“Mungkin; Entah Siapa”

Rijal Muammar H
Langkah-Langkah Jalan
3 min readAug 23, 2017

Malam itu, saat jarum jam berada di antara angka delapan dan sembilan, aku sedang duduk ditemani sebungkus rokok serta segelas kopi. Saat wanita itu kemudian mendekatiku. Dari ujung jalan ia berjalan dengan terburu-buru — seakan ada bahaya yang mengejarnya. Cukup waktu untuk mengenalinya sebelum ia akhirnya berdiri tepat di hadapanku, cukup dekat hingga aku dapat mendengar desah nafasnya — tidak beraturan. Sambil mengatur nafasnya kemudian ia berkata; “Maaf, selamat malam, saya datang dari jauh lalu kemudian terpisah dari rombongan. Bisa saya tahu di mana kita sekarang?” Aku terdiam beberapa detik lalu kemudian menjawabnya terbata “Mmmm… ee.. ki.. kita sedang ada di pusat kuliner kota.” Wanita itu menghela nafas sekali, kemudian menolehkan wajah dan berlalu tanpa sepatah katapun. Beberapa langkah ia beranjak dari hadapanku aku lalu memanggilnya, ia menoleh dengan kesal dan berkata “Tidak seorang pun yang tidak akan berkata kalau kita sedang di pusat kuliner kota, semua orang tahu itu!” Setelah menyelesaikan kekecewaannya, ia pun melanjutkan langkahnya; mencari seorang lain yang dapat memberinya informasi yang lebih berguna. Aku masih tetap di situ, duduk sambil menghisap rokok di tanganku, kulihat jam di tanganku, pukul 21.39. Sudah cukup lama aku duduk di situ namun yang ada dipikiranku hanya seputar wanita itu; yang kukenali tapi tak sedikitpun tahu tentangku — kelihatannya. Dalam kepalaku hanya seputaran wanita itu; yang coba kutabrakkan dengan sangkalan kalau ia kukenali. Malam semakin larut, saat yang tepat untuk kembali ke rumah, berpindah tempat dengan kegiatan yang sama, duduk, berpikir … menyendiri.

Keesokan harinya, waktu itu hampir sore ketika ku terbangun. Aku tak langsung bergegas, masih berbaring, menatap langit-langit kamar; begitulah aku memulai hari. Setengah jam berlalu kemudian aku bangun dan bersiap. Aku selalu bersiap — seakan selalu ada hal yang harus kulakukan di tiap harinya, sementara yang berlangsung hanya duduk, berpikir … menyendiri.

Malam harinya, aku memutuskan untuk tidak pergi ke tempat semalam, berada di tempat yang sama kadang membuatku bosan. Malam itu kuputuskan untuk ke taman kota, akan ada pentas seni yang diadakan mahasiswa; penggalangan dana — menurut informasi yang sempat kubaca di media sosial. Dengan masih ditemani sebungkus rokok serta segelas kopi aku duduk cukup jauh dari tempat pentas seni itu; namun masih bisa mendengar alunan musik yang sedang dimainkan di sana. Ya, aku tak terlalu nyaman dengan keramaian orang yang tak kukenali. Dari tempat duduk ku, sedang kudengar; band musik sedang memainkan What it Takes-Aerosmith. Saat kubakar rokokku terdengar ada suara wanita dari sebelah kiriku seakan mendekat “Merokok tak pernah baik untuk kesehatan”. Aku berbalik, mencari tahu siapa yang berbicara, ternyata wanita yang kutemui semalam. Aku kemudian kembali berpikir, hampir serupa yakin; ia memang wanita yang kukenali. Ia mendekat, “Apa yang dilakukan laki-laki duduk sendiri di taman kota malam begini?” Kujawab dengan cepat, “Hanya duduk-duduk, menghabiskan waktu”. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan tas kecil di tangannya, kemudian berkata; “Habiskan waktumu kalau begitu, teman ku sedang menunggu, lagipula, sudah ada yang menemanimu — sembari melirik pada sebatang rokok yang sedang tertahan di antara jari-jariku”. Ia pun segera beranjak, belum banyak langkah kemudian berhenti … menoleh ke arahku … dengan datar berkata; “Oiya, kita belum sempat berkenalan”. Setelah berkenalan, ia pun kembali lanjutkan perjalanannya. Yang kupikirkan … ternyata kembali salah; dia bukan orang yang kukenal — mungkin cuma memiliki beberapa kemiripan di wajahnya. Malam semakin larut, kadang waktu tak terasa, bahkan saat aku tidak menikmati suasana. Aku menengok ke arah panggung seni, ternyata mereka sudah bubar, entah sejak kapan … Sudah saatnya pulang.

Di perjalanan pulang kusempatkan untuk singgah di sebuah warung kecil tak jauh dari rumahku; membeli sebungkus rokok dan beberapa cemilan — persiapan kalau-kalau ngantuk tidak datang lagi malam ini. Sembari aku menunggu uang kembalianku, wanita itu tiba-tiba muncul entah dari mana, dengan suara tidak terlalu keras ia memanggil penjual di warung itu; “Pak, beli pulsanya”. Kupandangi dia, mungkin karena tak nyaman ia menoleh ke arahku dan menoleh ke arah lain, kemudian segera pergi sambil berkata pada pemilik warung; “Maaf pak, pulsanya tidak jadi.” Ia kemudian pergi bersama temannya yang ternyata dari tadi sedang menunggunya di motor. Aku terheran, bahkan saat motor itu sudah hilang di ujung jalan, pandanganku masih juga mengarah ke sana.

Perjalanan pulang pun kulanjutkan. Setiba di rumah aku langsung ke kamarku dan duduk di sudut tempat tidurku, mengambil sebatang rokok kemudian kubakar dengan tetap disertai sebuah tanya yang tidak bisa tidak terpikirkan; “Siapa wanita itu?”

--

--

Rijal Muammar H
Langkah-Langkah Jalan

"...tiada-lah suatu yang sebenar-benarnya kasat hingga semua yang berhasrat ialah memungkinkan sesat..."