TAN TJENG BOK

Komunitas LayarKita
LayarKita
Published in
7 min readDec 6, 2019

Penulis: Tobing Jr dari Komunitas LayarKita

Tan Tjeng Bok adalah fenomena. Minimal fenomena di masa lalu; ketika usia republik ini masih sangat muda bahkan ketika republik ini belum berdiri.

Tan Tjeng Bok adalah nama besar dalam rentangan sejarah panggung dan perfilman Indonesia. Dan seperti halnya layar panggung, kehidupan pribadi Tan Tjeng Bok pun naik turun. Dengan prestasi dan pencapaian yang luar biasa di dunia hiburan pada masa itu, Tan Tjeng Bok tidak hanya terkenal di mana-mana, tetapi juga kaya raya sekaligus dipuja dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik.
Salah satu bukti kekayaan Tan Tjeng Bok ketika di masa jayanya adalah beliau memiliki mobil balap Studebaker 8 silinder. Saat itu Studebaker yang lalu lalang di jalan raya hanya ada 3 (tiga) buah saja; selain dimiliki Tan Tjeng Bok, 2 (dua) lainnya masing-masing dimiliki Gubernur Hindia Belanda pada saat itu dan raja gula dari Semarang: Oei Tiong Ham. Luar biasa!

Walaupun sosok Tan Tjeng Bok sudah bisa dikategorikan sebagai ‘legenda’, namun bila kita mengikuti perjalanan karir Tan Tjeng Bok, polanya tidak jauh beda dengan pola kehidupan sebagian besar orang yang menapak karier, lahir dari keluarga miskin di penghujung abad ke-19, tepatnya tanggal 30 April 1898.

Ketika itu, di tahun 1891, muncul sebuah rombongan seni pertunjukan di Surabaya bernama Komedie Stamboel. Rombongan yang dibentuk seorang Indo-Prancis bernama Auguste Mahieu ini merintis sebuah pementasan baru yang mirip teater barat. Komedie Stamboel bukan saja menyajikan dialog dalam Bahasa Melayu, tetapi juga menyuguhkan lagu-lagu berbahasa Melayu, disamping menyajikan cerita-cerita yang beragam semisal Kisah 1001 Malam (“Ali Baba dengan 40 Penyamun”, “Aladin Bersama Lampu Wasiat”), maupun dari Eropa (“Doorn-Roosje”, “Sneeuwwitje”). Hal ini merupakan pencapaian tersendiri bagi Komedie Stamboel saat itu.

Seiring waktu berjalan, di Hindia Belanda saat itu kerkembang pesat pembangunan jalan raya. Hal ini mempengaruhi muncul dan bergeraknya rombongan-rombongan seni pertunjukan yang mengadakan pertunjukan dari satu tempat ke tempat lainnya. Di tahun 1906 muncul rombongan pertunjukan semisal Sinar Bintang Hindia, Opera Bangsawan, Wilhelmina, dll. Dan berkembang pula cerita-cerita yang mereka sajikan, yang tak melulu pada hikayat-hikayat, tapi menyusur pada kisah-kisah realis seperti “Njai Dasima”, “Si Tjonat” juga lakon dari Barat semisal “Hamlet”.

Tahun 1925 berdiri Miss Riboet Orion dibawah pimpinan seorang Tionghoa terdidik bernama Tio Tek Djien. Rombongan ini memiliki primadonanya seorang penyanyi bernama Riboet.
Miss Riboet Orion saat itu dikagumi penontonnya karena adegan-adegan permainan pedangnya dalam setiap pertunjukannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Dardanella, rombongan pertunjukan yang berdiri setahun kemudian. Cerita pertama Dardanella diambil dari cerita-cerita barat seperti “The Thief of Baghdad” “Mask of Zorro” “The Count of Monte Cristo” dan lain-lain.

Tjeng Bok kecil lebih suka bermain daripada sekolah bahkan menurut beberapa sumber, dia hanya bersekolah selama 7 bulan karena berkali-kali dipukul gurunya akibat tidak pernah menghafal pelajaran.

Melihat kisah hidup Tjeng Bok, saya jadi teringat kisah hidup semasa kecil seorang superstar musik rock di masa dan tempat yang berbeda. Orang itu adalah Jimmy Page gitaris dan leader Led Zeppelin.
Jimmy Page selalu membawa gitar ke sekolah dan dia berkali-kali disuruh pulang oleh gurunya karena lebih memilih bermain gitar daripada belajar.
Karena Tjeng Bok tidak suka sekolah dia lebih menyukai bidang kesenian, maka dia memulai dengan menjadi tukang reklame bioskop, kemudian menjadi penjual sirup kepada penonton bioskop.
Berbagai pekerjaan dijalaninya, sampai akhirnya bertemu dengan seorang kawan yang menjadi pimpinan sebuah orkes keroncong. Kawan ini mengajaknya pentas sandiwara keliling kampung atau dari rumah ke rumah. Seiring berjalannya waktu setelah itu dia ikut rombongan Opera.

21 Juni 1926 di Sidoarjo Jawa Timur berdiri rombongan tonil Melayu yang melakukan pembaruan di dunia seni panggung rombongan ini bernama The Malay Opera Dardanella. Dan Tan Tjeng Bok akhirnya bergabung ke rombongan ini dan menjadi superstar.
Semula Ia hanya digaji 75 sen. Tapi karena ia berbakat dan pandai bermain anggar pula ia menjadi seniman terkaya di tahun 1920-an hingga tahun 1930-an. Bayarannya sebulan hingga f650 bahkan setiap bermain pernah mendapat bayaran f250.
Kepiawaian Tjeng Bok bermain anggar membuatnya dijuluki Douglas Fairbanks van Java membuatnya menjelma menjadi salah satu pemain andalan Dardanella.
Bila di tahun 1970-an hingga 1980-an di dunia perfilman di Indonesia dikenal The Big Five: Roy Marten, Robby Sugara, Yeni Rachman, Yattie Octavia, dan Doris Callebout, maka pada saat itu pun sudah dikenal The Big Five yaitu: Miss Dja, Miss Riboet, Tjeng Bok, Astaman, dan Ferry Kok.

Di sela-sela manggung bersama Dardanella, Tjeng Bok pun masih sempat menyanyi dan ikut kontes keroncong. Kepiawaiannya yang satu ini menggugah label piringan hitam ternama untuk merekam suara Tan Tjeng Bok.
Hal ini terbukti dengan adanya piringan hitam berlabel Jerman yang merekam suara Tan Tjeng Bok dengan lagu “Ballero” dan beberapa lagu lainnya yang dimiliki seorang kolektor piringan hitam. Juga ada plat gramofon berlabel “Krontjong Dardanella” dengan penyanyi Tan Tjeng Bok alias Si Item.
Jadi Tan Tjeng Bok selain bermain teater, film juga seorang penyanyi. Dan semua ini dilakoni Tjeng Bok sewaktu Indonesia masih dijajah Belanda.

Di masa itu, Dardanella sangat menaruh perhatian pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain pentas, mereka juga kerap mengikuti isu politik nasional misalnya ketika terjadi peristiwa Sumpah Pemuda di Batavia tahun 1928. Anggota kelompok ini ikut mendiskusikan peristiwa bersejarah tersebut dan menganggap peristiwa tersebut sebagai peristiwa yang teramat penting.

Banyaknya tawaran manggung untuk Dardanella, berdampak pula pada kesejahteraan pemainnya. Kehidupan glamour Tan Tjeng Bok yang membuatnya dikenal banyak orang, dikelilingi banyak perempuan-perempuan cantik yang membuat dia banyak terlibat kisah asmara. Namun Tjeng Bok kebablasan. Salah satunya adalah dia menjalin hubungan pribadi dengan Ibunda Piedro pimpinan Dardanella yaitu Ivera yang kemudian dinikahi oleh Tjeng Bok…

Malapetaka yang terjadi di Pematang Siantar ketika Tjeng Bok mengendarai mobil bersama Ivera kemudian menabrak orang hingga mati merupakan awal dari berakhirnya karir Tan Tjeng Bok di Dardanella, sehingga kontrak dengan Dardanella pun diputus.

Keluar dari Dardanella Tan Tjeng Bok bergabung dengan Miss Riboet Orion namun tidak bertahan lama. Tahun 1931 dia keluar kemudian bergabung dengan berbagai Group Opera lain karena ia tidak betah berlama-lama di sejumlah rombongan tonil itu.
Bahkan dari semua rombongan kesenian itu, tidak ada yang pernah bisa mengulang kesuksesan Tjeng Bok dibandingkan ketika saat ia masih bergabung bersama Dardanella.

Di tahun 1941 Tan Tjeng Bok akhirnya banting setir mulai merambah dunia film dan film pertamanya adalah “Srigala Item”. Tjeng Bok kemudian membintangi beberapa film lain dan semuanya sukses.

Salah satunya adalah “Tengkorak hidoep” yang digadang-gadang sebagai film Indonesia pertama yang meramu cerita modern dibalut fantasi. Bahkan bisa jadi ini adalah film horor pertama yang pernah ada di Indonesia.

Pada tahun 1942, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda, seluruh perusahaan film ditutup militer Jepang, sehingga Tjeng Bok kembali ke panggung sandiwara, dan Jepang memanfaatkan sandiwara sebagai propaganda perang mereka.

Namun nama Tan Tjeng Bok sempat disebut-sebut dalam dua karya memo aktivis 1945. Dalam bukunya, Sidik Kertapati menulis Bahar Razak dan Slamet alias Tan Tjeng Bok di bawah pimpinan Eri Sadewo hendak menculik Wikana dan Chairul Saleh. Mereka berdua berafiliasi dan terpengaruh Sjahrir dan Mohamad Hatta dalam pemikirannya, namun usaha penculikan ini gagal karena ada perlawanan.

Pasca kemerdekaan Tan Tjeng Bok sangat produktif berakting di layar lebar. Film pertama Tjeng Bok setelah kemerdekaan berjudul “Djula Djuli Bintang Tiga (1954)”, Lalu kemudian ada “Melarat tapi Sehat”, “Rela”, “Bapak bersalah” dan masih banyak lagi. Semua ini menunjukkan Tjeng Bok adalah seorang manusia yang berbakat dan mempunyai energi yang luar biasa besar.

Peristiwa berdarah terjadi pada 30 September 1965. Peristiwa yang sangat kontroversial ini di dalam sejarah resmi pemerintah, memposisikan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang utama. dan disebut-sebut pula Tiongkok berada dalam persekongkolan jahat ini yang mengakibatkan 7 (tujuh) jenderal terbunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Dari sini lantas keluar Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 tentang “Kebidjaksanaan jang menjangkut warga negara Indonesia keturunan asing”. Keppres ini menyarankan agar warga Tionghoa mengganti nama menjadi “Nama Indonesia”. Peristiwa politik saat itu memang membuat sejumlah WNI Tionghoa mengganti nama. Sinolog Tionghoa Indonesia, Leo Suryadinata, mengatakan jika keturunan Tionghoa tidak mengganti nama Indonesia dia akan dianggap tidak loyal kepada Indonesia.
Dan dalam keadaan politik tak menentu seperti saat itu, kebanyakan WNI Tionghoa mengajukan permohonan untuk mengganti namanya menjadi “nama Indonesia”.

Meski demikian, Keppres itu tidak mewajibkan WNI Tionghoa berganti “nama Indonesia” karena persoalan ganti nama, kata Leo, adalah masalah individu. lagipula sukar mengukur “keindonesiaan” seseorang apalagi masalah kesetiaan terhadap negara bila hanya diukur dari nama saja. Memang ada peranakan Tionghoa yang saat itu sudah dikenal dengan nama Tionghoa-nya tidak mengganti nama. Sebab kalau mengganti nama, kata Leo, dia tidak akan dikenal lagi oleh publik. Mungkin itu sebabnya Tan Tjeng Bok tidak mengganti namanya, karena ia merasa namanya sudah dikenal publik sejak masa kolonial. Lagi pula Tan Tjeng Bok juga dikenal dengan “nama Indonesia”: Pak Item.

Pada era tahun 1950an hingga 1970an Tan Tjeng Bok masih menjadi pemeran utama dan figuran di film-filmnya. Akan tetapi setelahnya ia hanya menjadi cameo dengan 1 (satu) kali pengambilan gambar berdurasi sangat singkat.

Salah satu film Tan Tjeng Bok berjudul “Drakula Mantu (1974)” menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma dinyatakan sebagai perpaduan antara film horor dan komedi pertama di dunia.
Sayangnya film ini tidak diedarkan secara internasional sehingga luput dari pengamatan. Sejarah malah mencatat film “Close Encounters of the spooky kind (1980)” sebagai film horor komedi pertama di dunia.

Selain kesibukan di dunia film Tan Tjeng Bok pun aktif bernyanyi dan melawak. Pada tahun 7 Juli 1973 Ia merekam suaranya dalam format kaset. Kaset pertama Tan Tjeng Bok bertajuk “Kroncong Asli Th. 1919” dengan tampilan sampul kasetnya terbilang unik.

Menjelang usia senja ketika tawaran main film semakin berkurang, salah satu upaya yang dilakukan oleh Tan Tjeng Bok adalah mendirikan group lawak yang didirikan pada tahun 1979 dengan nama Tan Tjeng Bok CS dimana semua anggotanya adalah wajah-wajah baru dalam dunia hiburan saat itu.

Awal 1980 kesehatan Tan Tjeng Bok semakin menurun. Bila kita melihat masa mudanya yang begitu bergelimang harta dan popularitas, namun di usia senjanya Tan Tjeng Bok hidup serba terbatas. Bahkan ia kesulitan untuk membiayai pengobatannya sediri sampai akhirnya orang lain yang harus turun tangan menolongnya.

Meskipun sudah sakit-sakitan dan kesehatannya sangat menurun namun gelora Tan Tjeng Bok di dunia pertunjukan kesenian masih menggebu-gebu. Tjeng Bok masih bermain di 2 (dua) film walaupun hanya sebagai cameo yaitu “Gadis Telepon (1983)” dan “Mandi Dalam Lumpur (1984)”.

15 Februari 1985 pukul 04.30 WIB Tan Tjeng Bok menghembuskan nafasnya yang terakhir. Maka berakhir sudah perjalanan seorang yang seniman besar tiga zaman itu, yang menurut pelawak almarhum S. Bagyo, Tan Tjeng Bok adalah seorang Godfather…

*Seluruh tulisan ini merupakan rangkuman dari diskusi “Tan Tjeng Bok, Seniman Tiga Zaman 1898–1985” yang diselenggarakan oleh Komunitas LayarKita bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) sebagai penyedia buku dengan judul yang sama, dan RoofTopKUN selaku tuan rumah penyelenggara.

Acara diskusi ini diselenggarakan pada Hari Sabtu tanggal 31 August 2019 jam 15.00–18.00, dengan narasumber kedua penulis buku ini, yakni Fandi Hutari dan Deddy Otara. (Tobing-LK)

--

--

Komunitas LayarKita
LayarKita

Komunitas pecinta ilmu pengetahuan dengan misi ‘merayakan kemanusiaan’ melalui film, buku, musik, seni & budaya.