Jokowi: Menggigit Tangan yang Memberi Makan

Rick Windson
Le Citoyen
Published in
7 min readApr 7, 2024

Pengantar untuk serangkaian esai tematis kebijakan nasional oleh Rick Bayuputra dan Samuel Simanjuntak.

Tahun 2024 merupakan tahun terakhir masa jabatan dua periode Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Kita telah melihat anggota kawakan PDI Perjuangan ini mencuat dari awal yang sederhana sebagai pengusaha mebel, hingga pendekatan à la grassroot blusukan sebagai Wali Kota Surakarta, kemudian terpilih sebagai Gubernur DKI, dan akhirnya menduduki jabatan presiden dalam selang 4–5 tahun. Jokowi pun kembali terpilih dalam kontestasi politik akbar Pilpres 2019 untuk kedua kalinya.

“Pada tahun 2014, ada slogan, ‘Jokowi adalah kita’. Dia bukanlah politikus Indonesia tipikal,” ucap analis politik senior Firman Noor, BRIN. “Semua orang memiliki harapan tinggi untuk demokrasi yang lebih baik.”

Sebuah opini Aljazeera secara retrospektif menggambarkan dengan sempurna antusiasme di balik kebangkitan Jokowi: “Seorang mantan walikota progresif yang berasal dari Surakarta, Jokowi mewakili alternatif yang jelas dari para oligark Jakarta,” Pada tahun 2024, pendapat tentang presiden Indonesia ini tidak bisa lebih terpecah belah.

Jokowi sempat dilihat sebagai personifikasi kuat nilai-nilai PDI Perjuangan sebagai organisasi politik. Partai yang berakar Marhaenis, sosial-demokrat, dan populis ini mendapat dukungannya dari pekerja dan petani — yang mana merupakan mayoritas besar penduduk Indonesia. PDIP juga mengklaim legasi dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh tak lain dari mendiang Presiden Sukarno. Megawati Soekarnoputri, putrinya, telah menjabat sebagai ketua PDIP sejak tahun 1990an, menambah legitimasi historis dan popularitas partai. Pada akhirnya, naiknya popularitas Pak Jokowi dibarengi dengan beralihnya PDIP dari oposisi gigih masa Presiden SBY, menjadi partai pemerintahan yang berkuasa. Di atas itu, ialah kesempatan untuk melakukan perubahan nyata, sesuatu yang mereka capai dalam 10 tahun terakhir dalam pemerintahan, meskipun baik-buruknya perubahan demikian tetap menjadi perdebatan. (Hal ini seperti PSN, IKN, Omnibus, KPK, dst. Dapat kita bahas di lain waktu)

Kepresidenan Jokowi dianggap sebagai masa reformasi sejumlah sektor industri serta pembangunan infrastruktur yang cepat dengan tujuan pemerataan ekonomi–hal yang sejalan dengan mandat ideologis PDIP. Adapun seorang Presiden tatkala bisa dibilang juga seorang manusia, lantas, ada amal dan dosanya. Meskipun perubahan datang dalam bentuk reformasi birokrasi, restrukturisasi strategis badan usaha milik negara, dan hilirisasi industri krusial (terutama sektor nikel dan batu bara), catatan hitam ‘Pakde’ tetap prominen. Perambahan hak-hak sipil dan politik, misalnya. ‘Kebiri’ Komisi Pemberantasan Korupsi–lembaga penegak hukum yang bisa dibilang superpower menangani kasus korupsi yang merupakan ciri khas periode Reformasi; sejumlah kasus ujaran kebencian yang terkenal termasuk melibatkan wakil gubernurnya dulu, Basuki Tjahaja Purnama (als. Ahok); serta kerjasama dengan pendana asal Tiongkok untuk membiayai pembangunan infrastruktur dalam negeri dengan utang luar negeri; ini hadir dari para kritiknya yang semakin hari semakin marak.

Presiden Jokowi saat diwaancara BBC, 2020 (Image: BBC News Indonesia)

Dalam sebuah wawancara BBC Jokowi menyatakan prioritasnya; dan hak asasi manusia bukanlah yang paling utama dalam daftar itu, sesuatu yang oleh pendukungnya dikatakan realistis melihat kebutuhan ekonomi dan realisme politik tidak muluk-muluk Pakde. “… Prioritas yang saya ambil memang di bidang ekonomi terlebih dahulu. Tapi memang bukan saya tidak senang dengan urusan HAM, atau tidak senang dengan lingkungan, tidak, kita juga kerjakan itu, […] Tapi memang, kita baru memberikan prioritas yang berkaitan dengan ekonomi karena rakyat memerlukan pekerjaan. Rakyat perlu ekonominya tambah sejahtera.”

Kisah Jokowi adalah kisah zero-to-hero-to-villain, setidaknya, dari kacamata PDI Perjuangan. Pertentangan antara Jokowi dan Megawati tak pernah jadi rahasia, di mana seiring berjalannya waktu kita melihat Presiden memperluas pengaruhnya sebagai pemangku jabatan dua periode–hal yang Ibu Megawati sendiri tidak mampu lakukan pada awal 2000an dulu. Namun, perebutan pengaruh ini berujung pada klimaks mendekati Pemilu 2024 lalu.

Bukan rahasia lagi bahwa Pemilu 2024 diselimuti kontroversi. Banyak poin-poin kontroversi ini berpusat di Pak Presiden sendiri. Initially, jelas bahwa PDIP akan mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang terkenal energetik, bersahaja, dan penuh canda, sebagai calon presiden. Pada saat itu, Presiden Jokowi tampak sepenuhnya mendukung pilihan ini. Ganjar juga dianggap sebagai pengganti Jokowi — seorang figur yang memiliki pendekatan populis yang sangat mirip, if not better, dan tentu saja tidak lacking dalam karisma. Pada awal 2023, survei nasional juga melihat elektabilitas Ganjar bahkan melebihi Gubernur DKI Anies Baswedan dan dalam posisi head-to-head dengan Menteri Pertahanan serta rival Jokowi di 2019, Prabowo Subianto. PDIP oleh karenanya berada dalam posisi kompetitif dan pede bisa mencapai hasil nyata dalam kontestasi yang akan datang.

Pada akhir 2023, keadaan berbalik bagi Ganjar Pranowo, Megawati, dan PDIP. Di Istana Batu Tulis Bogor (yang pernah menjadi kediaman Presiden Soekarno, dan Ibu Mega pada tahun 1960-an), Megawati siap untuk mengumumkan pencalonan presiden Pak Ganjar. Jokowi pun hadir mengenakan corak batik yang ganjil dan nampak sengaja dipilih; walau penulis bukan ahli batik (jangankan batik tulis), sejumlah komentator menginterpretasikan batik yang dikenakan Presiden sebagai pernyataan pemberontakan–lagipula, subtleties dan semiotika, merupakan ciri khas politik Jawa.

‘The Notorious Batik’ yang dikenakan Jokowi saat deklarasi dukungan PDI Perjuangan atas Ganjar Pranowo sebagai bakal calon Presiden 2023 lalu. (Gambar: DetikNews)

Jokowi kemudian memilih untuk mendukung kandidat yang berbeda — Prabowo, mantan rivalnya. Partai-partai besar seperti Golkar, Demokrat (yang awalnya oposisi), dan Gerindra milik Prabowo sendiri berbondong-bondong untuk mendukung pencalonan Prabowo, serta membentuk koalisi yang terdiri dari elit politik; banyak dari mereka juga merupakan associates Presiden Soeharto semasa Orba, tak beda jauh dengan Prabowo yang notabene mantan menantunya sendiri. Mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah persyaratan usia untuk calon presiden/wakil presiden, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming, menjadi calon wakil presiden Prabowo.

Kubu ‘02’ hadir dengan cast yang unik. New Man seperti Jokowi duduk bersama rekan-rekan era Soeharto/Orde Baru, dengan beberapa anggota mengejutkan seperti aktivis anti-Soeharto dan politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko. Winning combination dari pengaruh, modal, dan popularitas inilah yang mengukuhkan kemenangan Prabowo-Gibran, beserta perolehan signifikan di parlemen dari partai pengusung, sebagaimana KPU umumkan tengah Maret 2024.

Serasa biting the hand that feeds, Jokowi menjadi figur ‘independen yang lepas dari kendali Bu Mega’ dan pada waktu yang sama sebagai ‘pengkhianat yang tidak tahu diri dan kampungan.’ Lantas, legasi Jokowi diisi oleh patah hati dan rasa pengkhianatan yang besar dari kubu PDIP. “Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranata kebaikan dan konstitusi,” Ujar Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Kemenangan ini, meskipun tampaknya cukup straightforward di atas kertas, diselubungi oleh kontroversi dan diskursus sebagaimana kita sudah lihat sendiri di masyarakat dan sengketa Mahkamah Konstitusi yang sedang berlangsung. Antara lain adanya pokok bahasan mengenai penggunaan kekuasaannya sebagai Presiden untuk merekayasa Pemilu 2024. Penyebaran pasokan Bantuan Sosial (Bansos) di daerah rawan, membayang-bayangi calon presiden 01 dan 03 di jejak kampanye, dan realokasi misterius APBN–yang rumornya tanpa persetujuan Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Menteri Keuangan teknokrat terkemuka Sri Mulyani–untuk memfasilitasi Bansos. Hal-hal tersebut hadir sebagai poin-poin argumentasi dalam sengketa Mahkamah Konstitusi yang sedang berlangsung atas hasil pemilu, sebagaimana diajukan oleh tim hukum calon presiden Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo (yang mana akan kita bahas pada lain waktu secara mendalam).

Di akhir cerita, Jokowi the New Man tampaknya telah berhasil memilih teman yang tepat dengan pengaruh yang tepat, dan dengan cerdik memakan tangan yang memberinya makan. Beliau pun, dengan caranya sendiri, telah meningkatkan dirinya menjadi figur kunci yang mengorkestrasi establishment politik Indonesia–beberapa bahkan menggunakan istilah Kingmaker. Sebuah pencapaian dengan sendirinya–di atas banyak terobosan kebijakan yang dia buat selama kepresidenannya, baik maupun buruk. Namun demikian, komentar publik dari tokoh politik senior memberi Jokowi the Mark of Cain… Paling tidak dari para losers tahun 2024.

Meskipun kami tidak diberkati dengan nubuat ala Paul Muad’dib Atreides, bisa dikatakan bahwa waktu ke depan adalah masa smooth sailing bagi Jokowi cs. Namun, bagi posisi partai yang ‘kalah’, di sini, masih ada satu jalur perlawanan politik: perolehan suara di DPR.

Ilustrasi distribusi perolehan suara DPR RI oleh Tim Le Citoyen berdasarkan Keputusan KPU № 360 Tahun 2024.

Saat ini (per tanggal 30 Maret) PDIP memiliki 110 kursi (18.9%) di parlemen, dengan PKB yang didukung Nahdlatul Ulama memegang 68 (11.72%). Keduanya dianggap dapat kerja sama menjadi oposisi, kemungkinan bersama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (9.14%). Pergerakan ke depan akan menjadi bahan kajian yang menarik terutama bagaimana koalisi ini dapat dibentuk (atau tidak). Meskipun Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) dengan antusias menyatakan bahwa PDIP akan tetap menjadi oposisi terhadap pemerintahan Prabowo, Kongres PDIP yang akan datang pada awal 2025 justru membuat pernyataan macam ini cukup hampa. Pemilihan ketua dan pengurus PDIP, dan sebagai akibatnya, posisi dan kebijakan partai secara umum, masih terbuka lebar. Prananda Prabowo atau Ketua DPR saat ini Puan Maharani, mungkin saja melihat lebih banyak keuntungan untuk berkawan dengan pemerintah — dan di Indonesia, politik benefit dan keberlanjutan adalah raja.

Pemilihan Prabowo tidak berarti 100% kelanjutan kebijakan Jokowi, apalagi politiknya. Tidak ada hal yang menghentikan Prabowo, meskipun berutang pada Jokowi, untuk melangkah sesuai keinginannya. Basis partainya yang kuat, loyalitas personal dan institusional, barangkali merupakan modal yang cukup untuk melakukan apa pun yang diinginkannya.

Tidak ada yang pasti dari legasi. Sementara Jokowi menutup kepresidenannya dengan apa yang tampaknya merupakan kelanjutan masa jabatan 10 tahunnya dan carry-over-nya proyek strategis ke pemerintahan baru, rasanya tidak bijak untuk mengabaikan pertaruhan ke depan. Seperti film yang bagus, kali ini seakan ada lebih banyak tanda tanya ketimbang jawaban, di masa transisi antara hari-hari terakhir Kepresidenan Jokowi ke penyumpahan Prabowo Oktober nanti — hal yang bagi banyak orang merupakan sesuatu yang telah dinantikan sejak lama.

Lucunya, bagi rakyat luas, barangkali kontestasi untuk Istana dan Senayan tidaklah mengubah kehidupan sehari-hari. Segala hal berjalan biasa-biasa saja. Seakan-akan, kontestasi politik yang memenuhi FYP kita hanyalah guyonan di tengah pekan.

Nantikan laporan dan analisis selanjutnya dari Le Citoyen.

--

--

Rick Windson
Le Citoyen

Award-winning audio journalist and author - but not quite there yet.