Penerapan Evidence Based Management untuk Penciptaan Nilai Produk Secara Iteratif

Ferdika Bayu Herlambang
Leap Telkom
Published in
14 min readJun 20, 2024

Hypothetically, Anda adalah seorang Product Manager yang mengadopsi mindset Agile dan menerapkan Framework SCRUM pada pengembangan produk Anda, Anda juga merupakan seorang Produk Owner dalam role SCRUM Team Anda. Pada suatu waktu, Anda merasa terjebak dengan cara kerja yang fokus terhadap penciptaan deliverable ketimbang penciptaan value, sehingga produk Anda, di titik ini, mulai kehilangan arah, bila hypothesis ini terjadi pada anda, artikel ini untuk Anda!

Tandanya bisa bermacam-macam, mulai dari Anda melihat Sprint Goals yang mengarah pada deliverable, seperti “Terciptanya Feature x pada iterasi ke y”, atau “Terbangunnya Produk z atas request dari Stakeholder y”, sampai pada saat peluncuran, seluruh tim Anda merayakan sebagai sebuah pencapaian, sehingga tanpa Anda sadari, Anda sudah fokus pada penciptaan Deliverable ketimbang penciptaan Value. This is not a way to go about it!

Mungkin sebagian dari Anda sedikit skeptis dan bertanya “Kenapa salah? Itu bukan yang diminta oleh Stakeholder dan atasan Saya?”, “loh kan Saya ikuti instruksi CEO/Stakeholder?”, namun kembali lagi, izinkan saya menawarkan sinthesis dari antithesis Anda, Produk itu berbeda dengan Proyek, dan Produk Manager (atau role Produk Owner dalam lingkup SCRUM) itu berorientasi pada satu tujuan, yaitu Memaksimalkan Value pada produk sehingga terciptanya outcomes yang berimplikasi pada impact sebagai dampak dari-nya, dan percayalah bahwa ini adalah hal yang diharapkan oleh Stakeholder/CEO Anda!

Bicara terkait penciptaan maupun pemaksimalam Value, sebenarnya ada beberapa Framework yang dapat anda gunakan, namun pada tulisan kali ini, kita akan membahas spesifik soal Penerapan Evidence Based Management untuk penciptaan nilai Produk secara iteratif.

Apa itu Evidence Based Management?

Pada saat saya mengambil sertifikasi PSPO-Advance dari Scrum.org, saya mulai mengenal dan mempelajari Evidence Based Management. Singkatnya, Evidence Based Management (disingkat EBM) itu adalah sebuah framework yang lahir dari dunia medis dan terbukti efektif digunakan dalam penciptaan value yang berorientasi pada pendekatan empiris.

Secara Philosophical, Empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman dan observasi yang hanya berasal dari indra yang kita miliki. Pendekatan empiris berarti pendekatan yang dilandaskan sebuah observasi dan pengalaman, sehingga bila anda memiliki sebuah asumsi, asumsi itu harus dibentuk menjadi suatu hipotesis yang bisa dibuktikan kebenarannya, diobservasi, dapat diukur, sehingga segala hal yang dilakukan akan menghasilkan evident yang dapat dijadikan pengalaman sebagai pembelajaran dalam pengambilan keputusan di hipotesis selanjutnya, sehingga pendekatan empiris akan bersifat berkelanjutan

Dalam dunia Product Management, EBM juga dapat diimplementasi sebagai proses penciptaan value yang berorientasi pada pendekatan empiris, dengan pembuatan hipotesis berfokus pada Outcomes, sehingga dapat meningkatkan kapabilitas dari organisasi Anda dan pemaksimalan hasil bisnis (Impact) pada kondisi ketidakpastian yang ada pada pasar.

Bagaimana Evidence Based Management bisa menciptakan nilai produk secara iteratif?

Dalam menjawab pertanyaan diatas, mari kita rasional-kan menjadi dua segment:

Segment 1 : Pemfokusan pada pencapaian tujuan (Goals) Organisasi dengan pendekatan empiris

Organisasi (atau spesifiknya produk Anda) tentunya memiliki suatu tujuan (Goals) yang ingin dicapai, dan tujuan yang baik adalah tujuan yang bersifat strategis.

Tujuan strategis itu pastinya menantang. Tujuan Strategis itu tentunya tujuan yang besar dan tidak mudah dicapai, sehingga dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan tersebut, dan dalam setiap tahapan kita akan melakukan eksperimen sehingga setiap tahapnya dapat disempurnakan dari tahap sebelumnya untuk menciptakan eksperimen yang makin baik demi mencapai tujuan menantang tersebut, itulah inti dari pendekatan secara empiris, pendekatan yang mengambil penilaian berdasarkan sesuatu yang pernah dialami sebelumnya. Baik, setelah memahami pendekatan empiris, mari kita pahami model yang diterapkan pada Framework EBM:

From The Evidence-Based Management Guide by Scrum.org, Fig 1 : Reaching strategic goals requires experimenting, inspecting, and adapting

Mari kita pahami gambar diatas, sebenarnya secara sederhana ini adalah gambaran pendekatan empiris pada pencapaian tujuan menantang sesuai dengan gambaran sebelumnya yang lebih di-elaborasi, mari kita bahas satu-per-satu key element yang ada beserta contohnya untuk dapat dipahami lebih dalam.

Strategic Goal (Tujuan Strategis)

Tujuan Strategis memiliki banyak nama lain (seperti North Star, End Goals, Ultimate Goals, etc), dan seperti yang sebelumnya dijelaskan, Tujuan Strategis itu Besar dan menantang, lebih dari itu, tujuan strategis juga akan terasa jauh dan sukar dicapai sehingga tingkat uncertainty-nya akan sangat besar.

Tujuan strategis juga harus dapat diukur, sehingga kita tau kapan tujuan strategis itu tercapai. Contohnya misal Anda adalah Product Manager di perusahaan Fintech, Strategic Goal itu bersifat besar, jadi kalo Strategic Goal Anda masih seperti “Meningkatkan transaksi sebesar x% di tahun 2024” atau “Meningkatkan GMV 5x dari tahun sebelumnya”, lakukan pendekatan socrates, coba Anda bertanya, kenapa Anda ingin mencapai hal tersebut? gunakan “The 3 Whys”, contoh :

  • First Why : Kenapa Anda mau meningkatkan Transaksi sebesar x% di tahun 2024?
    Reason : Karena saya ingin adanya peningkatan transaksi dari periode tahun sebelumnya
  • Second Why : Kenapa Anda mau meningkatkan transaksi dari periode tahun sebelumnya?
    Reason : Karena saya ingin produk saya menunjukan Growth.
  • Third Why : Kenapa Anda ingin produkmu memperlihatkan Growth?
    Reason : Karena growth menunjukan bahwa Produk saya memimpin mulai memimpin pasar, sehingga Produk saya dapat menjadi Top Player pada domain Fintech di Indonesia

Viola, Anda telah menemukan Strategic Goal dari produk Anda!, sekarang tinggal tentukan pengukuran (Measurement) yang bisa diukur produk Anda.

Pengukuran yang baik adalah yang bersifat Heuristik, jadi carilah pengukuran yang bisa dihitung dengan angka, contoh :

Strategic Goal : Menjadi Top Player pada domain Fintech di Indonesia

contoh Measurement :

  1. Top 3 % of Market Share dari produk Fintech di Indonesia
  2. Top 3 Numb of Trx dari produk Fintech di Indonesia
  3. Top 3 GMV dari produk Fintech di Indonesia

Pro Tip : Jangan sampai tertukar antara Strategic Goal dan Necessary Activities untuk mencapai Strategic Goals, contoh : Mendominasi Market Share produk Fintech di Indonesia itu bukan Strategic Goal, melainkan sebuah Necessary Activities untuk mencapai Strategic Goals, jadi gunakan minimal 3 Whys sampai Anda menemukan core reason Anda.

Intermediate Goals (Tujuan-tujuan Menengah)

Mudahnya, Intermediate Goals merupakan sebuah tujuan yang sedang dan tidak terlalu jauh, namun tidak pula dekat, dan tentunya relevan dengan Strategic Goal yang mau dituju, tujuan ini memang bersifat plural, namun dalam implementasinya biasanya fokus sehingga diimplementasi satu-per-satu dalam satu waktu, setidaknya oleh setiap tim bila berbicara terkait organisasi yang besar. Cara membuat Intermediate Goals ini, kalian dapat mentranslate Measurement yang sebelumnya kalian state menjadi sebuah Intermediate Goal.

Contoh : Untuk menjadi Top 3 Numb of Trx dari produk Fintech di Indonesia, Intermediate Goals yang bisa dilakukan adalah Peningkatan Banyak Transaksi sebesar 2x dari kuartal sebelumnya, karena untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan aktifitas aktifitas, goal inipun relevan untuk dapat Menjadi Top Player pada domain Fintech di Indonesia.

Sebagai catatan, Intermediate Goals dapat di-pivot sewaktu-waktu bila dirasa sudah tidak relevan untuk menuju Strategic Goal, tidak perlu menunggu Intermediate Goals tercapai terlebih dahulu.

Intermediate Tactical Goals (Tujuan Taktis Menengah)

Ini merupakan goals yang lebih kecil dari Intermediate Goals, Intermediate Tactical Goals bersifat dekat, bentuknya bisa berupa Sprint Goals yang baru bisa dinyatakan berhasil atau gagalnya dari evaluasi setelah aktifitas (semisal deliver sebuah fitur) dilakukan.

contohnya untuk mencapai Peningkatan Banyak Transaksi sebesar 2x dari kuartal sebelumnya, pada sprint kali ini kita akan “Melakukan Experiment untuk meningkatkan CVR sebesar 2%”.

Current State (Keadaan saat ini)

Keadaan saat ini menggambarkan keadaan eksisting sebelum eksperimen/sprint selanjutnya dilakukan, pada keadaan saat ini, perlu ditangkap hal yang akan diukur pada eksperimen/sprint selanjutnya, sehingga pada experiment/sprint selanjutnya kita sudah capture nilai sebelumnya untuk dibandingkan dengan nilai setelah experiment/sprint selanjutnya dijalankan.

Contoh : Sprint selanjutnya memiliki Sprint Goal “Melakukan Eksperimen untuk meningkatkan CVR sebesar 2%”, sehingga current state perlu ditangkap agar bisa ukur peningkatan yang diciptakan setelah eksperiment dilakukan, kalo Current State CVR adalah 4%, maka peningkatan yang diharapkan adalah 6%.

Perlu diketahui setiap eksperimen belum tentu mendekatkanmu pada Intermediate Goal, bisa jadi hal yang Anda lakukan itu malah menurunkan hasil Current State, contoh : Setelah di-evaluasi, hasil sprint sebelumnya malah menurunkan CVR yang sebelumnya 4% menjadi 3%. namun setidaknya, anda akan memiliki pembelajaran (Lesson Learned) sehingga anda dapat mengevaluasi langkah-langkah anda selanjutnya secara empiris.

Starting State (Keadaan saat memulai)

Keadaan saat memulai perlu untuk kita catat, sehingga kita tau sejauh mana kita sudah melangkah. setiap lingkaran merepresentasikan setiap eksperimen/sprint, disini perlu kita record secara berkala untuk melihat proses kita menuju Intermediate Goals yang harapannya akan semakin dekat menuju Strategic Goal.

Starting State bisa berarti eksperiment number 0, atau Sprint pertama yang kita lakukan, lewat sini kita jadi dapat mengevaluasi setiap langkah kita secara heuristik dengan melihat kebelakang berdasarkan pengalaman (empiris).

Perlu dikhawatirkan bilamana lingkaran menunjukan nilai measure yang menurun secara berurutan, sehingga evaluasi perlu segera dilakukan, seperti melakukan Retrospective maupun kegiatan lain untuk meningkatkan penciptaan Value.

The Experiment Loop (Lingkaran Eksperimen)

Lingkaran eksperimen adalah inti dari semua aktivitas penciptaan value. Hal ini dilakukan oleh Product Manager dalam upaya memaksimalkan Value dari suatu produk untuk mencapai Target yang ingin dituju, target atau goal yang mau dituju adalah Intermediate Tactical Goal yang ditentukan untuk ingin dicapai tadi.

Contoh : Melakukan Experimen untuk meningkatkan CVR sebesar 2% merupakan Sprint Goals yang ingin dituju pada siklus sprint ini, lalu apa yang dilakukan untuk mencapai ini? kita dapat melakukan Lingkaran Experimen dengan mengikuti tahapannya.

  1. Hypothesis : Melakukan pembuatan Hipotesis, untuk membentuk hipotesis, anda perlu berempati terlebih dahulu terhadap status quo, anda perlu bertanya kenapa CVR sekarang berada di angka 4%? anda fokus terhadap pain problem yang menjadi root cause orang berhenti pada suatu proses, dan mencari potensi pain relief-nya, anda dapat menggunakan service blueprint dan identifikasi pain menggunakan user journey yang mungkin akan dibahas pada tulisan lain. Hipotesis itu berupa suatu asumsi yang akan dibuktikan, contohnya seperti “Dengan melakukan Enhancement pada proses input PIN, akan terjadi peningkatan CVR sebesar 2% selama satu minggu dari transaksi pada minggu sebelumnya”
  2. Experiment and Measure : Di tahap ini, barulah kita fokus pada Deliverable, kita sudah menentukan bahwa kita akan melakukan Enhancement pada proses input PIN, sehingga dilakukan tahap Designing and Develop, disinilah proyek Enhancement input PIN dilakukan selama satu siklus sprint, setelah fitur ter-deliver, barulah dilakukan measurement sesuai dengan Hipotesis yang dibuat, disini nilai diambil, semisal setelah dilakukan Development dan deployment, dilakukan pengambilan nilai selama satu minggu kedepan, dan didapatkan angka CVR ada pada 5%, sehingga dilakukan tahap selanjutnya
  3. Inspect : setelah dilakukan eksperimen dan mendapatkan hasilnya, selanjutnya kita nilai, apakah experiment sudah sesuai dengan hipotesis kita? atau malah makin membuat buruk keadaan? saat dilihat pada contoh, CVR memang naik, namun hanya 1% dari ekspektasi yang diharapkan, hal ini kita catat juga pada catatan model kita, sehingga hasil akan ter-pivot menjadi Current State.
  4. Adapt : Dari temuan yang didapat, selanjutnya kita lakukan penilaian, apakah kita akan melanjutkan mengimprove input PIN? atau lanjut melakukan identifikasi ke nilai lain? atau bahkan mengganti objek yang diukur? hal-hal ini perlu untuk dilakukan menimbang dari pengalaman sebelumnya secara empiris untuk menyempurnakan proses. Contoh: CVR disini naik hanya 1%, bisa jadi masih ada OFI terkait dengan input PIN yang bisa dilakukan, sehingga untuk siklus selanjutnya, masih dilakukan improvement pada nilai ini, atau semisal CVR dirasa cukup dan selanjutnya yang dilakukan untuk peningkatan transaksi adalah memperbesar leads awal sehingga walau CVR di angka 5%, transaksi dapat meningkat karena leads eksisting yang sebesar 1 Juta ditargetkan menjadi 1,2 Juta, sehingga Transaksi yang semula 50 Ribu Transaksi menjadi 60 Ribu Transaksi.

Siklus ini dilakukan secara terus-menerus sehingga penciptaan value dapat tercipta secara iteratif mendekati ke Intermediate Goals yang mengarah dari langkah ke langkah menuju Strategic Goal yang diharapkan.

Segment 2 : 4 Key Values Area yang menjadi fokus EBM

Setelah kita membahas terkait Frameworknya, kita juga perlu kenali 4 Key Values Area (KVA) yang menyempurnakan Framework ini agar dapat mendekati tujuan, areanya kita bagi dalam gambaran berikut:

From The Evidence-Based Management Guide by Scrum.org, Fig 2 EBM focuses on four Key Value Areas (KVAs).

KVA diatas dapat menjadi pelengkap dalam proses pembuatan Hipotesis dan Eksperimen, KVA ini dibagi menjadi dua Spektrum, mari kita bahas masing-masing spektrumnya

Market Value

Hal ini berfokus kepada Value atau Nilai, terdapat dua bagian pada nilai pasar, meliputi :

  1. Current Value, merupakan nilai yang dimiliki perusahaan saat ini, maksudnya adalah nilai yang saat ini produk berikan kepada pengguna-nya. Tujuannya adalah melakukan penilaian dari nilai yang produknya berikan sekarang, dan bagaimana nilai yang sekarang itu bisa ditingkatkan (Enhance), saat bicara enhancement, artinya kita perlu mengukur kepada siapa suatu value dirasakan, siapa yang menciptakan value tersebut, dan bagaimana value tersebut dapat terus ditingkatkan, sehingga akan berorientasi pada pengguna sebagai orang yang merasakan value, pegawai yang menciptakan value, dan investor yang memungkinkan value tersebut dapat terus ditingkatkan, mari kita coba jabarkan contohnya:
    Cobalah tanya apakah pengguna senang dengan aplikasi tersebut, hal ini dilakukan karena belum tentu profit yang tinggi itu menjawab bahwa pengguna Anda senang dengan produk Anda (semisal produk Finansial Anda digunakan dalam transaksi layanan publik yang wajib dilakukan pengguna Anda)
    Cobalah tanya apakah pegawaimu senang dengan organisasimu, hal ini penting untuk diketahui, karena tim yang senang adalah tim yang termotivasi, sehingga secara otomatis akan berdampak pada bagaimana tim Anda meningkatkan value dari potensi peningkatan yang ada
    Cobalah tanya apakah investor Anda senang dengan value produk Anda, hal ini penting karena merekalah yang menentukan apakah produk Anda dapat melanjutkan men-deliver value atau tidak, walaupun produk Anda menciptakan transaksi yang banyak, namun kalo investor Anda merasa tidak puas karena tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan Anda ciptakan sebagai sebuah value, produk Anda juga kemungkinan tidak dapat melanjutkan men-deliver value.
  2. Unrealized Value, merupakan nilai yang belum direalisasikan, sehingga belum masuk menjadi nilai bisnis yang sekarang ada pada organisasi maupun produk Anda dan merupakan potensi untuk pengembangan di masa depan dengan tujuan memaksimalkan value yang dimiliki untuk mencapai strategic Goal yang diharapkan. Dalam penciptaan unrealize value ini, kita perlu mengukur apakah value ini dapat kita ciptakan, apakah value ini berharga untuk kita kejar, dan haruskan investasi disalurkan untuk menciptakan value tersebut. mari kita coba jabarkan contohnya :
    - Cobalah mengukur Organizational Capability untuk melihat apakah Anda dapat menciptakan unrealize value, semisal Anda melihat ada potensi produk Anda mulai masuk ke bisnis skema BNPL (Buy Now Pay Later), Anda perlu melihat apakan Organizational Capability Anda sudah mumpuni atau tidak, apakah Compliance mu siap dan eligible untuk mengajukan izin ke OJK, apakah Operasional Anda siap untuk menghandle complain handling dan operasional bisnis BNPL, apakah secara Teknikal sistem Anda siap menampung traffic dari transaksi BNPL, apakah tim Fraud Anda siap untuk meng-handle Fraud yang nantinya akan muncul, karena bila ini belum terjawab, besar kemungkinan penciptaan value yang diharapkan malah menurunkan value eksisting dan mencederai citra produk atau organisasimu.
    - Cobalah mengukur apakah unrealize value ini berharga untuk kita kejar, bila kondisi produk Anda saat ini memiliki Daily Transaction sekitar 10 Ribu dengan Daily Active User di angka 4 Ribu, dan fokus produk Anda masih pada penyempurnaan activation pada current value, mungkin menciptakan unrealized value menjadi sesuatu yang belum berharga untuk dikejar, namun kalo semisal Daily Transaction sudah di angka sekitar 500 Ribu dengan Daily Active User di angka 50 Ribu, dan BAU dari Current Value sudah baik, mungkin Anda bisa capitalize DAU yang berkontribusi rata-rata 10 Trx per hari itu untuk ditawarkan fitur BNPL untuk dapat meningkatkan transaksi dan berharga untuk dilakukan pengejaran unrealize value tersebut.
    - Cobalah perhitungkan investasi yang perlu disalurkan untuk menciptakan value tersebut, hal ini perlu diperhatikan karena inovasi biasanya menciptakan investasi yang membutuhkan cost baru, semisal untuk skema BNPL, apakah perlu untuk kita juga berfokus pada akuisisi baru dengan mengenalkan skema BNPL, apakah skema BNPL itu difokuskan untuk melakukan aktivasi pengguna eksisting, apa investasi yang perlu dilakukan dalam skema tersebut, diperhitungkan cost tersebut dan dicoba dibuatkan financial projection untuk memperhitungkan Return of Investment pada unrealize value yang ingin diciptakan tersebut.

Organizational Capability

Hal ini berfokus kepada kapabilitas organisasi untuk dapat menciptakan Value atau Nilai, dalam hal ini dibagi menjadi dua, meliputi:

  1. Time to Market, merupakan kemampuan kecepatan suatu organisasi untuk dapat menciptakan suatu Value atau Nilai. Kecepatan suatu organisasi untuk menciptakan value untuk market ini menjadi komponen penting dalam penciptaan Value penting dalam penciptaan nilai secara iteratif untuk memastikan bahwa nilai yang ingin diciptakan tidak obsolete saat di deliver ke market, analoginya seperti ini, bayangkan sebuah termostat yang diset untuk suhu 17 derajat celcius, tentunya termostat yang baik adalah yang dapat menyesuaikan suhu dengan cepat, bila suhu lebih tinggi dari tujuan, sensor akan segera mengatur pendingin ruangan untuk bekerja, bila suhu lebih rendah, maka sensor akan segera menonaktifkan pendingin ruangan sampai dengan suhu mencapai target yang ditetapkan, sekarang coba pikirkan bila termostat tidak secara cepat melakukan penyesuaian, tentunya suhu akan dirasa tidak konsisten, sama seperti organisasi, kemampuan kecepatan organisasi untuk dapat menyesuaikan terhadap market adalah hal penting agar dapat dilakukan penyesuaian secara cepat untuk dapat menyesuaikan dengan market sebelum apa yang ingin di deliver obsolete. mari kita jabarkan contohnya :
    Cobalah mengukur seberapa cepat organisasimu belajar dari eksperimen dan informasi baru, bila setelah anda melakukan eksperimen terkait enhancement flow payment, yang ternyata malah menurunkan CVR, berarti kemungkinan enhancement yang dilakukan malah menciptakan pain baru untuk pengguna Anda, sehingga Anda perlu mengukur seberapa lama perbaikanmu ini dapat dilakukan. Hal ini penting karena bila tidak cepat diperbaiki, akan memunculkan potensi penurunan revenue karena nilai GMV yang menurun.
    Cobalah mengukur seberapa cepat organisasimu beradaptasi pada suatu perubahan, semisal regulatory menetapkan bahwa terdapat perubahan fee MDR menjadi tiering sesuai dengan nominal transaksi, anda perlu mengukur seberapa cepat organisasimu beradaptasi pada perubahan tersebut, karena kecepatan beradaptasi ini akan menentukan produk Anda dapat comply dengan aturan yang diberikan.
    Cobalah mengukur seberapa cepat organisasimu melakukan pengetesan ide baru dengan pengguna Anda, bila terdapat suatu inisiatif baru pada organisasimu, semisal penciptaan bisnis skema BNPL (Buy Now Pay Later), anda perlu mengukur kecepatan pengetesan ide tersebut untuk melihat visibility dari bisnisnya sehingga dapat lebih cost-saving dan dapat cepat bersaing dengan pasar
    Jadi Bagaimana cara meningkatkan T2M? anda bisa melakukannya dengan prioritas pekerjaan, melakukan eliminasi terhadap pekerjaan yang tidak atau minim menghasilkan Value, dan mengoptimalkan terhadap pekerjaan yang menghasilkan value, sehingga optimalisasi resources bisa dilakukan
  2. Ability to Innovate, merupakan kemampuan efektivitas suatu organisasi untuk dapat menciptakan suatu Value atau Nilai. tujuan utama dalam A2I ini adalah untuk memaksimalkan penciptaan kapabilitas baru dan solusi yang berinovasi dalam penciptaan Value atau Nilai. bila kita masuk pada contoh termostat sebelumnya, A2I itu dianalogikan sebagai efektifitas pada pendingin ruangannya, walau sensor cepat untuk membaca dan menyesuaikan, efektivitas pendingin ruangan pun berperan besar agar saat digunakan, pendingin ruangan dapat dengan efektif untuk menjalankan tugasnya dalam mendinginkan ruangan, sehingga dalam organisasi, A2I juga perlu diefektifkan agar dapat bekerja sesuai dengan tujuannya sehingga dapat menghasilkan value yang diharapkan oleh pengguna. mari kita jabarkan contohnya:
    Cobalah tangkap apa yang mencegah organisasi melakukan deliverable dari value barunya, semisal pada suatu inisiatif baru pada produk, ditentukan bahwa penciptaan sistem P2P Lending, dirasa berat untuk dilakukan karena organisasimu belum memiliki resources untuk dapat melakukan asesmen yang baik pada data eKYC sehingga resiko yang muncul membuatnya tidak eligible untuk dijalankan. disini anda dapat melakukan penangkapan atas blocker yang muncul dan mencoba untuk menyelesaikannya dengan melakukan hiring resources yang mengerti terkait dengan proses asesmen untuk data eKYC terkait P2P Lending, atau meningkatkan knowledge resources eksisting supaya dapat eligible dalam menjalankan proses asesmen untuk data eKYC terkait P2P Lending.
    Cobalah tangkap apa yang mencegah pengguna mendapatkan keuntungan dari inovasi yang dibuat, semisal setelah anda mengembangkan sebuah inisiatif, misal penciptaan bisnis skema BNPL (Buy Now Pay Later), anda mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan hipotesis dikarenakan penciptaan produk yang tidak sesuai dengan harapan dari pengguna, cobalah lakukan evaluasi terhadap A2I dan lakukan penyesuaian agar dalam iterasi selanjutnya anda dapat menciptakan pembaharuan yang memunculkan keuntungan untuk pengguna sehingga menciptakan value untuk produk Anda.
    Fokus pada A2I membuat organisasi menjadi semakin efektif dalam menciptakan inovasi yang dapat menciptakan value untuk penggunanya. jadi bila produk anda dirasa tidak menciptakan value untuk pengguna, cobalah melakukan evaluasi pada bagian A2I. coba evaluasi proses operasional, mungkin terlalu banyak variasi pada produk menyebabkan tidak efektifnya proses yang menyebabkan kendala pada A2I, atau mungkin proses pengambilan keputusan yang tersentral menyebabkan terlalu banyak silo pada proses inovasi yang menghasilkan kendala pada A2I, sehingga oleh sebab sebab itu dapat menciptakan low-value feature atau product yang hanya menghabiskan cost tanpa menciptakan value untuk produknya.

Singkatnya, penggambaran ke-4 entitasnya adalah seperti ini, Current Value itu menggambarkan Business as Usual, maksudnya cara organisasi atau produk memberikan nilai bisnis saat ini (Current Value) itu penting, namun organisasi atau produk juga perlu untuk dapat melakukan inovasi (Ability to Innovate), dalam pencapaiannya, inovasi itu perlu di-deliver ke pasar secara cepat agar nilainya tidak obsolete, sehingga sangat penting untuk memiliki fokus dalam berapa lama organisasi atau produk dapat melakukan penciptaan nilai bari ini (Time to Market), adapun segala inovasi yang diciptakan dan menjadi penambah untuk nilai bisnis saat ini juga difokuskan pada nilai bisnis yang belum tercipta (Unrealize Value) yang berfokus pada tujuan strategis utamanya.

Endnotes

Bila anda memiliki kendala dalam penciptaan Value, cobalah penerapan Evidence Based Management untuk penciptaan nilai Produk secara iteratif, karena framework ini bertujuan untuk menciptakan dan memaksimalkan value pada produk Anda sesuai dengan goals yang ditentukan oleh organisasimu!

--

--