1971, The Year That Music Changed Everything

Komunitas LayarKita
LayarKita
Published in
17 min readFeb 4, 2022

Penulis: Tobing Jr

1. Era Awal Penyebab Semakin Bergaungnya Musik Rock

Berbicara tentang dekade 70an di abad 20 tidak akan ada habisnya, apapun topiknya: politik perang dingin, konflik sektarian, terobosan-terobosan baru di bidang kedokteran, sains dan teknologi, pencapaian-pencapaian gemilang di dunia sinema dan olahraga, serta era keemasan di dunia musik populer (baca: rock).

Di masa pandemi ini An Apple Originals mengeluarkan 1 (satu) serial pendek yang terdiri atas 8 (delapan) episode dengan judul yang fenomenal “1971, The Year That Music Changed Everything” berdasarkan bukunya David Hepworth “1971 — Never a dull moment: rock’s golden year”.

Era 70an memang sangat fenomenal bagi jaman keemasan musik rock, bahkan para kritikus ternama sepakat bahwa dekade 70an di abad 20 merupakan titik puncak kejayaan dan keemasannya dibandingkan era di dekade sebelumnya maupun di dekade-dekade sesudahnya.

Mengapa bisa terjadi demikian di era yang cukup pendek ini, namun pengaruhnya tetap bisa dirasakan puluhan tahun kemudian sampai di jaman milenial ini?

Ada beberapa faktor utama sebagai penyebab berikut faktor-faktor pendukung lainnya yang bisa kita saksikan dalam rangkaian episode ini, walau faktor-faktor ini tidak mutlak, karena bisa saja terjadi di era lain.

Akhir dekade 60an dan awal 70an ada ‘perpecahan’ yang sangat besar di Amerika antara pendukung dan anti akibat Perang Vietnam. Dan kebanyakan anak muda Amerika menyatakan Anti Perang Vietnam. Tahun 1971 adalah puncak keterlibatan Amerika di dalam Perang Vietnam. Bagaimana para pemuda Amerika harus masuk Wajib Militer untuk kemudian dikirim ke tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah air untuk berperang dengan alasan yang sangat tidak jelas. Salah satu dampak dari perang ini adalah ribuan keluarga di Amerika kehilangan pemudanya untuk perang yang sia-sia dan ribuan pemuda lainnya pulang dalam kondisi cacat yang mengenaskan.

Rakyat Amerika sudah sangat muak dengan kondisi ini, terutama anak mudanya; dan mereka pun melakukan aksi protes di kampus-kampus hingga turun ke jalan-jalan. Aksi ini didukung oleh para musisi Amerika yang sudah terkenal saat itu. Bagaimana Neil Young dari grup “Crosby, Stills, Nash & Young” menciptakan lagu berjudul “Ohio”, sebuah lagu keprihatinan yg menggambarkan tewasnya beberapa mahasiswa oleh militer di Ohio.

Chrissie Hynde, vokalis utama dari The Pretenders, yang saat itu ikut terlibat dalam Aksi Mahasiswa berujar “grup-grup musik saat ini menciptakan musik sebagai bentuk protes pada Perang Vietnam. Ini adalah bahasa mereka. Musik dijadikan sebagai artikulasi akan segala sesuatu yang kamu lihat saat-saat ini dan akan apa yang kamu rasakan”.

Marvin Gaye pun mengungkapkan rasa yang sama. Penyanyi kulit hitam ini pun menyatakan keprihatinan dan kesedihan yang teramat mendalam akibat kematian adiknya di medan Perang Vietnam dalam lagunya “What’s Going On”.

Lagu “Imagine” dari John Lennon sungguh menggambarkan keadaan saat itu: lagu ini di-desain untuk mengkreasikan perasaan akan pengharapan, dan pengharapan itu menciptakan para aktivis untk menghasilkan aktivitas-aktivitas perubahan akan dunia yang lebih baik dan lebih nyaman untuk didiami…

Pic: mercurynews.com

2. Musik Rock Mengadaptasi Sesuatu yang Mapan di Masa Lalu.

Di akhir dekade 60an dan memasuki dekade 70an ada terjadi banyak pergeseran budaya pop di Amerika, dan semua orang bereaksi dengan cara yang berbeda untuk mengakhiri era ini. Dekade 60an secara simbolik (yang terkesan mengada-ada) ‘selesai’: konser musik gratis The Rolling Stones tanggal 06 Desember 1969 di Altamont Speedway, California berakhir ricuh; yang paling mengenaskan adalah 4 orang tewas, sehingga konser harus dihentikan. Berkaitan dengan kejadian ini Robert Greenfield dari majalah Rolling Stone berucap “Altamont was the Pearl Harbour of Rock. It was the death knell for the beautiful people and the end of the 60s. One world was ending and another one was beginning. The ‘Peace & Flowers’ love thing was over”.

Jadi sedikit bisa disimpulkan bahwa pergantian dekade ini merupakan masa tansisi yang teramat pendek, ketika semuanya di Amerika terasa diobrak-abrik. Banyak musisi yang berbalik arah, bahkan ‘cabut’ dari profesinya itu. Nampaknya mereka semua seperti bersembunyi di masa transisi ini.

Saat itu Frank Zappa, musisi avant-garde dari Amerika, dalam suatu wawancara dengan sebuah stasiun televisi berujar “di masa kini, generasi yang masih memakai narkoba sebaiknya melupakan itu. Bagi para pra-remaja sekarang ini, mulailah belajar melihat ke depan; ada banyak harapan dan potensi di dalam diri kalian. Kalian punya banyak kesempatam menyaksikan kakak-kakak kalian yang tumbang dan jatuh dari puncak karirnya. Jadikan semua kesalahan yang telah mereka perbuat menjadi pembelajaran untuk membuat kalian lebih terpacu”.

Sangat menarik bila seorang rocker sejati berbicara bijak seperti ini, karena kita selama ini sudah terperangkap ke dalam stereotype, bahwa seorang rocker (apalagi bila kita melihat penampilan serta keseharian akan seorang Frank Zappa) pastilah urakan dan kehidupannya ga bener.

Salah satu ‘peninggalan’ dekade 60an yang tetap ada di dekade 70an adalah para musikus yang mulai belajar agama dan menginterpretasikan itu dalam syair lagu-lagu mereka. Ketika The Beatles belajar agama ke India, warna musik The Beatles pun banyak dipengaruhi musik India dan kemudian George Harrison menjadi sangat memuja Hare Krishna yang kemudian tertuang dalam lagunya: “My Sweet Lord”.

Uniknya, di sangat awal era 70an, pada pertengahan tahun 1970, arranger dan penulis syair yang sangat kampiun, yaitu Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice bersepakat membuat opera yang sangat nge-rock tapi sangat bernuansa keagamaan. Mereka berdua pun mengajak para musisi dan vokalis kenamaan saat itu seperti Ian Gillian dari Deep Purple kemudian Murray Head, Victor Brox, Yvonne Elliman, dkk. Dan hasil dari kolaborasi ini lahirlah sebuah Rock Opera “Jesus Christ Superstar”, sebuah opera yang begitu ‘hidup’, nakal tapi biblis, sangat bernuansa rock dengan musikalitas yang luar biasa bagusnya. Opera ini banyak menuai kontroversi dari masyarakat awam dan tentu saja dari para pemuka agama, tapi mendapat pujian yang luar biasa dari para kritikus musik dunia dan dipuji sebagai sebuah rock opera terbaik sepanjang masa yang pernah dibuat.

Seingat saya, rock opera “Jesus Christ Superstar” ini pernah diadaptasi oleh para musisi hebat Indonesia seperti Remy Sylado, Harry Roesli dan bahkan Iwan Fals pun pernah terlibat dalam proses penggarapan musiknya, menjadi Jesus Christ yang bernuansa lokal namun tetap berbobot.

3. British Invasion di Amerika

Seperti telah disampaikan di bagian pertama, bahwa ada beberapa penyebab mengapa musik rock di era 70an mencapai puncak prestasinya sehingga berdampak hingga puluhan tahun kemudian, faktor lainnya yang sangat layak diketahui adalah “British Invasion” di Amerika.

Walaupun kalimat dan atau pernyataan ini tidak muncul di seluruh episode, namun hal itu sangat terasa dari visualisasi dan penceritaan yang disampaikan sutradara.

Saya sendiri belum membaca bukunya David Hepworth -yang menjadi acuan pembuatan film ini, jadi saya tidak tahu apakah istilah “British Invasion” ada disebutkan di buku itu.

Istilah “British Invasion” secara sederhana dijabarkan sebagai invasi Inggris ke Amerika sebagai invasi kebudayaan -dalam hal ini musik rock- sebagai salah satu bentuk perluasan pengenalan ‘warna’ musik rock dari Inggris beserta pernak-perniknya oleh para musisinya sejak pertengahan era 60an. Para kritikus musik nampaknya sepakat, bahwa “British Invasion” dimulai ketika The Beatles tiba di New York City pada tanggal 07 Februari 1964.

British Invasion” ini bisa kita lihat dari ‘merajalela’-nya musikus-musikus Inggris yang berkiprah di Amerika, tapi tidak sebaliknya. Di sebagian besar episode dalam film ini, hal itu sangat kentara kita lihat.

Amerika adalah negara yang terbuka dan sangat fleksibel menyerap berbagai produk budaya dari luar, termasuk budaya musik populer untuk memperkaya khazanah musik mereka.

Kita tau: blues, country dan jazz lebih banyak dihasilkan dari para musisi Amerika dibanding negara-negara lainnya; tapi uniknya, musisi-musisi rock dari Inggris yang merajalela di Amerika di tahun 70-an ini banyak dipengaruhi musisi-musisi blues dari Amerika era sangat awal di abad 20. hal ini seperti mengesankan bahwa Amerika ‘mengimpor’ pengaruh blues dari seberang lautan…

Ambil contoh yang terjadi di awal periode 70an: David Bowie, rocker Inggris yang memulai perjalanan ke Amerika di Bulan Januari 1971 berujar “Saya dan juga rekan-rekan musisi lainnya saya kira, di awal tahun 70an ini kami ingin membentuk satu pengertian baru akan apa itu yang dinamakan musik rock dan ke depannya akan menjadi apa, dan kemudian sejarah musik rock bisa didaur ulang dengan cara yang berbeda. Kami bosan dengan gaya hippies, kami ingin akan suasana lain”.

Pernyataan David Bowie dan permulaan invasi-nya ke Amerika sangatlah kompleks. Sebagai pendatang baru yang ingin (semakin) dikenal publik Amerika yang kritis — walaupun terbuka-, David Bowie harus menghadapi dan mengalami tantangan dan penolakan berkali-kali yang teramat berat dan beragam (dan ini dialami oleh hampir semua musisi luar yang hendak eksis di Amerika). Bagaimana David Bowie harus bersaing dengan Andy Warhol yang sudah lebih dulu tenar di Amerika. Bagaimana keeksentrikan warna musik dan gayanya yang harus beradaptasi dengan selera publik Amerika. Sementara itu di Inggris sendiri bermunculan dan mulai eksis semisal T-Rex. Dan sebelumnya yang sudah eksis The Rolling Stones, The Who; dan The Beatles sudah bubar.

Mengenai invansi, eksistensi dan terang redupnya bintang rock maupun grup band, Tony Visconti, seorang musikus dan produser rekaman saat itu, berujar: “It was a time when most of the rock and roll bands were very masculine. The idea of dressing androgynously was new and refreshing. But, you know, when it came to music, he had a ’50s mind. He jumped back a generation, playing Chuck Berry guitar, and he was writing rock and roll songs”.

Di samping itu, adanya peng-idola-an akan bintang rock sebagai salah satu bentuk realitas dari generasi baru yang mulai eksis di awal era 70an, yang menginginkan kebebasan; kebebasan untuk berekspresi dan kebebasan untuk berpikir. Penampilan Mark Bolan dari T-Rex sangat representatif dengan ungkapan Tony Visconti dan sangat tepat menjadi idola remaja saat itu. Dan ungkapan-ungkapan romantis — bahkan cenderung bernada seksual — yang halus di dalam syair-syair lagunya membuat para remaja merasa terwakili, dan mereka seperti mendapat ‘ruang’ untuk mengungkapkan ekspresinya.

Dan di era 70an ini pula lah, pengaruh dari syair-syair lagu yang ‘kuat’ menjadi salah satu pemicu bahwa pendidikan seks untuk remaja kemudian dibicarakan secara terbuka di ruang keluarga, sekolah-sekolah, ruang debat publik, radio dan televisi, sebagai sesuatu yang normal dan sewajarnya, dan bukan lagi topik yang tabu dan risih untuk dibicarakan.

4. Era Para Diva Semakin Menancapkan Dominasinya di Kancah Musik Populer.

Seperti umumnya film serial untuk tayang di televisi; selalu diasumsikan bahwa durasinya 1 (satu) jam, namun realitanya adalah bahwa dari durasi 60 menit itu, 20% untuk iklan, sehingga film dokumenter setiap episodenya tidak pernah lebih dari 48 menit.

Salah satu penanda bahwa dekade 70an adalah puncak kejayaan musik rock dan bagaimana musik mengubah banyak hal sejak dekade ini adalah, semakin banyaknya penyanyi perempuan yang hebat-hebat bermunculan. Setelah sebelumnya ada para pionir seperti Mahalia Jackson, penyanyi lagu-lagu gospel yang teramat legendaris, kemudian Dinah Washington, si Ratu Musik Blues, berikutnya ada Aretha Franklin, si Ratu Musik Soul ataupun Carole King dan para diva lainnya (Cat.: harap dibedakan makna diva di Amerika dan di Indonesia). Tahun 70an bermunculan nama-nama seperti Joan Baez, Joni Mitchell.

Salah satu penyanyi perempuan yang cukup disorot di film ini adalah Joni Mitchell, karena Joni Mitchell mendefinisikan kembali bagaimana seharusnya kamu menulis lagu: kamu tuliskan apa yang kamu rasakan, apa yang kamu pikirkan dan apa yang sedang kamu lalui.

Sikap dan cara Joni Mitchell itu yang melatih dirinya untuk menjalani proses yang teramat berat. Dia ingin masuk ke dalam inti dari lagu itu sendiri, dan untuk hal itu dia tidak gentar untuk menjalani dan menghadapinya. Karenanya, bila kita mendengarkan lagu dengan pola Joni Mitchell, kita akan merasakan ungkapan perasaan perempuan yang sangat di-ekspose. Begitu dalam dan menghayati. Tapi sayangnya, tidak semua orang suka dan merasa nyaman saat itu dengan gaya seperti ini.

Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan ke -2, ada 2 (dua) kampiun yang berkolaborasi menghasilkan maha karya Jesus Christ Superstar, yaitu Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice, di era inipun ada beberapa pasangan seperti ini, seperti duet legendaris Carole King dengan Gerry Goffin, ataupun Elton John dengan Bernie Taupin. Bahkan duet Bernie dan Elton disebut-sebut para kritikus musik sebagai pasangan the most inventive and original team of songwriters since Lennon & McCartney.

Tampilnya duet hebat seperti mereka yang menghasilkan karya-karya brilian, secara sederhana dijabarkan oleh seorang kritikus musik: “Singer-songwriters, you could put a name on the genre, they were basically poets that could put their poems to music. I don’t think you’ll ever see a creative burst like that musically again”.

Era 70an pun merupakan era menuju puncaknya gerakan-gerakan liberal (saat itu) seperti LGBT, feminisme dan kesetaraan gender untuk tampil di muka umum agar dikenal masyarakat luas, yang nota bene, gerakan ini dipelopori oleh seniman/musikus, sebut saja Andy Warhol. Padahal pada era 50an dan 60an gerakan-gerakan ini masih diam-diam, belum berani tampil terang-terangan di muka umum, di samping juga masyarakat saat era itu masih cukup tabu dan menolak gerakan/pandangan/pemahaman seperti ini.

Elton John, musisi asal Inggris yang mulai berkiprah di Amerika di Bulan Januari 1971, terang-terangan memproklamirkan bahwa dirinya seorang gay. Akan hal ini, David Mixner, seorang aktivis hak sipil berujar bahwa Elton sedang bernyanyi tentang dirinya, dan itu adalah refleksi tentang apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Itu bukan tentang ‘menjadi gay’, tetapi tentang mengekspresikan diri dan itu sangat individual.

Peter Tatchell dari Gay Liberation Front saat itu menyatakan “Saya katakan tahun 1971 adalah tahun kesadaran yang revolusioner bagi kelompok orang-orang yang terpinggirkan dan kurang beruntung, yang dikucilkan dari masyarakat luas, bukan hanya kaum LGBT tapi juga perempuan yang menegaskan hak-hak mereka untuk menjadi perempuan dan setara dengan yang lainnya”.

Tentang kesetaraan perempuan, saat itu sedang marak bukunya Germaine Greer “Female Eunuch” dibicarakan orang, di buku itu secara gamblang diutarakan hak-hak perempuan, untuk menentukan nasibnya sendiri, menuju masa depan yang menjanjikan, bukan masa depan yang dibatasi dan mencemaskan.

Para perempuan pun digerakkan untuk turun berdemonstrasi ke jalan-jalan menyuarakan haknya, dan hal ini berkelindan dengan lagu-lagunya Carole King dari album “Tapestry” dan juga lagu-lagunya Joni Mitchell dari album “Blue” yang sama-sama dirilis tahun 1971.

Musik dapat membuat orang-orang teringat pada masa dalam hidup mereka. Ada saat-saat tertentu dalam hidupku, saat aku butuh inspirasi dan dukungan, lagu-lagu tertentu menyemangatiku. Lagu-lagu itu hidup bersamamu selamanya. Dan semua orang punya lagu seperti itu. Lagu yang bagus akan membuat seseorang terpana. Kau tau, karena faktor keterusterangan yang tergambar dalam lagu itu terkomunikasikan…

Pic: popsugar

5. Era Protes Sosial dan Persamaan Hak di Depan Publik

Jika kita penduduk Amerika yang tinggal di kota-kota besar atau seorang urban yang cukup lama menetap di kota besar, pada sekitar akhir tahun 1960an, kita cukup biasa melihat pembunuhan, penculikan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya terutama terhadap kulit hitam yang terjadi hampir setiap hari di tempat-tempat umum/fasilitas publik di Amerika. Ini menakutkan, ini mencemaskan, dan jangan sampai kejadian seperti ini menjadi kejadian keseharian yang mematikan rasa empati kita, sesuatu hal yang lumrah. Bila begitu, sangat berbahaya.

Episode ke-5 dibuka dengan rekaman tampilnya Angela Davis yang melakukan aksi protes di jalanan terkait diskriminasi terhadap warga kulit hitam. Angela Davis adalah seorang perempuan kulit hitam, aktivis, dan akademisi. Tokoh pergerakan ini masih muda, usianya belum mencapai 30, namun sudah menjadi profesor filsafat dan mengajar di UCLA.

Suatu hal yang lumrah di tahun 70an, Angela didukung para musisi kulit hitam juga, salah satunya Si Ratu Musik Soul: Aretha Franklin.

Para pengamat seperti menyimpulkan apa yang terjadi di sepanjang tahun 1971: “tahun 1971 adalah tahun ketika banyak orang ingin melepaskan diri dari kekangan, hambatan, dan batasan. Dan kemudian kita tau bahwa tahun 70an adalah tahun perubahan arus. Salah satunya adalah, ketika gerakan hak sipil berubah menjadi gerakan kekuatan Kulit Hitam; apalagi saat itu banyak penyanyi kondang berkulit hitam yang sangat mendukung gerakan ini, di antaranya: Marvin Gaye, Stevie Wonder dan Curtis Mayfield. Ataupun dukungan luar biasa dari petinju kulit hitam legendaris: Muhammad Ali”.

Mengapa gerakan kekuatan kulit hitam sepertinya begitu mendominasi? Karena kami membicarakan masalah yang sedang terjadi, dan ada paranoia serius terhadap orang kulit putih yang (sedang) berkuasa, karena kami sengaja dibuat tak berdaya begitu lama, dan mereka takut kami membalikkan keadaan.

Bahkan Brian Jackson (partner sekaligus produsernya Gil Scott-Heron) berujar “Bagaimana aku dapat menggunakan musik untuk membantu mengubah banyak hal”.

Dan apa yang dilakukan oleh Angela Davis sebenarnya suatu eskalasi. Salah satu momen mengenaskan yang terjadi pada tahun itu adalah ketika George Jackson, seorang tokoh kulit hitam dibunuh oleh sipir di penjara saat George Jackson menjalani hukumannya, akibatnya terjadi protes di mana-mana yang menunjukkan bahwa diskriminasi belum hilang dari bumi Amerika, bahkan indikasi kekerasan terhadap kulit hitam meningkat di Amerika. Kematian George Jackson yang mengenaskan menuai rasa simpati dari rakyat Amerika, bahkan penyanyi legendaris Bob Dylan secara khusus menciptakan lagu dengan judul yang sama sebagai bentuk obituari untuk George Jackson dengan rangkaian syair yang teramat miris…

Salah satu fenomena yang merambah generasi muda di era 70an adalah penyalahgunaan narkoba. Hal ini terjadi juga di kalangan musikus dan pekerja seni lainnya. Bahkan juga merambah pada generasi muda Amerika yang sedang mengabdi di luar negeri (baca: Tentara Amerika di medan Perang Vietnam). Diperkirakan lebih dari 40 ribu Tentara Amerika yang pulang dari Perang Vietnam kecanduan narkoba.

Di kalangan musisi, penyalahgunaan narkoba bukanlah hal yang tabu (apa yang saya kutip berikut ini hanya contoh kecil). Keith Richards mengkonsumsi narkoba terang-terangan bersama rekan-rekannya selama berbulan-bulan ketika dia menyewa sebuah villa di selatan Prancis dalam rangka proses pembuatan album Rolling Stones.

Dewa gitar, Jimi Hendrix. Penyanyi blues, Janis Joplin. Vokalis The Doors, Jim Morrison. Merupakan model dari banyak bintang rock di era ini, mereka sangat berbakat dan sukses, mereka menjalani hidup yang sangat flamboyan, namun mereka menghancurkan diri sendiri karena alkohol dan narkoba di usia yang relatif sangat muda. Uniknya, ketiga musisi ini meninggal dalam waktu yang sangat berdekatan dan masing-masing di usia 27 tahun…

6. Era Bangkitnya Para Penyanyi Kulit Hitam di Kancah Musik Populer.

Gerakan kulit hitam di Amerika terutama dipicu oleh Dr. Martin Luther King Jr yang memulai pergerakannya pada tahun 1955.

1963, ketika Dr. Martin Luther King Jr mengeluarkan pernyataannya tentang hak-hak asasi manusia yang kemudian menjadi salah satu quote paling fenomenal sepanjang sejarah peradaban manusia: “I have a Dream”, dunia seakan tersentak. Di belahan negara maju ternyata masih ada diskriminasi ras, supremasi kulit putih atas kulit berwarna di segala bidang, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap kulit berwarna kerap terjadi dimana-mana.

Dr. Martin berkeinginan, bahwa kesetaraan terjadi di semua lini kehidupan dan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang warna kulit, agama, maupun pandangan politiknya.

Salah satu dampak positif dari gerakan ini adalah semakin banyaknya penyanyi dan musisi kulit hitam muncul ke permukaan dan tampil begitu percaya diri. Di tulisan saya sebelumnya saya menyebutkan para diva berkulit hitam dengan suara emasnya sejak paruh pertama abad ke-20, seperti Aretha Franklin, Dinah Washington dan Mahalia Jackson (ketika Dr. Martin Luther King Jr. menyampaikan orasinya yang sangat terkenal itu tahun 1963 di Washington DC, salah satu yang hadir dan menyanyi menyatakan dukungannya adalah Mahalia Jackson).

Maka di paruh keduanya, terutama era 70an, tampil dan semakin berkibar para penyanyi kulit hitam, seperti Jack McDuff, The Jackson 5, Ike & Tina Turner, Bill Withers, James Brown dan masih banyak lagi.

Para penyanyi kulit hitam ini menyuarakan protes atas ketidakadilan sosial, atas para pemuka agama yang menyalahgunakan agama untuk kepentingannya sendiri, dan juga atas diskriminasi yang masih saja terjadi. Sehingga dengan aktivitas seperti ini identitas kulit hitam pun semakin populer dan diakui.

‘Warna’ musik yang paling tepat untuk menyuarakan ini adalah soul. Dan spiritnya dibawakan dengan sangat tepat oleh sang legenda penyanyi soul Amerika: James Brown (1933–2006) yang begitu menjiwai lagu-lagu yang dia ciptakan dan dia bawakan. Begitu hidup, sangat kuat, dan bertenaga. Apalagi dengan lagunya “Soul Power”, James Brown bagaikan narasi kehidupan urban kulit hitam.

Kekuatan musik Soul adalah kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang harus terjadi dengan cara orang kulit hitam, dan membuatnya diterima oleh struktur kekuasaan orang kulit putih, karena selama ini orang kulit hitam tertindas, dan merupakan manusia kelas 2 di negeri ini. Tapi kekuatan musik soul memberi mereka identitas. Mereka bangga karenanya. Itu memberi mereka rasa percaya diri untuk melakukan apapun yang mereka cita-citakan. Dan nampaknya musik soul adalah kekuatan pemersatu bagi mereka yang tertindas dan dipinggirkan di seluruh dunia.

Sementara itu di seberang Atlantik, Bob Marley, seorang penyanyi reggae, mulai berjaya di Inggris dengan musik rasta-nya. Bob Marley mengatakan “Musik itu hal yang bagus, dan musik itu menenangkan, tapi yang kami geluti sekarang adalah musik reggae, musik rasta. Musik ini berbahaya. Aku selama ini menyaksikan: tidak melihat ada musik yang ditentang seperti musik reggae. Mereka tidak suka memainkannya karena musik ini mendidik orang untuk mandiri. Reggae adalah musik yang memperjuangkan orang-orang yang tertindas di muka bumi ini. Musik ini memperlihatkan kebebasan”.

Karenanya, di akhir tahun 60an dan di awal 70an di Inggris, tidak banyak kita dengar musik Jamaica di radio, yang membuat kita menyadari bahwa institusi mencoba menekan suara-suara alternatif ini.

Akhirnya secara gamblang kita melihat di tahun 1971, tidak ada lagu yang dibuat yang tidak memiliki pesan sosial. Seperti yang dikatakan oleh salah satu musisi 70an itu: “Kami adalah seseorang, yang memiliki kekuatan, dan itu muncul dalam musik kami…”

7. Rock Progressive & Psychedelic

Di belahan lain di Benua Eropa, ada Kraftwerk, satu grup musik dari Jerman yang “Avant-garde”. Mereka ingin masuk dengan pendekatan lain terhadap musik. Mereka ingin berbeda dari apapun yang pernah ada sebelumnya. Mereka memproklamirkan dirinya sebagai generasi yang lebih industrial. Mereka mempunyai moto: sekalipun Inggris dan Amerika memperkenalkan lirik baru, suara baru untuk musik, tapi itu masih tetap dalam tradisi musik populer Amerika. Mereka ingin tampil beda.

Namun meskipun berbeda, seperti juga halnya David Bowie di Inggris ataupun liarnya Iggy Pop dan Lou Reed di Amerika, mereka semua sedikit banyak dipengaruhi oleh salah satu filmnya Stanley Kubrick yang paling fenomenal di tahun 1971 “A Clockwork Orange”. Karena yang ingin mereka lakukan adalah menciptakan budaya pada musik yang mereka tulis; ada yang menarik dari masa depan nihilistik yang negatif yang merupakan budaya di film itu. Sebelumnya tidak pernah ada film geng atau film remaja seperti itu, baik itu penafsiran gayanya atau dinamika antara sistem dan pemuda kelas pekerja. Semua itu memicu banyak hal terjadi sesudahnya.

Salah satu yang paling patut diacungi jempol dari para rocker 70an adalah skill mereka bermain musik yang luar biasa tinggi yang kemudian dipadu dengan eksplorasi dan aransemen yang rumit (kadang nge-jlimet walau sangat enak untuk dinikmati), dihasilkanlah karya-karya brillian yang durasinya relatif panjang-panjang yang biasanya di atas 6 menit (satu sisi vinyl 12 inchi dengan rpm 33 1/3, kadang hanya diisi satu buah lagu saja karena saking panjangnya lagu tersebut). Bagi generasi 80an ke sini, karya-karya yang panjang ini sudah tidak lumrah, mereka terbiasa dengan durasi relatif pendek (3–4 menit saja). Dan durasi pendek ini bagi para pengamat musik kawakan adalah sesuatu yang memprihatinkan, karena selain jadi minim eksplorasi, juga minim penghayatan.

Genre musik rock 70an yang kaya dengan aransemen rumit yang eksploratif, biasa disebut art-rock pengembangan dari musik psychedelic, dan sejak tahun 2000an akrab dengan sebutan prog-rock.

1971 Rock Music Timeline (apa yang saya cantumkan berikut ini, hanya yang saya ingat saja):

- Van Der Graaf Generator merilis albumnya yang ke-4 “Pawn Hearts” (di awal-awal karirnya, Genesis kerap menjadi band pembuka setiap Van Der Graaf Generator mengadakan konser) — Led Zeppelin merilis albumnya yang ke-4, album mereka yang paling fenomenal dan tanpa judul.
- Genesis merilis albumnya “Nursery Cryme”, dan awal bergabungnya Steve Hackett dan Phil Collins ke grup ini setelah lolos diaudisi.
- Carole King merilis “Tapestry”, album paling keren dari Carole.
- Jesus Christ Superstar, dirilis. Sebuah album rock opera terbaik yang pernah ada.
- John Denver merilis hits country-nya yang paling terkenal: “Take Me Home, Country Road”.
- John Lennon merilis hits-nya yang menjadi ikon gerakan dan filosofi pandangan kaum muda 70an “Imagine”.
- Black Sabbath merilis album “Master of Reality”, grup ini bersama Led Zeppelin adalah peletak dasar musik heavy metal yang kemudian menjadi batu penjuru bagi grup-grup musik berikutnya yang beraliran sama.
- Jethro Tull merilis salah satu album terbaiknya “Aqualung”.
- Pink Floyd merilis album “Meddle” yang masih psychedelic.
- Janis Joplin semakin mendunia berkat hit single-nya “Me and Bobby McGee”.
- Deep Purple merilis “Fireball”, grup ini masih dalam formasi terbaiknya (Gillan, Glover, Blackmore, Paice, & Lord).
- Emerson, Lake & Palmer merilis album debutnya dan album ke-2 berjudul “Tarkus” pada tahun yang sama.
- David Bowie merilis album ”Hunky Dory” dan single “Ziggy Stardust”.
- Yes merilis 2 album pada tahun ini: “The Yes Album” & “Fragile”.
- Marvin Gaye merilis album “What’s Going On?”.
- The Doors merilis album terbaiknya “L. A. Woman”, sekaligus album terakhir penampilan Jim Morrison.
- Humble Pie merilis album terbaik mereka “Rock On”.
- Gentle Giant merilis albumnya yang paling eksperimental “Acquiring the Taste“.
- King Crimson merilis albumnya yang ke-4 “Islands”.
- Soft Machine merilis albumnya yang ke-4 “Fourth”.
- Renaissance merilis albumnya “Illusion

credit title:
- Kerjasama AppleTV dengan Mercury Studios dan On the Corner Films
- Sutradara: Danielle Peck
- Rangkaian musik pembuka di setiap episode dibawakan oleh: The Who, Aretha Franklin, Marvin Gaye, David Bowie.
- Tahun produksi 2020.

--

--

Komunitas LayarKita
LayarKita

Komunitas pecinta ilmu pengetahuan dengan misi ‘merayakan kemanusiaan’ melalui film, buku, musik, seni & budaya.