Penerapan Aplikasi Digital dalam Mengembangkan Ekosistem Kesehatan Indonesia
Banyak orang yang setuju bahwa Covid-19 berdampak pada banyak hal. Kini, hampir seluruh lini kehidupan menerapkan digital di berbagai sektor, tak terkecuali kesehatan. Laporan terkait pertumbuhan aplikasi kesehatan pun telah dirilis oleh Institut Riset dan Data IQVIA. Dalam laporan tersebut, ekosistem kesehatan dinilai mengalami gelembung besar yang kurang baik.
Jika ditelaah satu per satu, banyak hal yang bisa menjadi pemicu terhadap kurangnya pelayanan fasilitas kesehatan. Dimulai dari kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau. Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan yang belum merata merupakan salah satu dampaknya. Maka itu, penggunaan alat kesehatan (alkes) yang terstandarisasi harus kerap diupayakan. Namun, banyak sumber yang mengatakan bahwa alkes Indonesia belum memiliki standarisasi yang memadai. Padahal, alkes merupakan sarana dan prasarana penting bagi pelayanan kesehatan, seperti untuk proses perawatan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit, mulai dari diagnosis hingga ke operasi. Selain itu, administrasi klinik dan rumah sakit juga dinilai belum teratur. Antrian berobat yang cenderung panjang, contohnya. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh banyaknya fasilitas kesehatan yang belum menerapkan perkembangan teknologi.
Di tahun 2020, IQVIA mencatat adanya 250 aplikasi kesehatan yang diluncurkan setiap hari. Terdapat 90.000 rata-rata total aplikasi kesehatan digital yang terbit di tahun tersebut. Di tengah pertengahan tahun 2021, IQVIA memberikan laporan terkait adanya lebih dari 350.000 aplikasi kesehatan digital yang disediakan untuk konsumen.
Aplikasi-aplikasi baru yang mulai bermunculan ini disertai dengan dua hal sekaligus. Pertumbuhan aplikasi kesehatan digital dapat dinilai berdampak positif dalam memberikan alternatif masyarakat sebagai user. Namun juga mendatangkan beberapa kekhawatiran seperti, apakah aplikasi ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat, berkualitas baik, dan aman dalam pengaksesan data? Kekhawatiran inilah yang membuat masyarakat menjadi bingung menentukan aplikasi yang tepat untuk mereka. Itulah mengapa, menciptakan kepercayaan masyarakat dengan mengintegrasi para pihak terkait menjadi penting untuk dilakukan. Di sinilah, peran digital perlu diimplementasikan.
Ada banyak ragam aplikasi kesehatan yang ditawarkan kepada konsumen. Pertama, aplikasi yang difokuskan untuk menangani penyakit dan kondisi kesehatan tertentu. Di tahun 2020, aplikasi terkait tercatat sudah mencapai 47% dari 90.000 aplikasi kesehatan yang beredar. Pengguna aplikasi ini merupakan bentuk dari kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan kebugaran. Menariknya, aplikasi ini bisa dengan mudah diakses melalui ponsel, sehingga mendorong masyarakat untuk tak lagi beralasan tidak menerapkan hidup sehat. Olahraga, pola makan sehat, dan tidur cukup merupakan salah satu caranya. Aplikasi kesehatan tidak harus selalu tentang pengobatan suatu penyakit.
Investasi kesehatan digital telah ditinjau mencapai peningkatan di tahun 2021. Berdasarkan laporan dari MobilehealthNew, pendanaan kesehatan digital menembus nilai $7,1 miliar pada Kuartal I. Peningkatan ini cukup signifikan mengingat kuartal sebelumnya yang bernilai sebesar $2,9 miliar. Di Kuartal II, angka investasi mencapai nominal ekonomi yang fantastis yaitu $6,2 miliar.
Kembali pada bahasan awal, pandemi Covid-19 telah memberikan banyak perubahan dari berbagai sisi. Kondisi ini juga tak dapat lepas dari akselerasi kebutuhan digital untuk sektor kesehatan. Pasalnya, hal ini perlu dilakukan sebagai respon langsung terhadap wabah Covid-19. Jika kita telaah kembali laporan yang sudah disebutkan sebelumnya, maka Indonesia pun memungkinkan untuk mencapai keberhasilan itu dalam sektor kesehatan.
Beberapa tahun belakangan, pertumbuhan ekosistem kesehatan digital tumbuh secara signifikan di Indonesia. Bahkan, ada beberapa yang cukup naik daun di kalangan pengguna. Secara garis besar, pengembangan aplikasi kesehatan berbasiskan pada dual hal utama yaitu preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan). Lalu, apa perbedaan dari kedua hal ini?
Aplikasi kesehatan preventif berarti berfokus pada pengelolaan gaya hidup sehat. Namun untuk aplikasi kesehatan kuratif, cakupannya bisa berupa diagnosa penyakit, penangan penyakit melalui rawat jalan, dan penanganan penyakit via rawat inap. Untuk mendorong keberhasilan yang lebih bagi aplikasi kesehatan ini, bisa diterapkan integrasi dalam bentuk super apps. Hal ini bisa dilakukan dengan dimulai dari pemberian layanan preventif ,kuratif, atau penggabungan keduanya.
Pembuatan aplikasi kesehatan ini pastinya perlu di-support dengan data besar. Hal ini diterapkan agar mereka yang tidak sakit dan sedang sakit bisa mendapatkan jawaban terkait pertanyaan mereka sesuai kebutuhan. Aplikasi kesehatan bisa dimulai dari fitur monitoring kesehatan dan kebugaran, memastikan ketersediaan obat yang dibutuhkan, serta kepastian bangsal rumah sakit yang dituju.
Peran data besar dalam ranah digital penting untuk diimplementasikan. Lalu, seperti apa dan bagaimana cara memanfaatkan dan mengintegrasi data dalam ekosistem kesehatan Indonesia? Di manakah posisi Telkom sebagai BUMN digital telco? Maka itu, pengerjaan pengembangan platform layanan kesehatan digital masuk ke dalam agenda penting yang harus dilakukan. Telkom menghadirkan Satunadi yang disebut-sebut akan memberi solusi secara seamless melalui integrasi dan kolaborasi dengan aplikasi-aplikasi kesehatan lain.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang Satunadi, jangan sampai ketinggalan untuk cek serial artikel selanjutnya ya!