Desain dan Komunikasi dalam Membangun Brand

Pasa Ramdhaniel
Leap Telkom
Published in
6 min readSep 22, 2023

“KOMUNIKASI VS DESAIN, DESAIN LAH YANG NOMOR 1!”

Gagasan apapun yang dirimu jual atau tawarkan bila dikemas dengan visual yang nice pastinya akan terjual! Begitu kira-kira yang saya katakan di tahun kedua kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual.

Sampai suatu hari saat sedang belanja mingguan di sebuah minimarket di awal tahun ketiga kuliah, saya menemukan sebuah produk yang kita semua kenali di mana desain label kemasannya biasa saja dibandingkan produk serupa di sebelahnya yang sangat kekinian. Pada kondisi ini kita semua tahu bahwa produk-label-biasa-aja ini (sebut saja Produk A) sangat terpercaya, sudah digunakan dari kita masih kecil, dan pastinya semua orang akan membeli Produk A dibanding si fancy-packaging (Produk B). Oh ya, mohon maaf nih karena apa brand dan produknya lupa juga saya wkwkw udah lama cuy, tapi kamu kebayang ya poin utamanya?

Brand ataupun Produk yang visually well-designed namun secara komunikasi belum well-developed, masih akan kalah dengan yang visually standard (atau bahkan yang kita bilang desainnya jelek) namun secara komunikasi sudah sampai tingkat trusted.

KOMUNIKASI VS DESAIN, KOMUNIKASI WIN AS PRIORITY! WKWK

Komunikasi dapat badge #1

Sebelum melanjutkan, mari kita menyamakan persepsi agar cukup jelas konteksnya. Pembahasan kita kali ini akan di ruang lingkup Advertising sampai ke Marketing Things. Jadi, bila Leapers ada teringat contoh brand lain yang lebih relate diharapkan brand tersebut menawarkan sebuah jasa, produk, ataupun gagasan.

KOMUNIKASI VS DESAIN-nya sudah dulu, sekarang mereka menjadi KOMUNIKASI & DESAIN, kita akan membahas bagaimana contoh-contoh Komunikasi menjadi lebih prioritas dibandingkan Desain berdasarkan pengalaman project yang pernah saya handle.

Bila kamu seseorang yang memiliki brand atau berencana membangun brand, artikel ini mungkin akan membantu kamu mengatur prioritas.

Bila kamu seorang desainer seperti saya, artikel ini mungkin akan membantu kamu menekan ego estetika visual pribadi menjadi lebih menerima bahwa setiap brand memiliki Jiwa-nya.

Setiap Brand Memiliki Jiwa

Saya akan memberi 3 contoh yang diantaranya: (1) Brand Kotak Merah (2) Cafe Segitiga Hijau (3) Produk Lingkaran Putih. Untuk memudahkan kamu lebih memahami setiap contohnya, artikel ini akan dibagi menjadi 2 bagian. Di bagian pertama ini mari kita terfokus membahas Komunikasi, Desain, dan Jiwa dari Brand Kotak Merah.

(1) Brand Kotak Merah

Brand fashion multinasional yang satu ini terkenal dengan simplicity-nya dalam setiap visual yang disajikan. Baik di toko, di iklan luring, sampai di iklan daring tersaji sangat sederhana namun ngena akan Brand-Soul-nya. Kalau brand itu orang, beberapa dari kita bisa langsung membayangkan bagaimana sifat, cara berbicara, dan penampilannya.

Eits, namun pernahkah kamu datang ke pembukaan toko baru Brand Kotak Merah ini? Atau pada saat salah satu event akhir tahun mereka, pernahkah kamu mengambil brosur-nya di toko? Beberapa dari kamu yang pernah ambil mungkin langsung mempertanyakan “KOK GINI??” haha seperti bukan Brand Kotak Merah. Desain brosurnya menampilkan lawan kata dari sederhana. Sangat kompleks, penuh gambar, penuh deskripsi produk.

Perbandingan wireframe desain brosur dan desain selain brosur brand Kotak Merah

Setelah mengetahui Brand-Soul-nya yang memang sangat Jepang, dengan background desain Jepang yang pada umumnya terlihat antara sangat sederhana atau sangat blar blar cetar cetar haha, ketika mereka menggunakan tampilan sederhana di media promosi A dan tampilan kompleks di media promosi B maka akan masih terlihat make sense. Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan mereka, ”Agar Sangat Jepang”. Selain itu secara analisa Mirijam Missbichler pada artikelnya seputar desain kompleks ala Jepang yang semacam ini juga membuktikan bahwa desain ini mempermudah dan mempercepat calon pembeli dalam memilih apa yang ingin dibelinya.

Bila awalnya tidak ada yang mau dibeli? Jadi mau, karena terpapar. Keinginan sering mengalahkan kebutuhan, kan?

Di saat sebuah brand memiliki watak dan jiwa alias Brand-Soul yang kuat, maka akan lebih mudah untuk Komunikasi dan Desain menjadi konsisten sesuai guideline yang dihasilkan. Namun tetap akan menjadi kacau disaat Brand-Soul yang kuat tersebut tidak tersampaikan ke tim dengan benar dan baik.

Menjadi pertanyaan, bagaimana membangun Brand-Soul yang kuat? Sayangnya kali ini kita tidak membahas itu wkwk namun singkatnya Brand-Soul bisa menjadi kuat apabila visi dari perorangan dan perusahaan (brand) terkomunikasikan, lalu dengan benar, lalu dengan baik. KOMUNIKASI, kan? Bukan terdesainkan, tapi terkomunikasikan, yes communication is priority dibanding desain dalam membangun Brand.

Sebelum menutup artikel bagian pertama ini saya akan cerita singkat bagaimana perbandingan saya menghandle desain brosur pembukaan toko baru dari Brand Kotak Merah pada awalnya (2020) dan pada saat ini (2023).

Pada awal mendapatkan project ini saya punya goals untuk membuat brosurnya tampil dengan simplicity-nya sebagaimana materi promosi lainnya. Hasilnya? Teguran, ”Ini terlalu rapi, feels chirashi-nya hilang!”. Chirashi sendiri adalah nama makanan semacam rice bowl dengan tumpukan sushi yang ditata di atasnya. Terjemahan chirashi artinya bertumpuk. Konsep dari brosur pembukaan toko baru ini adalah: Chirashi. Secara konsep, sangat Jepang, kan? Secara fungsi juga ada, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu membantu mempercepat pembaca dalam menentukan pilihan.

Goals saya sekarang setiap mengerjakan project ini adalah: Buat se-Jepang mungkin dan buat se-deskriptif mungkin akan produk yang ditampilkan sehingga pembaca semakin mudah dapat informasinya, lalu semakin tertarik untuk membeli produknya.

Bayangkan bila brosur pembukaan toko baru ini saya simplify seperti goals saya di awal, mungkin secara estetika berhasil membuat brand satu ini konsisten dengan simplicity-nya, namun mereka akan kehilangan vibesFROM JAPAN TO ______”-nya, mengurangi impian mereka menyebarkan budaya negara asalnya, tidak begitu membantu penjualan juga karena tidak memudahkan pembaca dalam menentukan pilihan. Di saat menyadari ini, mindset “tidak ada estetika di brosur ini” menjadi “brosur ini sungguh indah”.

Chirashi
Chirashi Photo by Joshua Ang on Unsplash

Yak, saatnya menutup! Saya akan menutup artikel ini dengan pesan yang juga kesimpulan.

Teruntuk (calon) Brand Owner,

pahami dan sebarkan Brand-Soul-mu ke seluruh yang terlibat, maka visual akan mendukung membuat brand-mu tampil lebih iconic, dan rekan-rekanmu akan memiliki visi yang sama dalam membangun dan menguatkan Jiwa tersebut.

Teruntuk Desainer Grafis,

Ingat, berkomunikasi dengan yang memberikan task agar rancangan visual yang dihasilkan tidak lari dari Brand-Soul-nya, estetika yang kita anggap terkini belum tentu baik untuk brand yang sedang di-handle. Bayangkan pemusik idolamu yang tampilan dan karakternya sudah sangat iconic ternyata berubah, dan rasanya dirinya/mereka pretentious dengan perubahan itu? Bila pemusik idolamu itu menjelaskan konsep barunya kenapa berubah, mungkin (lagi-lagi kemungkinan) kamu pun akan menerimanya, kan?

Komunikasi memang lebih prioritas, tapi Desain sangatlah membantu kecepatan transfer informasi.

Mengenal orang baru sebelum kita ngobrol seringnya first impression dari tampilan, kan? Walau seringnya kita juga setelah ngobrol, ternyata isinya lebih berbobot daripada tampilannya (atau kebalikannya haha).

Jadi………… balik ke judul utama, mari kita jawab lagi, membahas brand ataupun produk, komunikasi atau desainnya yang lebih prioritas, Leapers? Haha

Bila ada yang tidak cocok di hati, hindari berdebat.
Mari berdiskusi, hingga bertemu jawaban yang tepat.

--

--

Leap Telkom
Leap Telkom

Published in Leap Telkom

We are part of Telkom Indonesia. Let’s #TakeALeap to Accelerate Indonesia’s Digital Ecosystem.