Bebas-Aktif, Realpolitik

Kunjungan China Prabowo Refleksi Politik Luar Negeri Indonesia

Rick Windson
Le Citoyen
3 min readApr 7, 2024

--

Beberapa waktu lalu kita telah melihat Presiden terpilih Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto melakukan kunjungan luar negeri pertamanya purna-keputusan Komisi Pemilihan Umum 20 Maret lalu. Tujuan kunjungannya tak lain dari salah satu rising power di dunia dan kekuatan dominan di wilayah Asia, Republik Rakyat Tiongkok.

Agenda utama dari kunjungan ini adalah keberlanjutan hubungan dagang antara RRT dan Indonesia. Melansir Kontan, Prabowo memimpin delegasi berisikan sejumlah pengusaha yang berurusan dengan China di saat hubungan dagang dan investasi antara Indonesia dan China sedang maju-majunya.

Hubungan Dagang dan Investasi Tiongkok ke Indonesia Menjulang Masa Jokowi

China merupakan partner ekspor dan impor terbesar untuk Indonesia dan memakan 23.2% nilai ekspor luar negeri. Konglomerat Indonesia seperti anak karya Mochtar Riady, Lippo Group, juga memiliki pusat operasi di China seperti Lippo Ltd (226:HK). Tak heran apabila pemerintah melangsungkan kunjungan untuk terus menjaga hubungan baik yang krusial; kunjungan terakhir pun dilakukan Presiden Joko Widodo Oktober 2023 lalu.

Investasi besar-besaran China baik dari segi infrastruktur dan sektor otomotif terutama electric vehicles juga tengah dilangsungkan. Indonesia yang konon memiliki pasar terbesar di Asia Tenggara, sedang menggencarkan pembangunan infrastruktur, serta penyebarluasan daripada kendaraan listrik pun tak kunjung menutup diri terhadap negara tersebut. Adapun raksasa kendaraan listrik China, BYD (1211:HKD), sedang dalam proses membuka operasi di Indonesia dengan menggelontorkan USD 1.3 miliar untuk membangun pabrik manufaktur dengan kapasitas 150,000 mobil demi bertarung memperebutkan pangsa pasar nusantara melawan macam Tesla, Hyundai, dan Wuling (juga perusahaan asal Tiongkok).

BYD hanya bagian kecil dari investasi China ke Indonesia. Data FDI menunjukan adanya penanaman modal asing China ke Indonesia sebesar USD 16 miliar sejak 2014–dengan kenaikan sebesar ~4x antara 2014–2021 yang notabene terjadi sejak masa Presiden Jokowi. Pembangunan dan pemeliharaan hubungan baik dengan China semasa pemerintahan Presiden Jokowi dirasa akan terus dilanjutkan oleh Prabowo–terlepas dari posisi pribadi dan histori pengadaan alutsistanya sebagai Menteri Pertahanan.

Kritik dan Persepsi atas Lawatan Prabowo ke China

Kunjungan Prabowo ini juga menuai kritik dari lawan. Kian komentar pedas datang dari Mardani Ali Sera, Ketua DPP PKS, salah satu parpol pengusung Anies-Muhaimin. “Akan tetapi, penyambutan dan suasana di luar negeri seperti presiden terpilih,” katanya. ”Apa juga urgensinya (lawatan) dilakukan sekarang. Lebih elok dan benar tunggu hingga [ke]putusan MK,” ujarnya.

State visit ini juga menghasilkan sedikit banyak persepsi mengenai potensi kecondongan RI dalam berporos di panggung internasional. Dari segi geopolitik diplomasi, kunjungan Prabowo seakan-akan terlihat sebagai prioritas China untuk menggandeng Indonesia — terutama dari pelukan kawan lama Amerika Serikat.

Prabowo, yang selama menjadi Menteri Pertahanan nampak memasang postur pertahanan yang dapat dikatakan pro-Amerika, berada di posisi yang agak nyaru. Alih-alih selaras dengan kebijakan pertahanannya yang American-oriented, pada kenyataannya ketergantungan Indonesia dengan China tidak bisa diabaikan begitu saja, justru harus dijaga. Bisnis ada di China, modal ada di China, dan oleh karena itu, dapat dikatakan hubungan dengan negara macan Asia ini adalah bagian krusial dari kepentingan nasional.

Padahal, secara ideologis dan historis, paham komunis ialah macam haram di Indonesia. China pun sebagai negara yang menganut paham komunis (secara ideologis) baru membuka hubungan kembali dengan Indonesia pada tahun 1990an setelah runtuhnya diplomasi pasca-Gerstok. Kunjungan seperti ini bisa jadi sebuah refleksi atas praktik realpolitik Indonesia di panggung internasional: ‘Bebas-Aktif-Realpolitik.’ Pertanyaan menarik yang mungkin bisa kita kunjungi kembali di lain hari adalah sejauh mana Realpolitik mempengaruhi hubungan luar negeri Indonesia (how far Realpolitik can swing the national interest).

Sedangkan, di Jakarta, hasil daripada pemilihan umum 2024 masih ditengahi perdebatan panas di Mahkamah Konstitusi, yang sedang memeriksa gugatan sengketa Pemilu. Walau banyak yang bisa setuju dengan komentar Mardani Ali Sera dari PKS, nampaknya the business of governance tetap harus berlanjut.

Nantikan laporan dan analisis selanjutnya dari Le Citoyen.

Rick Bayuputra, Apr 7 2024.

--

--

Rick Windson
Le Citoyen

Award-winning audio journalist and author - but not quite there yet.