Langgam Budaya Bertanya dalam Membangun Culture Startup di Leap Telkom

Leap
Leap Telkom
Published in
7 min readMay 22, 2022
Senior Product Manager Jimmy Karisma Ramadhan

Lelaki tegap berjas rapi meraih sebuah handgun, memasukkan peluru dalam magasin lantas membidik sasaran tembak. Ia memperagakan latihan menembak menggunakan berbagai jenis senjata dalam ruangan berbatas kaca. Di balik ruangan itu, sekitar empat puluh orang memperhatikan dengan mata takjim, lelaki dewasa, perempuan dewasa, remaja bahkan anak-anak seusia taman kanak-kanak.

Tak berselang lama, sang agen keluar menemui mereka. Mengucap salam dan menyampaikan terima kasih telah berkunjung ke gedung Federal Bureau Investigasi (FBI) dan bersedia menjawab pertanyaan sebelum visit experience berakhir. Antusiasme datang dari seorang anak sekira lima tahun, “ngapain kamu hamburkan peluru yang berserakan di lantai itu untuk sia-sia?”. Sang agen menjawab diawali dengan kalimat, “Yes Sir, thank you for your question”. Barulah Ia jelaskan bahwa peluru dan selongsong bisa didaur ulang.

Lantas, beralih pada penanya selanjutnya seorang anak sekitar 6 tahun. Anak ini menanyakan mengapa kertas yang ditembak menjadi bolong sementara manusia tidak, sebagaimana ia lihat di televisi? Tidak ada seorangpun yang berbisik-bisik atau tertawa mendengar pertanyaan yang terkesan sepele itu. Sang agen juga menjawab dengan perlakuan sama, menyapa si anak kecil sebagai tamu dengan Sir!

Sungguhlah jauh berbeda dengan langgam budaya yang acap terjadi di Indonesia, dimana ketika seorang anak bertanya bukannya mendapat jawaban, justru berbuah bulan-bulanan. Pernahkah Anda pun merasa demikian? Sehingga terbit rasa malu untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Kisah di atas pernah disampaikan oleh Iwan Piliang dalam literair Presstalk yang ditulisnya lewat satu dasawarsa silam.

Personal Mission Statement

Diakui atau tidak, Indonesia mengalami krisis budaya bertanya. Menilik KBBI, bertanya berarti meminta keterangan (penjelasan dan sebagainya). Dengan kata lain, ada proses memecahkan keingintahuan di dalamnya.

“Ketika seseorang memiliki rasa ingin tahu, maka ada keinginan untuk ‘ngulik’, selalu bertanya kenapa ya? Why? Benar-benar penasaran dan ingin mendapat jawaban. Rasa ingin tahu itu nge-drive kita sehingga ingin belajar,” begitu ungkap Jimmy Karisma Ramadhan, seseorang yang memulai kisah panjang mengenai membangun histori startup culture di Leap Telkom Indonesia.

Jimmy yang sekarang dikenal sebagai Senior Product Manager di Pasar Digital (PaDi) UMKM mengawali perjalanan karirnya dengan terlebih dahulu dalam membangun banyak startup sebelum akhirnya memutuskan bergabung di Leap Telkom Indonesia. Sebutlah nama-nama seperti Gojek, SayurBox, dan lainnya tak terlepas dari sentuhan ‘tangan dingin’ Jimmy.

Namun, ada hal yang lebih besar di samping kebutuhan pribadinya yang membuat Ia mantap melangkah bersama Telkom. Bermula dari sebuah pertanyaan besar, “seperti apa transparansi pengelolaan anggaran di Indonesia?”

Lebih khusus dalam ranah BUMN yang memiliki biaya belanja tahunan sebesar Rp. 700T. Satu pertanyaan, melahirkan anak-anak pertanyaan baru, “kemana saja larinya? Ke perusahaan apa ya? Apa hanya perusahaan-perusahaan besar?” dan lain-lain yang muaranya mempertanyakan kejelasan dan keterbukaan aliran dana.

“Di Indonesia ternyata tidak ada data itu dan ada sebuah fenomena di mana suatu vendor di blacklist karena wanprestasi di salah satu BUMN tetapi ternyata di BUMN lain ia justru merajai. Itu salah satu contoh, tentu yang seperti ini perlu diperbaiki,” ungkap Jimmy.

Jimmy juga memberi contoh lain mengenai transaksi BUMN ke UMKM yang nilainya terbilang kecil. Sehingga jika ada anggapan itu semata sebuah pencitraan, bukan hal yang bisa serta merta dibantah.

Fakta-fakta inilah yang memantik ‘Personal Mission Statement’ seorang Jimmy Karisma Ramadhan bahwa Ia bersedia dan ingin berkontribusi dalam membantu membenahi negara yang sedang berantakan.

“Saya percaya, dengan efisiensi yang Leap Telkom lakukan, dalam hal ini khususnya PaDi UMKM, saya yakin bahwa kita bisa menemukan solusi untuk itu,” jelas Jimmy.

Jimmy merasa tertantang. Pada dasarnya, Telkom sudah berjaya di laut, darat, dan udara di Indonesia, “di laut ada kabelnya Telkom, di udara ada sinyalnya Telkom, dan di darat juga ada kabel optiknya, tapi kok produk digitalnya belum ada yang ‘sebesar’ itu?” kurang lebih seperti itulah pertanyaan yang terbetik di benak Jimmy.

Dengan demikian, Jimmy yakin dengan sumber daya yang dimiliki Telkom, seharusnya Telkom bisa merajai dunia teknologi dan digital di Indonesia. Itulah yang menjadi tantangan saat Ia menerima peluang bergabung di Telkom.

Shock Culture

Telkom Indonesia sedang dalam proses melakukan transformasi digital yang dibarengi dengan mengubah cara kerja di dalamnya. Kedua hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang di mata Jimmy.

“Nah, di situ saya tertarik karena background saya selain product akhirnya berkembang role-nya kepada COO, jadi lebih kuat di operation. Bagian prosesnya itu core saya banget, memasukkan ke orang-orang bagaimana supaya kerjanya menjadi lebih bagus, lebih agile, lebih fokus dan lain-lain, nah itulah basicly yang saya implementasikan di PaDi,” ucap Jimmy.

Merasa kaget di awal memang kerap terjadi, terlebih budaya startup sungguh berbeda dengan yang terjadi di BUMN. Jimmy menggaris bawahi mengenai ownership yang cenderung lemah yang berimplikasi pada etos kerja. Kalau di luar, ada anggapan mengenai budaya santai dan cenderung merasa ‘aman’ meski penjualan berkurang atau target tidak tercapai tidak lantas bisa disalahkan. Sedangkan, jika dibandingkan dengan kultur startup di mana setiap orang berjuang untuk sukses karena rasa memiliki yang tinggi dibarengi rasa percaya bahwa produk yang dikerjakan akan works dan berhasil.

People Mindset

Untuk bersaing di ranah digital, hal utama adalah people mindset transformation.

Jimmy selalu percaya people — process — technology. Hal tersebut selalu dimulai dari ‘people’-nya. “Role saya memastikan semua orang memiliki ownership, paham visi misi produk, dan memiliki role serta responsibility yang jelas. Lalu setelah people, baru masuk ke ‘proses’, menggunakan proses yang agile dalam setiap tim, mengurangi hal-hal yang tidak penting seperti meeting berkepanjangan, sering melakukan eksperimen-eksperimen kecil tapi terukur, dan memiliki awareness terhadap data. Terakhir, tentu membungkus semua dengan teknologi yang selalu kita kembangkan agar semua proses menjadi lebih efisien dan experience yang bagus bagi pengguna,” Jimmy menerangkan perannya di PaDi.

Di PaDi, Jimmy menerapkan banyak hal terkait itu. “Part yang perlu dibenahi dulu sewaktu saya masuk PaDi, si people-nya dulu saya sentuh semua, make sure semua yang ada di situ tahu pada mau ngapain,” kata Jimmy.

Jimmy menekankan pentingnya setiap orang tahu, paham dan mengerti apa yang akan dilakukan satu sama lain dalam sebuah tim. Lantas dari situ barulah diketahui role responsibility masing-masing orang. Setiap orang, tahu harus melakukan apa, memiliki goal harian dan menanamkan bagaimana supaya bisa achieve.

“Semuanya clear, artinya role responsibility-nya clear, kalau di Telkom istilahnya itu OKR-nya jelas sampai level per orang kita tahu targetnya apa dan orang itu aware dia punya target apa, dan bagaimana result tercapai, yang berarti objektif secara organisasi juga tercapai,” ujarnya

Untuk mencapai hal di atas, Jimmy menerapkan keterbukaan dan budaya bertanya di PaDi. Setiap hari selama 15 menit masing-masing orang mempresentasikan apa yang dikerjakannya kemarin, mengemukakan kendala yang dihadapi serta menyampaikan apa yang akan dia lakukan di hari ini. Lantas setiap bulan dilakukan retrospeksi meeting yang tidak sekedar membahas mengenai produk, melainkan keseluruhan tim termasuk product sampai ke tim akuisisi merchant. Ada pula sesi curhat, meluapkan kemarahan, kekesalan dan kesenangan. Kemudian yang terpenting adalah sesi saling feedback secara terbuka yang dirasa cukup efektif dalam membangun ‘people’.

Budaya mempertanyakan semua hal itulah yang kita bentuk di PaDi. Jadi apapun dan siapapun boleh bertanya bahkan dibantah, even tribe leader atau saya sekalipun. Jadi, leader tidak semata memberi perintah, melainkan merangkul inisiatif yang datang dari bawah. Dari situ kita bisa klarifikasi, ketika data-nya jelas, valid, clear. Nah, hal tersebut bisa dikelola harian. Dari presentasi harian, retrospeksi meeting hingga sesi saling feedback secara terbuka dengan satu rules, NO BAPER!,” jelasnya di sela tawa.

Tapi, perjalanan membentuk kultur seperti ini pun bertahap dan tidak serta merta langsung berhasil. Jimmy mengenang, sewaktu di awal-awal, sesi feedback diberikan secara anonymous, karena jika tidak anonim maka feedback-nya sedikit. Tetapi lama-kelamaan karena sudah terbiasa menerima masukan dan kritik, kritik tidak lagi dianggap ‘menelanjangi’ atau ‘menjatuhkan’, melainkan memotivasi dan membangun. Sehingga keberanian menerima pendapat dari orang lain semakin terbentuk dan menciptakan keterbukaan di dalam tim.

“Yang penting kita cari solusi setelah itu”

Benarkah Rasa Penasaran itu Kutukan?

Seperti diungkap di atas, perjalanan karir Jimmy bukan setahun dua. Latar belakang pendidikannya adalah informatika ITB, sekelas dengan Fajrin Rasyid, Chief Digital And Innovator Officer yang juga inisiator Leap Telkom. “Backgroundnya technical banget sebetulnya, dulu saya koordinator lab programing waktu di ITB. Terus dari sini role-nya lebih banyak dimulai dari technical kemudian menjadi product manager selanjutnya lebih ke produk.

Getir kehidupan pernah juga dicecap Jimmy. Ia pernah merasakan pecah kongsi saat membangun company lantaran keterbatasan pengetahuan tentang hukum. Singkat cerita, Ia bercerita banyak jika setelah itu Ia sempat membuat startup legal karena digitalisasi legal di Indonesia belum ada. Pernah juga ke startup Artificial Intelligence yang fokus di computer vision dan digital signature, dan ketika kebetulan di masa pandemi startup yang Ia jalani kehabisan ‘bahan bakar’, berjodohlah Ia dengan Telkom.

Awalnya, Ia meng-handle sebagai Head of Product di Tribe SMB yang fokus membuat culture product development di Tribe, menaungi PaDi UMKM, PaDi e-Procurement, SooltanPay, dan juga Pesantren Go Digital.

Namun, per awal 2022 Ia diberi mandat untuk menjadi Squad Leader PaDi UMKM yang secara tanggung jawab tidak hanya di product development, tetapi juga semua aspek di PaDi UMKM seperti marketing, merchant acquisition, product, sampai ke operation.

Di tangannya, PaDi mengalami pertumbuhan yang luar biasa signifikan selama 2 tahun terakhir. Di B2B PaDi UMKM saja, GMV (Gross Merchandise Value) sudah lebih dari 2,5T dengan total lebih dari 100 ribu transaksi dan lebih dari 33 ribu seller. Dikombinasikan pula dengan pelaporan pengadaan yang mencapai 45T. Selain itu, transparansi, efektifitas dan proses digitalisasi pengadaan mulai semakin terwujud.

Jimmy menegaskan, ketika semua elemen yang ia paparkan tadi, dari ‘people’, ‘process’, dan ‘technology’ berada dalam role yang tepat, maka hasil tidak akan menghianati proses, “atau proses tidak akan mengkhianati hasil,” pungkas dia.

Rasa ingin tahu dan penasaran adalah fitrah manusia, bayangkan jika seorang Jimmy Karisma dan orang-orang seperti dia mengabaikan rasa ingin tahu, ‘dimatikan’ rasa ingin bertanya, maka habislah hasrat untuk menemukan, menciptakan dan melahirkan inovasi dan perubahan. Sedang perubahan selalu dimulai oleh orang-orang yang mampu meng-capture ketimpangan dan menginginkan perbaikan.

Bahkan, dalam kutukan Kotak Pandora pun Zeus memberi pelajaran bahwa rasa penasaran dan ingin tahu meski mendatangkan banyak kesulitan, selalu disertai harapan!

Mau tahu lebih banyak informasi tentang Leap dan Digital Talent lainnya? Kunjungi website Leap sekarang juga.

--

--

Leap
Leap Telkom

Telkom Indonesia kembangkan banyak produk digital di bawah Leap. Temukan rangkaian cerita mendigitalisasi bangsa lewat solusi digital yang Kami hadirkan!