Eskalasi Timur Tengah di Tangan Netanyahu

Analisis Pasca-Serangan Iran

Rick Windson
Le Citoyen
4 min readApr 14, 2024

--

JAKARTA (14/04) -- Tidak beberapa jam lalu Republik Islam Iran (Iran) telah mengirimkan ~200 pesawat tidak berawak (Unmanned Aerial Vehicles/UAV) dan peluru kendali jarak panjang untuk menyerang wilayah Israel. Iran menyerang sebagai retaliasi terhadap serangan Israel ke konsulat Iran di Damascus beberapa waktu lalu. Serangan udara Israel ini disebabkan dukungan Iran terhadap organisasi militan Hamas dan kelompok bersenjata Hezbollah — keduanya aktif engaged di perbatasan utara dan selatan Israel sejak Oktober 2023 lalu.

Serangan Iran yang terjadi semalam (13–14 April 2024) berhasil dibendung oleh sistem perlindungan misil ‘Iron Dome’ milik Israel, dengan intersepsi oleh kekuatan gabungan angkatan udara dan laut Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kerajaan Yordania; Yordania konon menghantam misil dan pesawat tak berawak yang masuk ke dalam airspace mereka sendiri.

Sistem Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Israel als. ‘Iron Dome’ mengintersepsi serangan Iran semalam. Sumber: AFP.

Analis: Serangan Iran untuk Me-Reset Deterrence

Khalayak ramai menganggap bahwa ini adalah awal mula dari Perang Dunia yang digadang-gadang akan muncul dalam waktu dekat. Namun sejumlah analis ulung seperti Ian Bremmer berpendapat bahwa serangan Iran ini hanya untuk “me-reset kemampuan deteren untuk memaksa de-eskalasi” dan bahwa “Iran tidak mengincar peperangan skala besar.”

Di luar kancah peperangan timur tengah yang telah membludak sejak serangan Hamas dan balasan Israel di Gaza Oktober 2023 lalu, percaturan internasional masih berlanjut dari segi diplomatis.

Pernyataan resmi dari masing-masing pemerintah menyatakan bahwa eskalasi lebih lanjut bukanlah hal yang mereka preferensikan.

Pernyataan resmi dari perwakilan Iran di PBB menyatakan serangan ini dilakukan dalam pembelaan diri (self-defense) sebagai respons dari pemboman konsulat di Damaskus — dan merupakan aksi militer terakhir terkait balasan tersebut.

Diplomasi era baru — pernyataan sikap melalui bentuk Tweet. Post asli: https://x.com/Iran_UN/status/1779269993043022053

Namun seperti segala hal dalam politik timur tengah yang kita lihat sejauh ini, balas-membalas antara Israel dan Iran akan menjadi kunci daripada eskalasi ke depannya.

Serangan Balik Israel: Mungkin, Tetapi Terbatas

Kabar beredar bahwa Presiden AS Joe Biden telah berkorespondensi dengan PM Israel Benjamin Netanyahu bahwa AS tidak akan membantu tindakan ofensif (military offensive) ke Iran.

Kurangnya political will dari publik Amerika untuk mengadakan peperangan asing, kian mendekatnya kita ke pemilihan umum AS, serta jauhnya jarak tempuh antara Iran dan Israel, serta keengganan negara sekutu seperti Kuwait untuk membolehkan serangan AS ke Iran, juga membuat bantuan langsung apapun sangat mahal dan tidak praktis secara logistik.

Informasi beredar bahwa Presiden Joe Biden (kiri) dan PM Netanyahu (kanan) telah berkorespondensi via telepon terkait enggannya AS membantu serangan balik Israel ke Iran (Foto: Antara News)

Di sisi lain, Israel juga tidak dalam posisi untuk melakukan serangan balik yang signifikan seperti ofensif darat. Tindakan Israel terbatas pada wujud defensif atau melalui kampanye udara terbatas (limited air campaign). Israel juga menengahi konflik bersenjata (actively engaged) dengan Hamas di Gaza dan Hezbollah di perbatasan utara dengan Lebanon.

Adapun jarak yang luar biasa jauh meletakkan angkatan udara Israel dan Iran ke dalam risiko intersepsi dan transgresi diplomatik yang besar dari negara tetangga seperti Iraq dan Yordania.

Tanpa bantuan Amerika Serikat c.s. eskalasi besar-besaran konflik di Timur Tengah nampak unlikely. Kecuali adanya pengkonsolidasian pasukan (troop build-up) koalisi internasional di perbatasan Iran oleh pasukan sekutu semacam Perang Teluk (1990-1991/Operation Desert Shield dan Desert Storm) dan Perang Iraq (2003/Operation Iraqi Freedom), nampaknya perang berskala besar belum terlihat mungkin. Secara logistik, diplomatis, ekonomi, tiada negara yang mungkin atau dapat mengambil keuntungan dari eskalasi konflik besar seperti perang dunia yang telah kita lihat sebelumnya.

Kisah Fenomenal Proyeksi Kekuatan Israel: Pemboman Reaktor Osirak (1981)

Operasi ‘Opera’ — serangan udara presisi Israel terhadap reaktor nuklir Iraq masa Saddam Hussein di Osirak tahun 1981.

Namun, Israel yang historis terkenal nekat pernah melakukan operasi jarak jauh serupa pada tahun 1981. Ketakutan Israel akan munculnya Iraq sebagai nuclear power di Timur Tengah berujung pada eksekusi Operation Opera — serangan udara terhadap reaktor nuklir Iraq di Osirak. Dalam operasi ini, delapan pesawat pemburu F-16A ‘Netz’ dari Angkatan Udara Israel melakukan penerbangan sejauh ribuan kilometer untuk melakukan pemboman terhadap reaktor nuklir tersebut. Walau kontroversial, serangan semacam ini membuktikan kemampuan proyeksi kekuatan jarak jauh Israel melalui angkatan udaranya.

Serangan balasan bisa jadi tidak hanya ditujukan kepada Iran secara langsung; most likely serangan semacam Osirak ini terjadi kepada posisi militan pro-Iran di Suriah dan Iraq, di mana satuan semacam Korps Garda Revolusioner Iran (IGRC) sangat aktif.

Pada ujungnya, eskalasi berikutnya — baik practicable maupun tidak — berada di tangan Benjamin Netanyahu.

Pantau terus Le Citoyen untuk laporan dan analisis berikutnya.

Rick Bayuputra April 14 2024.

--

--

Rick Windson
Le Citoyen

Award-winning audio journalist and author - but not quite there yet.