Runtuhnya front oposisi terakhir

potensi koalisi 91% DPR RI di depan mata

Rick Windson
Le Citoyen
7 min readApr 21, 2024

--

Foto Puan dan Prabowo saat kunjungan tahun 2022 lalu.

Pertengahan April 2024 ini kita telah mendengar info mengenai rencana pertemuan antara Ketua PDI Perjuangan dan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri dengan sang Presiden-terpilih Prabowo Subianto. Tujuan kunjungan ini masih berupa misteri sampai saat ini. Alhasil, khalayak umum mulai ramai dengan komentar dan prediksinya masing-masing di pusaran opini massa dan media sosial.

Barangkali rencana kunjungan ini adalah pertanda bahwa PDI Perjuangan akan menentukan posisinya sebagai bagian dari koalisi pemerintah. Atau, ini hanyalah kunjungan belaka yang tidak berarti.

Walau berbagai partai-partai politik secara berbondong-bondong jalan mem-backing calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden pilihannya pada Pemilu 2024 lalu, kini mereka nampak scrambling (kocar-kacir) untuk mengamankan masa depannya. Baik karena hasil perolehan suara di Pileg DPR ataupun murni pragmatisme partai untuk ‘ikut’ andil dalam Administrasi Prabowo ke depan (yang sampai sekarang masih disputed di MK, di antara forum lain). Parpol di Indonesia sekarang ramai ‘swinging the bat’ (mengayun tongkat bisbol) atau menegosiasikan masa depannya.

Selain pembagian kursi menteri kabinet dan jabatan kunci lainnya, konstelasi arah pengaturan dan kebijakan nasional ke depan dapat kita kira-kira melalui: (i) perolehan suara tiap partai di DPR RI, yang menjadi alat tukar dalam lini ideologis maupun pragmatis partai dan (ii) kemungkinan susunan koalisi berdasarkan perolehan suara.

Sebagai suatu exercise kami membuat proyeksi kecil-kecilan untuk kedua hal tersebut, dengan catatan tanpa membagi parlemen berdasarkan isu, tetapi sebagai koalisi secara umum:

Skenario 1: Seluruh Partai Kubu 01 & 03 menjadi oposisi, yang memegang mayoritas DPR RI

Konfigurasi partai-partai politik pengusung calon-calon Presiden-Wakil Presiden pada Pemilu 2024 telah membentuk tiga front koalisi partai, yakni:

  • Kubu 01, yang berisi partai-partai pendukung pasangan calon Anies Baswedan — Muhaimin Iskandar yang berisikan partai-partai berhaluan perubahan dan berbasis islam seperti Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.
  • Kubu 02, yang terdiri dari partai-partai politik berbasis nasionalis yang mendukung pasangan calon Prabowo Subianto — Gibran Rakabuming Raka, dan kesemuanya juga merupakan partai-partai politik Pemerintahan Jokowi seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat.
  • Kubu 03 yang merupakan koalisi partai-partai politik pendukung pasangan calon Ganjar Pranowo — Mahfud MD, terdiri atas PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan. Namun, ketidaklolosan PPP melewati parliamentary threshold, maka PDI Perjuangan menjadi satu-satu representasi Kubu 03 di parlemen mendatang.

Pasca-14 Februari, konfigurasi politik dalam skenario seperti ini awalnya terlihat sejak capres Ganjar Pranowo–yang notabene merupakan kader PDI Perjuangan–mengusulkan agar DPR segera mengajukan hak angket atas adanya dugaan kecurangan Pemilu 2024. Sebagaimana dilansir Tempo, usulan ini sendiri sempat mendapatkan tanggapan positif dari masing-masing partai-partai politik Kubu 01. Bahkan dalam pembukaan Rapat Paripurna ke-13 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023–2024 ini, sejumlah anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, PKB, dan PKS sempat menyiratkan secara terbuka digulirkannya hak angket.

Namun demikian, skenario ini nampaknya kurang memungkinkan sejak Presiden Joko Widodo, c.s., terus ‘menggoda’ para oposan untuk menggagalkan hak angket.

Sebagaimana terlihat Jokowi menjamu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Istana Merdeka–yang mana menurut kompatriot sesama 01-nya di PKB dan PKS tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan partai-partai politik Kubu 01 lainnya. Belum lagi semakin rapuhnya Kubu 03 setelah KPU mengumumkan bahwa PPP tidak lolos ke DPR RI untuk periode selanjutnya.

Skenario 2: Perpindahan krusial Partai Nasdem berakibat mayoritas Kubu 02

Pada 18 Februari lalu, Surya Paloh dipanggil menghadap Presiden Joko Widodo secara mendadak. “Ini baru awal-awal. Nanti kalau sudah final nanti kami sampaikan. Tapi itu sebetulnya saya itu hanya menjadi ‘jembatan’; yang paling penting kan nanti-nanti partai-partai lah,” tutur Presiden Jokowi.

Menariknya, pascapertemuan tersebut, Partai Nasdem tampak seolah berubah sikap. Setelah KPU menetapkan hasil Pemilu 2024, Partai Nasdem malah mengucapkan selamat atas kemenangan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI terpilih. Hal ini dinilai seakan-akan pengibaran bendera putih dalam kontestasi nasional saat ini.

Di sisi lain, Anies Baswedan maupun Muhaimin Iskandar dan partai-partai politik Kubu 01 lainnya seperti PKB dan PKS lebih cenderung mengeluarkan pernyataan penolakan. Perlawanan mereka pun terus berlarut di persidangan Mahkamah Konstitusi yang terus bergulir.

Pendekatan Partai Nasdem ke Presiden Jokowi seolah berusaha mengamankan legitimasi perolehan 69 kursinya di DPR RI di hadapan ‘Kubu Jokowi’ yang dianggap memenangkan Pemilu kali ini. Sejak mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres, pemerintah nampak melihat Partai Nasdem secara sebelah mata. Ada anggapan bahwa Nasdem telah berseberangan secara fundamental dengan pemerintahan. ‘Anak Tiri’ Jokowi ini pun bernasib, secara relatif, malang. Dalam dua tahun terakhir, Menkominfo Johnny G. Plate dan Mentan Yasin Limpo–dua dari tiga menteri Partai Nasdem–terjerat kasus pidana korupsi yang mengharuskan mereka di-reshuffle; menyisakan Menteri LHK Siti Nurbaya Bahar sebagai satu-satunya menteri Nasdem dalam Administrasi Jokowi.

Dengan perubahan gaya komunikasi semacam ini, besar kemungkinan bahwa Partai Nasdem malah akan banting stir dan masuk ke dalam salah satu jajaran Kubu 02, meninggalkan PDI Perjuangan, PKB, dan PKS di kubu seberang sebagai minoritas sebagaimana terlihat pada ilustrasi skenario di atas.

Skenario 3: PKS dipojokkan dan ditinggalkan, koalisi terbesar dalam Sejarah DPR RI

Skenario di atas belakangan mulai menjadi salah satu mogelijkheden di periode pemerintahan selanjutnya. Sebab apabila mempertimbangkan kepentingan masing-masing partai politik oposan dalam Skenario ke-2 (khususnya PDI Perjuangan dan PKB), mereka masih memiliki kepentingan yang perlu dipastikan–yakni mendapatkan kepastian atas jabatan pimpinan DPR. UU №17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD saat ini mengatur bahwa kursi pimpinan seperti Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR diberikan kepada partai-partai dengan perolehan suara terbesar ke-1 bagi Ketua DPR dan 4 Wakil Ketua DPR bagi partai politik peringkat ke-2 s.d. peringkat ke-5. Tentunya PDI Perjuangan sebagai juara 1 Pileg dengan penguasaan 18.7% kursi dan PKB selaku partai peringkat ke-5 dengan persentase 11.72% suara DPR dalam periode selanjutnya. Terlebih, trauma panjang telah dialami PDI Perjuangan selama ini; yang menjuarai Pileg sebanyak 3 kali pada era reformasi, namun hanya sekali berkesempatan menduduki posisi Ketua DPR melalui berbagai rekonfigurasi politik ‘dadakan’ dalam UU MD3.

Munculnya mayoritas hampir total atau ‘super-mayoritas’ yang pro-Pemerintah tidaklah di luar alam kemungkinan. Genesis daripada koalisi super-mayoritas pada periode 2019–2024 telah menunjukkan bahwa partai politik Indonesia dapat–walaupun se-terpecah-belahnya dan beragamnya bangsa kita ini–tetap dapat disatukan dalam satu visi yang sama–setidaknya dari segi persentase koalisi. Kecilnya oposisi pada periode tersebut (sekitar 18% dari total kursi, terdiri dari PKS dan untuk waktu yang lama juga digandeng oleh Partai Demokrat) membuat segala usulan legislasi dari Pemerintah nampak los begitu saja.

Tentunya super-mayoritas ini hadir sebagai risiko terhadap konstituen oposisi seandainya ada rancangan undang-undang yang bisa saja tidak mengakomodasi kepentingan atau golongan tertentu (atau sebaliknya, hanya mementingkan kepentingan dan golongan tertentu). Salah satu contohnya seperti pengundangan UU Cipta Kerja (UU №11/2020) untuk pertama kalinya; walau kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan diperintahkan direvisi oleh MK–yang kemudian secara shortcut diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (yang kemudian ditetapkan dengan UU №6/2023). Apabila kita telisik opini publik (misal, serikat buruh, kubu progresif, dan aktivis lingkungan), tidak sedikit yang merasa dan mengutarakan bahwa produk hukum yang bersifat ‘sapu jagat’ pengganti lusinan peraturan untuk kepentingan investasi ini tidak berkeadilan. Bahkan ada yang sejauh menganggap aturan ini zalim.

Pertemuan Prabowo dan Megawati mendekatkan kita kepada kemungkinan super-mayoritas tersebut. Berasumsi bahwa semua partai kecuali PKS (yang secara historis menjadi oposisi dari partai lainnya) berbondong-bondong ‘lempar badan’ ke koalisi Pemerintah, maka secara kolektif mayoritas menguasai 91% dari suara yang mewakili rakyat. Kedahsyatan koalisi ini bisa jadi tidak konsisten berhubung setiap partai berhangat dalam ideologi dan memiliki posisi masing-masing terhadap isu tertentu, namun prospek adanya koalisi semacam adidaya ini merupakan hal yang cukup mengerikan. Apabila mayoritas besar ini benar terjadi, pengubahan konstitusi dalam imaji ‘Indonesia sempurna’ à la partai-partai ini menjadi prospek yang riil–hal ini akan kami bahas dalam kesempatan lainnya.

Di sisi lain, koalisi 91% ini belum tentu juga ‘benar-benar’ koalisi atau hanya ‘koalisi on paper’. Dalam setiap fraksi ada sub-fraksi, yang mana menjawab kepada interest group masing-masing (baik mewakili kepentingan pengusaha, buruh, lini keagamaan, industri, dsb.) dan bisa jadi memiliki pemahaman ideologis yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Hal ini tentu mempengaruhi arah suara anggota dewan terutama apabila dalam menghadapi isu-isu khusus.

Pembahasan mengenai catur perpolitikan Nusantara adalah hal yang senantiasa menantang. Partai dan politisi beradu nasib dan berganti kepentingan; ada yang dipromosikan, ada yang terjebak korupsi, ada yang melobi proyek besar, ada juga yang di-lobby proyek besar–di antara lain episode beragam dalam proses politik demokratis penuh liku-liku. Barangkali Tuhan akan takjub melihat bagaimana sebuah badan beranggota 580 orang ini mengatur dan menegosiasikan negara dengan hampir 300 juta kepala dari beragam ras, etnis, dan suku yang bahkan satu pulau saja tidak. Pertemuan antara kelompok kepentingan membuat DPR RI sebagai panggung drama luar biasa yang mana perdebatan di depan terkadang terasa seperti sandiwara–dengan backchannel yang penuh serba serbi kisah detektif digabung epos sejarah yang kompleks.

Nantikan laporan dan analisis selanjutnya dari Le Citoyen.

Samuel Simanjuntak dan R. Bayuputra, 18 April 2024.

--

--

Rick Windson
Le Citoyen

Award-winning audio journalist and author - but not quite there yet.