Mengapa Digital bisa Memecahkan Masalah Logistik Indonesia yang Termahal di Dunia?

Leap
Leap Telkom
Published in
5 min readJun 23, 2022
Head of Digital Vertical Ecosystem, Natal Iman Ginting

Duo Erika Magnusson dan Daniel Andersson menyita perhatian publik ketika di tahun 2012 membuat film terpanjang di dunia, bahkan sampai sekarang belum ada yang menandingi. Film tersebut berjudul Logistics dengan durasi 51.420 menit atau 857 jam atau 35 hari 17 jam.

Ide cerita film Logistics adalah menelusuri perjalanan sebuah benda kecil bernama pedometer dengan kronologi terbalik dari hilir menuju hulu, dari pengguna kembali ke asal pembuatannya. Tepat! Film ini mengisahkan tentang proses logistik dan alur distribusi sehingga tak heran jika film tersebut ditayangkan secara realtime. Demi menyampaikan betapa panjang rantai distribusi yang berlangsung. Dari lama durasi penayangan film, tak pelak terbayang betapa kompleksnya dunia logistik. Terlebih di Indonesia yang dikabarkan berbiaya termahal sedunia.

Logistik Indonesia dan Elemen di Dalamnya

Supaya tak latah di pengertian dasar, boleh kiranya kita menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di mana tertera pengertian logistik adalah pengadaan, perawatan, distribusi, dan penyediaan (untuk mengganti) perlengkapan, perbekalan, dan ketenagaan.

Logistik lebih mudah disebut transportasi dan distribusi karena memang pada dasarnya terdiri atas dua hal itu saja. Dua hal tersebut mencakup “Link” berupa angkutan dari pulau satu ke pulau yang lain baik menggunakan moda pesawat, kapal, kereta dan lainnya. Satu lagi “Node” yang mana barang disimpan terlebih dahulu di gudang, itu pun berjenjang karena gudang jenisnya bermacam-macam; gudang dekat pabrik, gudang distributor, gudang grosir dan seterusnya.

Bicara logistik berarti bicara tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pergerakan barang. Umumnya terbagi dua yakni barang baku dan barang jadi. Sementara term yang umum digunakan dalam logistik adalah transportasi dan distribusi yang dibagi lagi menjadi first-mile, middle-mile dan last-mile.

“Nah, yang bermain di logistik itu disebut party logistics. Ada empat party dalam logistik. First Party adalah pemilik barang, Second Party adalah yang memiliki link dan node, kemudian Third Party adalah yang memiliki kontrak, sementara Fourth Party adalah pihak yang take responsibility” buka Natal Iman Ginting, Head of Digital Vertical Ecosystem yang selanjutnya menceritakan mengenai Logistik Indonesia kepada Leap.

Lebih jauh kita mengetahui bahwa First Party Logistics (1PL) adalah pemilik barang yang umumnya disebut supplier, misal pemilik rokok atau perikanan yang mengirimkan sendiri produk mereka untuk dijual. Second Party Logistics (2PL) adalah pihak yang memiliki aset dan jaringan. Aset yang dimaksud di sini adalah armada seperti truk, kapal, kereta api atau pun pesawat. Sementara Third Party Logistics (3PL) adalah perusahaan atau pihak yang memegang kontrak outsource operasional transportasi dan logistik ke provider, seperti ekspedisi yang jamak dikenal macam Fedex, DHL, Pos, dan lain-lain yang mana armada truk, kapal, atau pesawat menggunakan 2PL. Kemudian, yang terakhir adalah Fourth Party Logistics (4PL) yakni pihak yang meng-outsource berbagai aktivitas manajemen logistik sekaligus melakukannya.

“Jadi kalau saya deal sama yang punya barang, maka saya yang akan take care. Saya yang nyari gudang, nyari transport, saya yang akan urus semua kebutuhan persediaan. Fourth Party inilah yang mengurus menggunakan teknologi, dan Logee adalah Fourth Party Logistics yang mengintegrasikan itu!,” jelas Natal.

Mengenal Logee dan Pemetaannya

Logee adalah wujud andil Telkom dalam menerbitkan solusi digital pada ekosistem logistik Indonesia yang salah satunya demi memangkas hipotesis yang menyatakan Indonesia sebagai negara berbiaya logistik termahal di dunia.

Biaya logistik kita sebesar 24% dari Gross Domestic Bruto (GDP) di mana rata-rata biaya logistik di negara maju di bawah 5% dari GDP. Hal ini menjadi bukti bahwa pelaksanaan logistik tidak efisien sehingga pemerintah meluncurkan target baru menurunkannya menjadi 18% dengan membuat peraturan pemerintah dan meluncurkan inisiatif logistik ekosistem. Hal ini sebetulnya sudah Telkom lakukan lewat Logee.

Sebagai sebuah platform digital, Logee mengerjakan transportasi dan distribusi barang jadi, yaitu barang yang akan dikonsumsi oleh end user.

“Bagaimana dengan logistik lain seperti konstruksi atau bahan baku? Nah, ini tidak dilakukan oleh Logee. Kalau kita petakan Logee itu berada di 4PL, bermainnya di Business to Business atau B2B dan hanya mengerjakan transport distribusi di barang yang dikonsumsi,” tambah ia.

Frame yang disebut oleh Natal ini memotret keberadaan Logee sebagai 4PL karena memang Logee tidak memiliki aset hanya menggunakan teknologi. Tugas Logee adalah untuk mendigitalkan. Lantas pertanyaannya, siapa saja yang bisa bekerjasama dengan Logee?

Pertama dan yang terbesar tentu saja pemilik barang, supplier, atau pemain yang berada di rantai 1PL yang ingin menggerakkan barangnya ke customer. Kedua ialah pihak atau perusahaan yang memiliki aset kendaraan dan gudang atau kita sebut saja 2PL.

“Nah ini penting juga bagaimana membagi-bagi logistik, ada yang namanya CEP (Courier Express Parcel) seperti, Pos atau ekspedisi yang biasa banyak digunakan. Itu kita sebut Business to Customer atau B2C tetapi ini tidak besar, hanya 10% dari total industri. Dan logee bukan di situ,” tegas Natal.

Sebetulnya, Apa yang Dikerjakan Logee sebagai SCDG?

Logee sebagai 4PL platform berfungsi memfasilitasi orang menjadi digital dengan mengkoneksikannya ke dalam ekosistem. Maka, Logee menempatkan diri sebagai jembatan digital rantai pasok atau yang lebih populer disebut Supply Chain Digital Bridge (SCDG).

Jika Leapers bertanya, apa pentingnya integrasi? Di mana letak urgensi membuat koneksi dalam ekosistem logistik? Terang, jawabannya adalah demi pencapaian efisiensi di rantai pasok logistik itu sendiri. Barangkali ada baiknya kita telusuri lagi apa saja yang membuat perjalanan logistik tanah air menjadi tidak efisien.

Tentu banyak sekali faktor, tetapi yang jelas harus kita pahami adalah bahwa lingkup logistik ini memanglah sebuah ekosistem. Artinya, melibatkan banyak hal di berbagai pihak. Parties dalam supply chain terbilang banyak sekali sehingga ada kesulitan dalam pengkoordinasian. Apalah dikata, seefisien-efisiennya perusahaan kalau trucker-nya tidak efisien karena pelabuhan yang tidak ringkes misal, pada akhirnya akan berefek domino ke rantai setelah itu.

Inilah kiranya tantangan dalam logistik akibat kebanyakan parties, ya… namanya saja rantai kan.

Nah, berkaca pada gambaran di atas, perusahaan yang sudah menggurita sebutlah seperti Pertamina, akan mengambil alih semua rantai tersebut dengan membuat pelabuhan, truk, pesawat, dan kapal yang dikontrol langsung. Tetapi perusahaan seperti ini hanya 1% di antara para pelaku lain yang mana 99% lainnya tidak bisa melakukan itu. Demikianlah cerminan dari 24% cost yang dibahas di muka tadi.

Kalau kita telusuri lagi, mengapa supply chain ini tidak terintegrasi? Ternyata salah satu penyebabnya adalah penetrasi digital. Ketika visibilitas atau kemampuan untuk trace tracking tidak ada, maka potensi menjadi tidak efisien terbuka lebar.

Natal sebagai punggawa Logee memberi gambaran bahwa di Indonesia tercatat 6,5 juta truk beroperasi setiap hari tetapi utilitasnya rendah karena ketiadaan visibilitas. Sehingga untuk memantau dan memastikan apakah truk di saat itu bisa langsung order atau tidak, tidak ada. Apakah truk dalam kondisi kosong atau bermuatan, juga tak tampak. Apakah ketika sudah sampai di pelabuhan truk mengalami antrian panjang atau tidak, juga tak terbaca. Pun manakala sudah sampai di tujuan apakah truk bisa langsung bongkar muat atau harus parkir dulu juga tak jelas. Itulah sebab perlu adanya integrasi dalam ekosistem yang hanya bisa dilakukan oleh digital.

Digital yang dimaksud di sini adalah Digital Platform!

Mengapa Digital Platform dan mengapa Logee? Karena Logee sebagai digital platform adalah sahabat bagi semua pelaku atau pemain logistik. Sekali lagi, Logee adalah jembatan digital rantai pasok yang bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan kesemua rantai pasok secara efisien.

“Tidak perlu takut bersaing dalam bekerjasama dengan Logee karena sebagai platform, Logee adalah sahabat dan tidak akan kita ‘curi’ bisnisnya!,” pungkas Natal. (hzr)

Dalam artikel setelah ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai Logee, bagaimana skema digital yang Logee lakukan dalam bisnis logistik serta apa untungnya bagi pemain bisnis logistik masuk ke dalam ekosistem yang dibangun Logee.

Sebagai bahan rujukan Leapers bisa melihat situs Logee atau mengunjungi website Leap untuk mengetahui produk-produk digital lain Telkom.

Jika Leapers tertarik menjadi bagian ekosistem digital Telkom, segera temukan kesempatanmu di sini!

--

--

Leap
Leap Telkom

Telkom Indonesia kembangkan banyak produk digital di bawah Leap. Temukan rangkaian cerita mendigitalisasi bangsa lewat solusi digital yang Kami hadirkan!