Dibalik ‘Defeatisme’ Gen Z

Pesimisme & Aspirasi Tak Sampai Generasi Penentu

Rick Windson
Le Citoyen
7 min readMay 27, 2024

--

Media dan siaran pers sering menobatkan Generasi ‘Z’, generasi yang lahir di penghujung dan awal millenia, sebagai ujung tombak kemajuan Indonesia. Gen Z di Indonesia dicirikan dengan ‘serba melek’: teknologi, sosial-politik, kesadaran kewarganegaraan yang tinggi, serta lebih melek finansial secara relatif dibanding generasi sebelumnya.

Namun, Gen Z juga sering mengekspresikan ketidakpuasan terhadap kehidupan, terutama dari aspek ekonomi, politik, dan bahkan aspek pribadi, walau Indonesia di tengah ‘high watermark’ secara pembangunan.

Masa depan bangsa Indonesia kerap ‘dibebankan’ kepada generasi muda. Untuk Gen Z, the future is now — and it’s not looking so good.

Gen Z merupakan generasi dengan populasi terbesar saat ini

Saat ini pun, Gen Z, yang menurut Psikolog Jean Twenge merupakan generasi yang lahir antara 1995 dan 2012, berjumlah 75 juta jiwa, sekitar 27% penduduk Indonesia dan memiliki proporsi terbesar antara generasi lainnya. Bersama dengan generasi milenial (69 juta jiwa) merekalah yang digadang-gadang sebagai perwujudan ‘surplus demografi’ oleh pemerintah.

Tema ‘surplus penduduk’ pula adalah sebuah pedang ekonomi berbilah dua. Gabungan Gen Z dan Milenial memiliki prospek besar dari segi potensi ekonomi, baik sebagai angkatan kerja maupun sebagai konsumen. Di sisi lain, potensi ini juga dapat menciptakan risiko besar apabila tidak dipelihara dengan baik dengan kebijakan kependudukan dan ketenagakerjaan yang mumpuni.

Ekspresionisme Gen Z juga patut disanjung, yang tidak hanya terbatas pada partisipasinya dalam pop culture, melainkan juga ke bidang politik. Hal ini sangat tampak dalam pemilihan umum 2024 lalu.

Namun, terdapat suatu hal yang cukup menyayangkan untuk Gen Z. Penelusuran singkat di platform media sosial populer seperti Twitter (‘X’) dan Instagram membuahkan sebuah insight terhadap personal outlook yang tidak kunjung positif terhadap masa depan.

Kecemasan terhadap kemampuan ekonomi pribadi, terutama kesulitan memiliki tempat tinggal karena harganya yang relatif mahal apabila dibandingkan terhadap tingkat pendapatan, merupakan satu aspek besar.

Di sisi lain, perdebatan sengit di Twitter dan aktivisme dunia nyata mengenai isu sosial politik pun berisi tren pendapat tidak optimis dalam dimensi kehidupan bernegara. Praktik KKN dalam pemerintahan, ketakutan akan negara otoriter, serta sikap pesimis terhadap institusi hukum dan pemerintah adalah hal yang lumrah kita dengar (atau baca).

Apakah generasi muda Indonesia semakin hari semakin ‘keok’?

Fenomena ekonomi dan politik ini seakan-akan menghasilkan mental ‘defeatism’ dari kalangan pemuda Indonesia, yang notabene secara historis menjadi motor perubahan bangsa dan perjuangan generasional. Ganjilnya, outlook yang defeatist para Gen Z muncul pada masa di mana Indonesia bisa dikatakan sedang makmur-makmurnya.

Indonesia sekarang tergolong ‘High-Income Country’ — World Bank. Pada tahun 2022, Indonesia mencatat Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Income) per capita Indonesia di angka USD 14,250 per tahun (~IDR 168.5 juta per tahun), hal yang membuat Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah akhir-akhir ini dianggap sebagai middle income country.

Indikator ekonomi menunjukkan Indonesia mengalami pertumbuhan yang kuat yang dibarengi naiknya kualitas hidup. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun berkembang pesat dan konsisten. Antara tahun 2013 s.d. 2023, Indonesia mencatat rentang pertumbuhan ekonomi sebanyak 4–5% per tahun (minus 2020). Adapun unemployment rate sedang ada di titik terendah sejak 1993 (notabene adalah zenit Orde Baru), yakni di 3.3% (World Bank). Kuatnya pertumbuhan ekonomi juga dibarengi terus naiknya Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang tergolong ‘Tinggi’ (Skor 0.713).

Nampaknya, keadaan masa kini memperlihatkan perkembangan yang luar biasa untuk Indonesia. Alhasil, apakah kecemasan Gen Z di atas sesungguhnya tidak berdasar? Apakah gerakan ‘Revolusi Mental’ yang digadang-gadangkan sejak tahun 2016 tidak berhasil membangkitkan gairah Gen Z sebagai pilar menuju Indonesia emas?

Standar Tinggi Gen Z — datang dari entitlement atau motor penggerak perubahan yang lebih baik?

Sebuah hipotesis dari kami adalah Gen Z memegang standar yang lebih tinggi terhadap quality of life serta akuntabilitas pada pemerintahan dibanding generasi-generasi sebelumnya.

Pengaruh media sosial dan internet kepada harapan kehidupan. Barangkali hal ini terjadi sebab eksposur terhadap kehidupan bernegara yang lebih baik yang didapatkan melalui media sosial serta ‘berbagi asa dan bahagia’ di platform seperti Twitter dan Instagram. Kedua platform ini kerap menjadi penyambung lidah rakyat, bahkan, bisa dikatakan lebih hebat dibandingkan anggota dewan perwakilan manapun. Menelisik dari segi politik dan ekonomi, ternyata banyak gerakan (seperti What is Up Indonesia/bijakmemilih) maupun brand (alias new age brand) juga hidup dan mati melalui media sosial ini.

Adapun praktik semacam benchmarking dengan negara lain membuat sejumlah Gen Z yang vokal berekspektasi tinggi terhadap kualitas kehidupan. Hal ini jangan di-confuse dengan rasa ‘entitlement.’ Narasi yang populer mencerminkan aspirasi banyak ‘kaula muda’ ingin hidup di negara semacam Korea Selatan, Jepang, Swedia, atau Inggris yang memiliki public service yang baik, kualitas hidup terjamin, serta ‘sejahtera walau tak kaya.’ Sedangkan realitas di Indonesia belum sejengkalpun mendekati demikian. Barangkali rekan-rekan Gen Z juga belum sadar bahwa di negara-negara tersebut, sebenarnya, orang juga sulit membeli rumah, dengan alasan yang hampir mirip.

Keinginan memiliki rumah dan hidup sejahtera masih menjadi cita-cita para Gen Z. Mengutip Indonesia Gen Z Report 2024 oleh IDN Research, tak jauh berbeda dari generasi sebelumnya, kepemilikan rumah merupakan salah satu pemenuhan financial goals dari Gen Z.

Namun, tingkat pendapatan dengan harga rumah tidak sejajar dengan pendapatan Gen Z. Menurut IDN Times per 2023 rata-rata pendapatan Gen Z di Indonesia hanya mencapai angka IDR 2.5 juta per bulan, sedangkan harga rumah dengan tipe paling kecil di daerah Jabodetabek rata-rata memiliki cicilan IDR 7 juta per bulan, belum lagi apabila terdapat kenaikan rasio bunga pada tahun-tahun berikutnya.

Defeatisme atau Aspirasi Kolektif yang menjadi motor penggerak arah bangsa kedepan: ‘Anak Abah’ yang dimotori Gen Z dan komunitas K-Pop

Tempo hari kami tengah membaca karya bunga rampai esai mendiang Sabam Siagian, seorang diplomat dan di antara lain pencapaian hidupnya seorang founding member Jakarta Post. Menyadur mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ‘Generasi muda yang bersemangat akan dapat memajukan negeri,’ — memang generasi muda lah yang memasang standar untuk ke depannya, sebelum diganti oleh generasi yang lebih baru lagi.

Almarhum Sabam yang cukup legendaris di lingkaran jurnalis dan pemerintahan ini barangkali dapat tersenyum melihat kampanye Anies Baswedan kemarin, yang mana disokong oleh ramainya dukungan Gen Z dan Milenial muda. Tim Anies sendiri dengan akun Twitter populer @aniesbubble mampu menjadi sarana penyampaian aspirasi masyarakat luas.

Gambar: Media Indonesia

Populernya gerakan ‘Abah Anies’ yang tumbuh secara considerably organik juga ditandai gerbong fans K-Pop, suatu komunitas yang dibangun berdasarkan hubungan parasocial dengan idols.

K-Pop sebagai fenomena secara mengejutkan ternyata juga menjadi jaringan aspirasi sendirinya yang sangat terorganisir dan surprisingly action-oriented. Fraksi K-Pop Abah Anies ini justru berhasil menggerakkan pendukung Anies yang kerap disebut ‘Anak Abah’ hingga membuat fans project berupa videotron di sekian banyak penjuru Indonesia dengan sedikit gimmick ke-Koreaan untuk mendukung calon 01 itu.

Tingginya popularitas calon 01 di kalangan milenial muda dan Gen Z dilatarbelakangi oleh kesenangan mereka terhadap visi dan misi mantan Gubernur DKI itu, yang merupakan seorang ekonom secara pendidikan dengan poin-poin tajam dan konkret untuk men-tackle banyak masalah Gen Z. Tak luput ide-ide itu disampaikannya dalam kampanye dengan cara penyampaian yang intelektual namun mudah diterima.

Uniknya, tren mendukung paslon dengan teknik membuat akun, website hingga fan merch dengan dalih-dalih “Stan” baru muncul pada pemilu 2024 ini. Siapa sangka ternyata ide yang amat kreatif ini ternyata diprakarsai oleh para milenial muda dan Gen Z!

Changing the Playing Fields: Concern Generasi Z Menjadi Tolak Posisi Kunci Kontestasi Politik di Masa Depan

Sejatinya semua generasi pasti memiliki harapan akan masa depan Indonesia yang lebih baik. Akan tetapi, hal itu akan menjadi sia-sia apabila tidak diikutsertakan dengan aksi yang nyata seperti keikutsertaan dalam pemilu.

Sebagaimana Milenial menjadi fokus kebijakan pada pemerintahan Jokowi (2014–2024), Gen Z dengan segala warna dan polemiknya harus menjadi fokus pemangku kepentingan ke depannya. Walau Milenial masih menjadi angka mayoritas dari peserta Pemilu 2024, Gen Z dan isu-isu yang mereka prioritaskan justru menjadi konsiderasi besar pembuat kebijakan pada pemilu yang akan datang.

Isu Kunci untuk Gen Z dan beragam policy pitfalls. Karena erat dengan keberhidupan Gen Z, kepemilikan rumah, biaya pendidikan, akuntabilitas pemerintah, dan reformasi birokrasi yang anti-KKN akan menjadi isu-isu kunci ke depannya. On top of isu-isu ini, muncul juga beragam isu khusus Gen Z yang perlu masuk dalam posisi partai politik dan policymakers ke depan, seperti kesadaran kultural, rasisme, dan keterbukaan diskusi ideologis. Tentunya cara-cara bespoke perlu dipertimbangkan untuk menjaring aspirasi dan mengakomodasi kepentingan Gen Z ini.

Walau Gen Z seringkali komplain dan terus bergebu-gebu mengenai kehidupan ideal, ini bukanlah pertanda bahwa generasi muda bangsa Indonesia adalah ‘anak mami’. Justru, ini bisa kita lihat sebagai suatu semangat generasional yang memiliki aspirasi untuk berjuang demi Indonesia yang lebih baik, anti-KKN, memiliki pemerintahan yang akuntabel, intelek, serta perekonomian yang mendukung kualitas hidup secara kolektif.

Doa dan harap kami adalah semoga kami tidak melakukan mis-analisis terhadap tren-tren ini — dan rekan-rekan Gen Z (kami juga Gen Z, by the way) terus berjuang dan bergerak dengan cara masing-masing. Lebih hebat lagi kalau terus berani berjuang secara politik dan advokasi kebijakan, dengan banyaknya instrumen yang kita miliki sekarang. Dan tak kalah penting, atau justru lebih penting, semoga tatkala suatu hari kita semua dapat membeli rumah yang nyaman.

Nantikan catatan, laporan, dan analisis lainnya dari Le Citoyen (back in business).

RB MS, Mei 2024

--

--

Rick Windson
Le Citoyen

Award-winning audio journalist and author - but not quite there yet.