnya aturan Birokrasi; yang tetap lahirkan ‘skorsing’ pada beberapa mahasiswa meski – kala itu – disertai dengan ‘perlawanan’ atas kebijakan. Cerita ganas ini tentang beberapa hal yang tidak banyak tapi cukup menghancurkan.

Pada awal 2011, di Fakultas Sastra, demam Blackberry (BB) menjangkiti hampir semua manusia yang hidup di sana. Entah kapan mulainya untuk dunia di luar, karena hidup saya saat itu hanya di sekitaran Fakultas Sastra. Semua orang kemudian membedakan penyebutan ponsel mereka, waktu itu pula penggunaan dua ponsel adalah lazim – ‘hp’ dan ‘BB’. Awalnya gejalanya tidak begitu nampak, bahkan bila tidak diamati; demam itu tidak buruk bagi penderitanya.

Seiring berjalannya hari dan makin lincahnya jari menjamah benda yang dilabeli smartphone itu, masalah pun muncul; jarang lagi terdengar obrolan lansung oleh para penghuni Sastra di setiap sudut tongkrongan – yang sebelumnya selalu ramai bersuara dalam cerita ataupun diskusi – kala mereka telah disibukkan dengan aplikasi Blackberry Messenger (BBM), Twitter, ataupun Facebook yang ada di genggaman mereka. Mereka semua sibuk tunduk walau tak hening cipta, asik tertawa tanpa hadirnya komika, dan juga dengan sigap membalas pesan-pesan yang masuk. Demam itu terus menyebar. Mereka yang terjangkit inilah yang kemudian disebut sebagai cikal bakal lahirnya generasi ‘autis’ di Fakultas Sastra. Hampir mati interaksi langsung kala itu, walaupun riuh cerita kadang masih terdengar dari mereka yang tidak dijangkiti demam, namun jumlahnya pun tidak banyak, tetapi ada.

Belum juga ditemukan penawar demam BB, masyarakat kampus kemudian ditambahkan permasalahan baru. Derasnya informasi yang ada lewat internet bermodalkan smartphone membuat tren istilah-istilah modern dengan mudah akrab dituturkan oleh masyarakat. Untuk tren istilah, saya mengambil satu untuk dibahas, kata ‘KEPO’ yang merupakan singkatan dari ‘Know Every Particular Object’ dan pada penerapannya lebih digunakan untuk menggantikan kalimat ‘mau tau aja’. Istilah ini saya pilih berdasarkan perbincangan dengan teman kala itu, tentang ‘KEPO’ dan dampaknya. Untuk beberapa orang istilah tersebut bukanlah masalah; bahkan bila ada yang mempermasalahkan hanya untuk orang yang kurang kerjaan. Dampaknya, secara tidak disadari, membuat orang semakin tertutup satu sama lain; yang awalnya berbagai hal menjadi bahan cerita dan kadang mengarah ke curhatan, makin hari makin muncul pembatasan bahan, cukup mengandaskannya dengan kalimat ‘keponya ine!’ Makin akrab dengan istilah tersebut, masing-masing kami dan orang sekitar saat itu seakan takut mendapatkan julukan ‘si kepo’. Kita tidak usah kepo dengan kalian, kalian juga jangan kepo, kita dan kalian pun tidak akan kepo dengan kami.

Ganas dan ironisnya permasalahan-permasalahan itu di Fakultas Sastra akhirnya dilengkapi dengan wabah android, yang seingat saya mulai muncul di awal tahun 2013. Berbeda dengan BB, OS Android yang tersebar di hampir semua ponsel masyarakat sekitar lebih sanggup dan tangguh menjalankan beberapa aplikasi yang sedang anyar saat itu. Mereka yang ber-blackberry kemudian harus rela berganti demi Path, Instagram, serta Angry Bird. Dan waktu pun semakin banyak habis bersama ponsel di genggaman; memotret kemudian mengunggah, mengutarakan semua hal lewat media sosial yang jumlahnya kemudian lebih banyak dari jumlah mata kuliah mahasiswa semester 8. Inventaris Himpunan dan UKM pun bertambah seiring menigkatnya kebutuhan anggota akan colokan listrik. Mereka yang nongkrong di kolong (salah satu tempat di Fakultas Sastra) pun tak lagi habiskan waktu pagi sampai sore di sana, karena tak siap bersedih dengan ‘kematian’ Smartphone-nya. Berbagai pembahasan berganti sejalan dengan apa yang ramai di media sosial; duckface, dubsmash, #don’tjudgechallenge, dan berbagai tren-tren temporari lainnya. Ada yang pro banyak yang kontra, ada yang kontra ada lagi yang kontra. Gejala yang sama dengan demam Blackberry tapi Android menyempurnakan ke’autis’an generasi yang dirintis oleh BB. Interaksi semakin hari semakin kurang seiring akrabnya kita dengan ponsel di genggaman, entah itu berbasis blackberry ataupun android. Permasalahan ini – untuk saya – sama halnya hutang Indonesia yang semakin lama semakin banyak tapi tidak ada yang bisa diperbuat.

Akhirnya cerita ini hanya jadi renungan, dengan harapan ada juga perenung lain di Sastra atau dunia luar yang mau coba hidupkan lagi interaksi; saya akan mau untuk siap.

--

--

Rijal Muammar H
Langkah-Langkah Jalan

"...tiada-lah suatu yang sebenar-benarnya kasat hingga semua yang berhasrat ialah memungkinkan sesat..."