Roller Coaster Bisnis Lapak Sayur Online

Mas Hadi
Leap Telkom
Published in
6 min readSep 2, 2023

Dua tahun lalu, saat pandemi, bakul sayur online ramai mencatat omset berlipat lipat. Namun sekarang ramai-ramai menutup gerai atau PHK. Begitu sulitnya-kah jualan sayur online? Atau memang pasar-nya sudah berubah?

Saya jadi ingat obrolan dengan Pak Asep (bukan nama sebenarnya) dari Cisarua, ”Mas, sejak new normal, Transaksi online dari Rumah Sayur Bandung, sepi. Paling yang masih jalan outlet Jakarta saja.” Ya, sejak pasar traditional dan supermarket dibuka kembali, praktis penjualan online menurun. Orang-orang kembali ke kebiasaan lama. Belanja offline lagi. Apalagi bagi orang Bandung, sumber sayur-sayuran segar banyak sekali, mulai dari Lembang, Cisarua, Pangalengan, Ciwidey dan lain-nya. Wajar jika Tumbasin menutup layanan jastip belanja sayur dari sebagian besar pasar tradisional di Bandung. TaniHub menutup layanan e-commerce retailnya, termasuk gudangnya di Bandung dan Bali. Apakah fenomena ini merata terjadi di kota lain?

Setidaknya SayurBox yang berkibar di masa pandemi, sekarang masih mempertahankan aktivitasnya di kota Jakarta dan Surabaya, mereka tidak buka di Bandung. Mereka menepis tutupnya Toko Panen, menandakan ada masalah di fundamental bisnis mereka. Seperti dikutip oleh CNBC Indonesia, VP of People Culture & General Affair Sayurbox Lady Meiske mengatakan bahwa fundamental ekonomi mereka masih kuat. Apalagi baru menerima pendanaan Seri C di awal tahun. Dana ini akan mereka gunakan untuk memperluas lini bisnis perkebunan, Food and Beverage, baik di ranah B2C maupun B2B. Tumbasin pun masih berkibar di kota-kota lain dan menyisakan layanan pesan melalui Pasar Cikutra Bandung.

Tumbuh Selama Pandemi

Selama pandemi industri pertanian Indonesia tetap tumbuh positif di atas 2% pada tahun 2020, padahal saat itu GDP nasional tumbuh negatif 2.07% (yoy) dibandingkan 2019.

Disaat pembatasan pergerakan masyarakat dibatasi, mulai dari toko-toko, supermarket, cafe, restaurant, hotel, sampai catering tutup. Namun, masyarakat tetap perlu makan. Platform e-commerce online rupanya jadi alternatif. Presiden TaniHub Group melaporkan ada lonjakan transaksi sektor B2C, sehingga mereka berhasil mendapatkan 250 ribu pengguna baru dan meraup peningkatan laba kotor sebesar 636% pada tahun 2020.

Hal yang serupa, dialami SayurBox. Mereka mengalami peningkatan 43% transaksi selama PPKM. Produk yang paling banyak dibeli yakni bawang merah dan putih, daun bawang, pisang, pepaya, buah naga, beras, tepung terigu, beras merah, tempe, telur, dan tahu.

Fenomena ini dialami juga oleh dua perusahaan e-commerce raksasa di Indonesia yaitu Shopee dan Tokopedia. Seperti dikutip katadata pada medio Oktober 2020, VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak mengatakan, penjualan produk kategori makanan dan minuman meningkat hampir tiga kali lipat pada kuartal III. “Sembako seperti telur dan ikan, mie instan, teh, madu dan kopi lokal yang paling laris,”.

Ada apa dengan penurunan ini?

Dari perbandingan pertumbuhan bisnis selama pandemi dan setelah pandemi, nampaknya Bakul Sayur Online, tidak bisa lagi mengandalkan PPKM dalam menaikkan omset mereka. Mereka harus betul-betul melihat kebiasaan customer (customer behaviour) di suatu wilayah. Begitu juga komoditas apa yang diinginkan customer.

Tantangan Menjaga Kesegaran

Saya ingat ketika berbelanja di salah satu platform e-commerce makanan segar. Daya tarik pertama waktu itu display daging lamb chop yang segar, rapi, dan menggoda. Wah ini karya butcher profesional nih, nggak ada salahnya dicoba. Saya klik, order pada jam 9 malam, dengan harapan besok pagi sudah datang dan bisa dimasak. Ternyata, delivery-nya terlambat, baru saya terima menjelang dluhur. Penampakannya, ampun, acak-acakan dan beberapa sudah mulai bau. Jauh gambar daripada barang. Tidak segar, delivery terlambat. Hal ini terjadi juga dibelanja sayur mayur dan makanan mudah layu lainnya.

Memang ini tantangan bisnis makanan segar. Hal ini diakui oleh salah seorang managemen Amazing Farm, perusahaan agribisnis hortikultura terbesar di Bandung. Tantangan terbesar bagi perusahaan agribisnis adalah bagaimana mengurangi komoditas susut dan terbuang. “Pasar itu dinamis mas, sementara produksi punya siklus tanam dan panennya. Kalau produksi tidak bisa ngimbangi permintaan, bisa puluhan ton sayur yang terbuang”. Salah satu penyebabnya adalah minimnya infrastruktur cold storage. Beliau berpendapat, jika infrastruktur cold storage tersedia di gudang, distributor dan delivery, isu komoditas yang terbuang akan bisa diatasi, dan makanan akan terjaga kesegarannya.

Memang tidak tanggung-tanggung permasalah makanan yang susut dan terbuang (Food Loss and Waste) di Indonesia sudah cukup akut terutama untuk komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan. Kerugian ekonominya setara dengan 4–5% PDB Indonesia (antara 213–551 triliun per tahun). Untuk mengatasinya perlu pembenahan manajerial dan teknis dalam teknik panen, penyimpanan, transportasi, pengolahan, fasilitas pendinginan, infrastruktur, pengemasan dan sistem pemasaran.

Value of Money

Ketika melihat-lihat produk di toko online, pertanyaan penting kedua adalah antara harga dan kualitas imbang nggak ya? Bagi pembeli yang hati-hati, apalagi ibu-ibu, harga bisa jadi faktor utama. Ketika harganya lebih mahal dibandingkan pasar tradisional, mereka akan pikir-pikir dua kali. Terlebih lagi kalau belanja di marketplace, di mana sangat mudah untuk membandingkan harga dari satu lapak dengan pelapak lainnya, otomotis produk yang lebih murah dan berasal dari pelapak yang punya bintang bagus, akan jadi pilihan.

Untuk komoditas pertanian umum, pembeli cenderung mencari barang-barang grosir yang jauh lebih murah dibandingkan harga pasar tradisional. Mungkin-kah? Seharusnya mungkin jika e-commerce tersebut betul-betul berhasil memperpendek jalur supply dari petani langsung ke konsumen. Sehingga harga jual di sisi konsumen lebih murah, namun di sisi petani lebih baik dibandingkan harga tengkulak. Hal ini pun sudah dicoba TaniHub dan Startup lainnya.

Apakah cukup di situ?

Tidak ternyata, setelah check out ada cost tambahan yang bisa menambah mahal harga akhir, yaitu ongkos kirim dan platform. Tentu saja, biaya ini harus disadari oleh konsumen. Sebagai pengganti, biaya transport pergi ke pasar tradisional ataupun supermarket. Sayangnya biaya ini jarang dihitung konsumen. Satu-satunya pembanding, mungkin ongkos ojek online, yang setiap saat bisa naik terus tergantung jarak. Jadi wajar, kalau pembeli harus lebih siap, bahwa kalau belanja online ya harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam karena ada kenyaman di situ. Namun, apakah nilai kenyamanan ini sudah cukup menggantikan kebebasan memilih dan mendapatkan kualitas yang diharapkan saat belanja offline? Itu kembali ke perilaku konsumen masing-masing.

Pilihan Komoditas

Saya tidak habis pikir, jika ada pelapak online menjual sayuran horti (bayam, kubis, selada, dan lain-lain) di Bandung. Bukan sayuran premiun organik lho. Apalagi sayuran import yang sulit didapatkan di Bandung. Bukan.

Kenapa mereka menjual sayuran horti ya? Itu sulit lakunya. Saat new normal begini, pembeli dengan mudah bisa mendapatkan sayuran sejenis di pasar tradisional, abang sayur keliling atau supermarket. Hal tersebut sudah dibenarkan pak Asep dari Rumah Sayur Cisarua. Jadi kalau ingin jualan sayur-sayuran, harusnya pilih sayuran premium, sayuran organik, atau sayuran yang tidak ada di daerah tersebut. Pasarnya buat orang-orang yang sangat concern dengan makanan-makanan sehat dan premium.

Indonesia punya keberagaman sumber hortikultura yang beragam, terutama buah-buahan. Jualan durian montong di Medan, akan lain nilainya, dibandingkan jualan durian montong di Bandung. Keragaman ini bisa menjadi nilai jual bagi e-commerce yang memperhatikan aspek geografis. Salah satunya platform AGREE yang menggandeng Pasar Murah menjual produk-produk durian segar dan frozen food.

Tentu saja, untuk melakukan hal ini, diperlukan jaringan distribusi, gudang atau cold storage yang kuat. Kalau tidak punya cold storage, akhirnya pelapak perlu mencari produk-produk yang tidak mudah busuk.

Excellent Services

Excellent service tentunya sudah menjadi standard operational and procedure bagi Startsup online. Mereka berjibaku untuk melakukan perbaikan platform dan layanan agar bisa menjangkau target market mereka. Saya yakin, Startup kita mampu memberikannya. Namun, kecepatan mereka merespon dinamika konsumen, sangat tergantung kepada kekuatan finansial dan tim mereka.

Hal yang paling sulit adalah bagaimana meningkatkan kualitas delivery sesuai keinginan pelanggan. Jarang Startup yang mempunyai armada sendiri. Pasti mereka menggunakan pihak ketiga untuk proses pengantaran. Apakah SLA pihak ketiga ini, sudah siap untuk men-deliver makanan-makanan segar? Itu pertanyaannya.

Ada tren munculnya layanan quick commerce (CNBC Indonesia), yang menjanjikan pengiriman cepat bagi komoditas segar. Beberapa Startup seperti Astro menjanjikan penggantian barang/rusak dalam 15 menit, Allo Fresh menawarkan pengiriman 30 menit di seluruh Indonesia, Bananas menjanjikan pengiriman 10 menit di beberapa wilayah di Jakarta, Dropezy 20 menit di jabodetabek, GrabMart Kilat 30 menit, dan Radius 15 menit. Wow!

Artinya apa?

Artinya memang bisnis bakul sayur online ini masih menjanjikan. Semoga.

Mas Hadi adalah peneliti ICT untuk pembangunan dan penggiat transformasi pertanian dan desa di era digital.

--

--

Mas Hadi
Leap Telkom

ICT for Development (ICT4D) activist, Manager in TELKOM Indonesia. A Lecturer in Telkom University, graduated from Monash University (PhD in Information System)