Jangan Abaikan Peraturan SIMRS

Leap
Leap Telkom
Published in
4 min readMay 28, 2024

Optimalisasi operasional rumah sakit semakin gencar dilaksanakan. Bahkan pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tata kelola rumah sakit lebih transparan dan akuntabel. Salah satunya adalah dengan kewajiban rumah sakit menerapkan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS), yaitu sebuah sistem informasi yang terintegrasi yang dipersiapkan sebagai upaya menangani keseluruhan proses manajemen rumah sakit. Sifatnya end-to-end, mulai dari pelayanan diagnosa dan tindakan untuk pasien, medical record, apotek, gudang farmasi, hingga sistem komputerisasi. Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, profesionalisme, peningkatan kinerja, juga akses dan pelayanan rumah sakit yang lebih inklusif.

Kewajiban SIMRS

Keberadaan SIMRS sebetulnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 82 Tahun 2013. Di dalam peraturan ini dijelaskan secara eksplisit terkait pengertian dan keharusan integrasi seluruh alur proses pada pelayanan rumah sakit. Alur yang dimaksud berupa jaringan koordinasi, pelaporan, dan pelaksanaan prosedur administrasi dalam memperoleh informasi yang akurat dan tepat. Sedang yang dimaksud dengan sistem informasi kesehatan ialah tatanan yang berkaitan dengan data, informasi, prosedur, teknologi, perangkat, termasuk pula sumber daya manusianya.

Kemudian, pada tahun 2022 telah dikeluarkan juga Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 24 tahun 2022 yang mengatur tentang kewajiban penggunaan Rekam Medis Elektronik (RME). Kewajiban ini bukan hanya untuk fasilitas kesehatan offline saja, tetapi juga bagi penyelenggara pelayanan telemedis. Kewajiban ini harus terpenuhi setidaknya sampai 31 Desember 2023 silam.

Penerapan RME bukan saja wajib mematuhi tenggat yang ditetapkan, tetapi juga perlu memastikan integrasinya ke Satusehat-Kemenkes. Integrasi ini merupakan landasan terhubungnya RME antar fasilitas kesehatan. Sehingga, proses transfer rekam medis elektronik menjadi lebih ringkas dan efisien. Kelak, akan menciptakan satu big data Indonesia dalam mendukung pelayanan kesehatan yang saling terintegrasi.

Meski demikian, RME tidak menghilangkan hak pasien untuk mengetahui kesehatannya. Dalam penerapannya, pasien dan keluarga tetap berhak memperoleh informasi terkait kondisi yang dialami, begitupun dengan persetujuan tindakan dan pemberian data kepada rumah sakit. Pada dasarnya, RME merupakan teknologi yang memungkinkan fasilitas kesehatan mengubah seluruh informasi rekam medis ke bentuk digital yang bisa diakses secara realtime. Kebijakan ini merupakan bentuk implementasi transformasi teknologi kesehatan yang menjadi pilar ke-6 transformasi kesehatan Indonesia.

Untuk mendukung optimalisasi operasional rekam medis elektronik terintegrasi, idealnya rumah sakit menerapkan SIMRS terlebih dahulu sebagai sistem dasar. Begitu yang ditulis pada laman Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Sayangnya, masih banyak rumah sakit yang bahkan belum mengenal SIMRS. Berdasar laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) tahun 2020, hanya 20% rumah sakit saja yang telah menerapkan RME terintegrasi seperti SIMS. Sampai dengan akhir tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 3.155 unit rumah sakit di Indonesia, baik milik pemerintah juga swasta. Dari jumlah tersebut, 2.636 merupakan rumah sakit umum dan 519 rumah sakit khusus. Harapannya, seluruh angka rumah sakit ini telah berhasil menerapkan RME dalam operasionalnya.

Sanksi Jika SIMRS Diabaikan

  1. Sanksi Administratif

Kelalaian akibat tidak menerapkan RME seperti SIMRS, dapat menyebabkan fasilitas pelayanan kesehatan dikenakan teguran tertulis atau rekomendasi pencabutan, hingga pencabutan status akreditasi yang telah dimiliki.

Sanksi administrasi ini bisa dikenakan berdasar atas laporan dugaan pelanggaran, baik dari hasil pengaduan ataupun pemantauan dan evaluasi yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan tersebut.

2. Pembekuan dan Pencabutan Izin Operasional

Jika rumah sakit tetap tidak mematuhi peraturan setelah menerima peringatan, maka izin operasional pun bisa dibekukan sementara. Pembekuan izin ini berarti rumah sakit tidak dapat beroperasi dengan legal sampai mereka mematuhi peraturan yang berlaku. Dalam kasus ketidakpatuhan yang serius dan berulang, otoritas kesehatan bahkan dapat mencabut izin operasional rumah sakit secara permanen.

3. Penilaian Akreditas dan Pembatasan Kerjasama dengan BPJS

Ketidakpatuhan terhadap peraturan SIMRS dapat mempengaruhi status akreditasi rumah sakit. Akreditasi yang lebih rendah bisa berdampak negatif pada reputasi dan kemampuan rumah sakit untuk menarik pasien dan mitra bisnis.

Rumah sakit yang tidak mematuhi peraturan SIMRS mungkin mengalami pembatasan atau penghentian kerjasama dengan BPJS Kesehatan, yang akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk melayani pasien yang terdaftar dalam program BPJS.

Untuk menghindari sanksi-sanksi tersebut, maka sebaiknya rumah sakit bersegera mengimplementasikan SIMRS sesuai dengan standar yang ditetapkan Kemenkes. Rumah sakit dapat menyelenggarakan sendiri atau memanfaatkan kerjasama dengan vendor yang andal dalam menyediakan layanan SIMRS, seperti SIMRS SatuNadi, salah satu solusi digital yang dikembangkan Telkom untuk ekosistem kesehatan.

Masih banyak yang berpikir bahwa mengimplementasikan SIMRS memakan biaya yang besar dan sulit dalam pengaplikasiannya. Padahal, SIMRS adalah sebuah investasi wajib yang perlu dilakukan demi masa depan rumah sakit itu sendiri. Jika Anda mengelola rumah sakit dan masih bingung dengan bagaimana penerapannya, Anda bisa segera menghubungi kami di sini.

Selain membuat penerapan RME dan SIMRS lebih mudah, SatuNadi juga dapat membantu Anda dalam mengoptimalkan mutu pelayanan. Kami siap membantu rumah sakit Anda menjadi lebih andal! (hzr)

--

--

Leap
Leap Telkom

Telkom Indonesia kembangkan banyak produk digital di bawah Leap. Temukan rangkaian cerita mendigitalisasi bangsa lewat solusi digital yang Kami hadirkan!